Rb Inggar Prasnawan
Penulis Kolom

Santri Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah Mujadiddiyah Ahlul Muqorobin, Jiwan - Madiun. Jawa Timur.

Guru Mursyid (3): Mereka yang Bukan Guru Mursyid

Img 20211229 Wa0006

Ada dua macam kategori orang yang tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai guru mursyid.

(1) Bermakrifat tetapi bukan mursyid. Orang dalam kategori ini pada kenyataannnya memang sudah mencapai ilmu makrifat melalui guru mursyid yang sesungguhnya dan pada jalur tarekat/thariqah tertentu, tetapi tidak/belum mendapatkan ba’iat atau ijazah kemursyidan dari guru mursyid sebelumnya.

Mereka berhak mendapatkan pengakuan sebagai guru mursyid jika sudah mendapatkan ijazah kemursyidan dari Guru Mursyid sebelumnya, dan dapat dibuktikan dari sanad kemursyidan yang dimilikinya, sehingga mampu mengajarkan dan membimbing orang lain untuk sampai pada kemakrifatan dan ketauhidan yang sebenarnya. Kemudian ada saksi dari mursyid yang lain dari jalur thariqah yang sama, dan juga mendapatkan pengakuan dari mursyid lain dari jalur thariqah yang berbeda. Tanpa itu semua, maka seseorang tidak dapat disebut sebagai Guru Mursyid.

(1) Guru mursyid palsu. Golongan inilah yang banyak kita temui di sekitar kita. Mereka biasa mengaku sebagai penganut ajaran makrifat, padahal belum pernah menjalankan laku suluk dari guru mursyid. Ada pula pengikut ajaran tertentu yang di luar ajaran syariat tetapi menyatakan bahwa itulah kemakrifatan. Orang dari golongan ini dengan mudah bisa kita kenali dari beberapa ciri, antara lain:

  • Pengetahuannya tentang ilmu tauhid yang tidak berbobot. Tidak mampu menjelaskan ilmu ketauhidan dengan baik meskipun dalam ranah syariat. Membicarakan ketauhidan hanya sebatas angan-angannya belaka.
  • Kurang peduli terhadap kualitas ibadah syariat, atau bahkan mengingkari ibadah syariat. Karena merasa bahwa jika sudah dekat dan selalu ingat dengan Allah, maka shalat, puasa, dan ibadah syariat lainnya sudah tidak perlu lagi.
  • Perkataan dan ajarannya hanya sebatas urusan duniawi. Solusi maupun amalan-amalan yang diberikan hanya untuk kekayaan, pengasihan, kekuatan, ketenaran, dan sebagainya. Meskipun memberikan solusi berupa amalan atau wirid menggunakan ayat-ayat ataupun asma’ Allah, karena ditujukan untuk duniawi, maka ajaran kemakrifatan menjadi tidak berlaku disini. Karena jika mampu menanamkan ketauhidan dan kemakrifatan dengan benar, maka kesulitan-kesulitan duniawi tersebut tidak akan terjadi, sehingga solusi berupa amalan maupun wirid seperti disebut diatas menjadi tidak diperlukan lagi.
  • Memiliki kesaktian dan mampu untuk menunjukkannya pada orang lain. Kemampuan untuk menghilang, kebal senjata, mengambil uang dan emas gaib, “menarik” pusaka dan mustika dari alam gaib, meramalkan kejadian dan nasib seseorang, bahkan dimungkinkan untuk berinteraksi dengan alam gaib. Semua itu bukanlah ilmu kemakrifatan, tetapi itu adalah tipuan dari golongan bangsa djin yang membuat manusia menjadi terpesona pada duniawi dan melupakan hakikat kemurnian dari kemakrifatan dan ketauhidan itu sendiri.
  • Mempermainkan hukum halal dan haram. Ketetapan dalam hukum halal dan haram sudah selesai sejak jaman Rasulullah dan dikuatkan oleh ulama-ulama penerusnya sejak ratusan tahun lalu, jadi hukum ini berlaku mutlak dan tidak dapat diganggu gugat lagi. Sehingga jika ada yang merubahnya atau mengkreasikan hukum ini, meskipun hanya sedikit, walaupun dengan alasan makrifat, maka ajarannya jelas sesat.
  • Kurangnya toleransi pada sesama. Dapat dilihat dari sikapnya yang kurang menghargai pemeluk agama lain dan cenderung menyalahkan amaliyah muslim lain yang berbeda amaliyah dengan dirinya. Hingga secara terbuka menilai orang lain dengan sebutan bid’ah dan kafir. Orang semacam ini jelas tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang ilmu kemakrifatan dan bisa dipastikan tidak dapat disebut sebagai seorang Mursyid.
  • Memiliki sifat tamak. Dicirikan dari sikapnya yang meperjual belikan kemampuan yang dimilikinya. Menerima bayaran dari bantuan yang diberikannya pada orang lain. Memberikan persyaratan yang mahal untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu, semisal harus menyiapkan sesaji, dupa atau minyak khusus, atau media tertentu yang harus dibeli sebagai sarana penyelesaian masalah bagi orang lain.
  • Sombong dan membanggakan diri atas kemampuan yang dimilikinya. Sombong adalah nafsu yang dikuasai oleh setan. Jika hal itu dimiliki oleh seseorang, bisa dipastikan bahwa kemampuan yang dimilikinya berasal dari golongan djin. Karena ilmu jika berasal dari Allah, hanya akan membuat seseorang menjadi rendah hati dan merasa tidak patut membanggakan diri karena menyadari semua hanya dari Allah semata.
  • Kurangnya rasa simpati dan empati. Tidak memiliki kepeduliannya pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Kurang peka terhadap perasaan orang lain, hingga kadang mentertawakan kejadian yang menimpa orang lain. Tidak memiliki kepedulian terhadap alam, tumbuhan, maupun binatang, dan bahkan cenderung kejam terhadap mereka.
Baca juga:  Pesantren, Ilmu Hikmah, dan Perdukunan(3): Mendiskusikan Paradigma Ilmu Hikmah dan Perdukunan

Penggambaran diatas hanyalah beberapa contoh karakter dan ciri yang bisa kita temukan dari para mursyid dan ulama palsu. Masih banyak ciri dan karakter yang tidak memenuhi persyaratan untuk dapat disebut sebagai seorang guru mursyid sejati. Di sini bukan bertujuan untuk menilai atau menyalahkan pilihan keyakinan seseorang, tetapi hanya memberikan gambaran dan batasan yang jelas saat kita menjatuhkan pilihan untuk memulai belajar ilmu agama, terutama yang berhubungan dengan ilmu tasawuf dan utamanya tentang kemakrifatan.

Kita tidak sedang mempermasalahkan pilihan keyakinan seseorang, hanya saja kita harus paham bahwa ada syarat-syarat dan batasan yang jelas atas urusan yang berkaitan dengan agama. Ini yang tidak bisa kita tawar-tawar lagi. Karena apapun keyakinan yang kita pilih, pastilah memiliki konsekuensi dan pertanggungjawaban dunia dan akhirat.

Hendaknya kita bisa menghargai segala pilihan keyakinan masing-masing orang. Tidak perlu mempermasalahkannya, meskipun itu bertentangan dengan keyakinan yang kita anut selama ini. Semua memiliki hak yang sama dalam berkeyakinan dan haruslah mendapatkan kemerdekaan atas keyakinannya itu, asalkan tetap dalam batasan-batasan yang jelas dan tidak mengganggu batasan keyakinan ajaran agama yang dianut orang lain.

Dimaksudkan di sini adalah saat orang menyatakan bahwa dia penganut makrifat dan menyatakan sebagai guru mursyid, artinya dia harus mampu membuktikan dengan jelas sanad keilmuannya. Karena dalam ilmu tasawuf yang mencakup juga di dalamnya syariat, tarekat, makrifat, dan hakikat memiliki aturan-aturan dan pesyaratan yang ketat dan jelas. Tidak bisa direka-reka serta dicocok-cocokkan saja. Dalam tasawuf ada sanad yang jelas, ada ulama dan guru mursyid pendahulunya yang jelas dan runtut keilmuannya, ada metode dan kurikulum yang ketat bagi pengikutnya. Ini selayaknya menjadi bahan pertimbangan kita saat menentukan untuk memulai menimba ilmu pada seseorang.

Baca juga:  Dialektika Tradisi dan Intertekstual dalam Manuskrip

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
4
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top