Akhir Desember 2018 di pesantren Sukerjo, Asembagus, Situbondo, saya menghadiri acara Muktamar Sastra Pesantren. Inilah kunjungan pertama ke pesantren yang pernah jadi arena muktamar NU tahun 1984, saat Gus Dur terpilih menjadi ketua umum PBNU.
Banyak sastrawan, prakrisi perbukuan, dan pegiat literasi dari kalangan pesantren datang muktamar sastra ini, termasuk dua kiai cum sastrawan senior, Kiai Mustofa Bisri dan Kiai D. Zawawi Imron. Untuk mencapai pesantren Kiai As’ad Syamsul Arifin ini, kedua kiai sepuh tersebut melakukan perjalanan darat berjam-jam.
Saya cukup sibuk di acara ini. Selain sebagai peserta, mengisi dua forum, ziarah, juga bertugas menemani Kiai D. Zawawi Imron, penyair berjuluk Celurit Emas. Sebab, setelah acara di Situbondo ini, saya juga ditugasi panitia haul Gus Dur untuk memastikan beliau hadir di Jakarta. Ya, Kiai Zawawi dijadwalkan baca puisi di haul Gus Dur, Desember 2018.
Singkat cerita, dalam dalam salah satu acara, saya menemani Kiai Zawawi. Seusai acara, saya mendampingi beliau dari forum menuju kamar istirahat.
Saya berjalan pelan-pelan, menyesuaikan Kiai Zawawi yang berjalan pelan, pakai tongkat, maklum umur hampir 80.
Namun, setelah beberapa langkah keluar dari gedung tiba-tiba, dengan sigap, beberapa orang (mungkin panitia seksi keamanan) mengelilingi Kiai Zawawi Imron. Mereka menjaga Kiai Zawawi yang “diserbu” puluhan santri yang ingin bersalaman. Saya “tersingkir” dari sisi beliau.
“Itu anakku. Dia yang nuntun dan menemaniku di kamar,” kata Kiai Zawawi sedikit teriak, meminta panitia tidak memisahkan dirinya dengan saya.
“Kamu aku hukum. Bawa dua buah kelapa muda dan madu asli ke kamar,” kata Pak Zawawi Imron dengan sedikit nada tinggi.
Santri yang merasa dimarahi menunduk dan menjawab dengan bahasa Madura yang saya tak paham. Di Pesantren Sukerejo, bahasa Madura tidak asing lagi.
Tak lama ketika Pak Zawawi dan dan saya di kamar, datanglah dua buah kelapa muda dan sebotol madu, yang akatanya asli dari hutan. Saya senyum-senyum.
“Aku tadi tak marah, cuma akting, agar wibawaku naik di depan para santri. Ikhlaskan yaa..jangan marah sama aku,” Pak Zawawi mengatakan itu dengan entengnya.
Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.