Syekh Abdul Qadir Isa dalam karyanya Haqaiq Anit Tasawwuf (Juz, 1, Hlm. 233-234) mengutip pernyataan para ulama sufi, terkait hakikat karomah yang dimiliki oleh sebagian ulama sufi.
Dalam kutipan tersebut, Syekh Abdul Qadir Isa menjabarkan pernyataan Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili, bahwa hakikat karomah bisa dihasilkan melalui jalan istiqamah. Istiqamah tersebut harus sampai kepada puncak kesempurnaan.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili menambahkan, untuk mencapai kesempurnaan istiqamah, harus melalui dua jalan. Pertama, harus beriman kepada Allah SWT. Kedua, harus mengikuti dan percaya kepada apa yang telah datang dari Rasulullah SAW, baik secara zahir maupun batin.
Adapun karomah dalam artian khariqul adat (keluar dari kebiasaan manusia) para ulama sufi tidak memberikan gambaran yang pasti, karena karomah khariqul adat (keluar dari kebiasaan manusia) tidak harus memiliki predikat istiqamah yang sempurna.
Terkadang karomah khariqul adat (keluar dari kebiasaan manusia) bisa dipraktekkan oleh orang yang tidak sempurna istiqamahnya, tetapi hal itu, berupa Istidraj (nikmat berbalut murka Allah SWT) Oleh karena itu, Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili menyimpulkan, “Bahwa hakikat karomah yang sesungguhnya, yaitu, karomah keimanan dan ketaqwaan, serta mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.”
Selanjutnya Syekh Abdul Qadir Isa mengutip pernyataan Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi, bahwa karomah terbagi menjadi dua bagian, Pertama, hissi (karomah yang dapat dilihat ataupun dapat dirasakan oleh panca indera) Kedua, maknawi (karomah yang dapat diterima oleh nalar atau akal).
Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi menambahkan, bahwa orang awam (umum) hanya mengetahui karomah hissi, seperti, mengetahui sesuatu yang samar, berjalan di atas air, terbang ke angkasa, melipat bumi, cepat terkabulnya doa, dan lain sebagainya.
Adapun karomah maknawi tidak dapat diketahui, kecuali orang-orang khusus (orang pilihan) yang dapat mengetahuinya. Karomah maknawi, yaitu, berakhlak mulia, memelihara kewajiban syariat, bersegera menunaikan kebaikan, menjahui sifat iri dengki, dan buruk sangka, membersihkan hati dari sifat-sifat tercela, setiap bernafas ia selalu memakai adab, dan selalu berdzikir mengingat Allah SWT. Karomah maknawi ini adalah karomah yang sesungguhnya tampa adanya istidraj (nikmat berbalut murka Allah SWT).
Setelah mengutip pernyataan Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili dan Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi, yang berkaitan dengan hakikat karomah yang dimiliki oleh para ulama sufi, Syekh Abdul Qadir Isa meyimpulkan, “Bahwa karomah yang dimiliki oleh para ulama sufi bukanlah bertanda ia lebih diutamakan dari ulama sufi lainnya.”
Pada dasarnya tidak dapat dipastikan bahwa ulama sufi yang memiliki karomah lebih utama dari pada ulama sufi yang tidak memiliki karomah, karena karomah hanya untuk menguatkan keyakinan, atau menunjukkan ia mempunyai keutamaan bukan lebih diutamakan dari ulama sufi lainya. Adapun keutamaan di sisi Allah dapat diperoleh dengan kuatnya keyakinan dan sempurnanya makrifat kepada Allah SWT.
Wallahu A’lam Bissawab.