Sedang Membaca
Sejarah Pesantren hingga Menjadi Simbol Moderasi Islam di Indonesia
Joko Yuliyanto
Penulis Kolom

Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis Buku dan Naskah Drama. Aktif Menulis Opini di Media Daring dan Luring.

Sejarah Pesantren hingga Menjadi Simbol Moderasi Islam di Indonesia

Pesantren

Islam berkembang di Indonesia, khususnya Jawa dan di Timur Tengah secara sistematis baru terjadi pada abad ke-14, yaitu bertepatan dengan suatu kebudayaan besar yang menciptakan suatu sistem politik, nilai-nilai estetika, dan kehidupan sosial-budaya keagamaan suatu bangsa.

Kata pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan ‘pe’ dan akhiran ‘an atau en’, yaitu sebutan untuk bangunan fisik atau asrama di mana para santri bermukim. Pesantren dapat diartikan sebagai asrama tempat santri atau murid belajar mengaji kepada guru atau kiainya. Pesantren memiliki persamaan dengan padepokan dalam hal tertentu, yakni adanya murid (cantrik dan santri), guru (kiai dan resi), bangunan (pesantren dan padepokan), dan kegiatan belajar mengajar.

Sistem dan metodologi pembelajaran dalam pesantren lebih mirip dengan corak Asshabu Shuffah di Madinah. Asshab al-suffah itu adalah sekelompok sahabat Nabi yang tidak punya tempat tinggal dan memanfaatkan serambi masjid sebagai tempat tinggalnya.

Pondok pesantren muncul pertama kali di Indonesia pada abad ke-16 M, yakni di Ampel Denta dalam asuhan Sunan Ampel. Pada waktu itu, beliau mengkader santrinya untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh pelosok tanah air. Dari murid Sunan Ampel, kemudian menjamur pesantren-pesantren di Nusantara. Puncaknya adalah pada awal pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20 pada masa Syekh Kholil Bangkalan.

Baca juga:  Tawakal, dari Ranah Domestik ke Ranah Publik 

Pesantren yang ada di beberapa wilayah teritorial Indonesia secara doktrinal mengambil empat gugus pemikiran keagamaan sebagai materi pengajaran, yakni akidah, fikih, tasawuf, dan kalam. Fikih memiliki wilayah garapan yang bernuansa eksoterik dan lebih bersentuhan langsung dengan masalah keumatan, tasawuf lebih bernuansa esoterik yang menekankan pada pergulatan kemiskinan batin, dan kalam serta filsafat berorientasi pada problem perkara spiritualitas yang mengedepankan rasionalitas berpikir.

Jika dulu pesantren tidak membolehkan santri untuk membaca koran, menonton televisi, atau mempelajari literatur umum, maka sekarang lebih terbuka. Banyak pesantren yang memasukkan beberapa disiplin ilmu baru dan mendirikan sekolah umum di dalam lingkungan pesantren itu sendiri. Konflik pemikiran dunia luar ini ternyata berpengaruh terhadap pola pikir kaum santri terhadap doktrin agama yang selama ini dipelajari.

Tantangan Globalisasi.

Menghadapi era globalisasi, pesantren punya peran menjembatani tradisi konservatisme dan liberalisme dengan jalan moderasi Islam. Kelompok yang pertama terlalu ketat bahkan cenderung menutup diri dalam sikap keberagaman dan kelompok yang kedua terlalu longgar dan sangat terbuka yang berpotensi mengaburkan esensi ajaran agama Islam itu sendiri.

Pesantren yang berideologi konservatif dalam menghadapi globalisasi pada umumnya bermuara pada fundamentalisme dan radikalisme. Globalisasi dipandang sebagai upaya menundukkan semua negara untuk mengikuti negara super power, Amerika. Globalisasi menjadi ancaman lunturnya nilai-nilai Islam.

Baca juga:  Pesantren dan Wajah Islam Kultural di Nusantara

Santri berkeyakinan bahwa penerapan syariat Islam akan menyelesaikan persoalan bangsa, masyarakat, dan individu. Di sisi lain, santri sejatinya tidak membenarkan cara-cara kekerasan dalam menerapkan syariat Islam. Proses penerapan syariat Islam dalam pesantren melalui jalur pendidikan yang dipandang sebagai instrumen dalam sosialisasi penerapan nilai-nilai syariat Islam kepada santri dan masyarakat pada umumnya.

Ajaran Al-Wasathiyah (moderat) yang dikembangkan para santri di Indonesia sebagaimana tercermin dalam ajaran Islam dalam hal akidah (keyakinan), ibadah (pelaksanaan hukum dan ritual keagamaan), dakwah (syiar agama), dan akhlak (etika).

Adapun konsep Al-Ghuluw (melampai batas) dalam beragama yang selalu diperingatkan oleh kiai kepada para santri adalah upaya untuk menjauhi fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu pandangan, kecenderungan yang justru mempersulit pelaksanaan ajaran Islam, berprasangka buruk kepada penganut agama lain, atau pengkafiran terhadap sesama muslim yang beda pemikiran dengannya.

Sikap-sikap moderat para santri yang dapat dikembangkan di masyarakat adalah metode pemahaman dan pengamalan teks-teks keagamaan yang ditandai dengan beberapa ciri seperti pemahaman terhadap realitas (fiqh al-waqi’), pemahaman terhadap fikih prioritas (fiqh al-auwlawiyyat), pemahaman terhadap konsep sunatullah dalam penciptaan mahluk, pemahaman terhadap teks-teks keagamaan secara komprehensif, pemberian kemudahan kepada orang lain dalam beragama, mengedepankan dialog, bersikap toleran, serta sikap keterbukaan dengan dunia luar.

Baca juga:  Jawaban Ketika Ditanya: Mana Dalilnya?

Ajaran moderasi Islam dalam pendidikan pesantren mampu menjadi poros tengah yang terpusat dalam gerakan Islam moderat di antara dua kubu yang berbeda haluan, yaitu gerakan Islam kontemporer yang cenderung liberal dan gerakan Islam konservatif yang lebih radikal. Agenda utama dari pengembangan ajaran moderasi di era globalisasi yaitu:

  • memperbaiki citra Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin dan dipandang negatif di masyarakat global;
  • membangun harmoni dan menyebarkan semangat toleransi di antara golongan-golongan yang berbeda, baik secara inter- dan antar-agama;
  • memastikan bahwa moderasi beragama tidak melampaui batas primer (tsawabit) dalam ajaran Islam;
  • menebarkan perdamaian di muka bumi dengan mengembangkan dialog intra-religious dan inter-faith.
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top