Sedang Membaca
Guru Mursyid (4): Cara Belajar Kepada Guru Mursyid
Rb Inggar Prasnawan
Penulis Kolom

Santri Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah Mujadiddiyah Ahlul Muqorobin, Jiwan - Madiun. Jawa Timur.

Guru Mursyid (4): Cara Belajar Kepada Guru Mursyid

Img 20211229 Wa0010

Dalam ajaran tasawuf, inti dalam ajaran ini adalah adab, terutama pada Guru Mursyid. Karena Guru Mursyid merupakan wasilah yang dapat mengantarkan salik untuk mencapai pada tujuan mulia, yaitu wushul kepada Allah SWT. Kunci keberkahan dari ilmu tasawuf ada di tangan Guru Mursyid, maka sudah selayaknya seorang salik dapat menjaga sopan santunnya, menjaga kepatuhan dan ketaatan pada Mursyidnya. Harus pasrah dan percaya pada kebijaksanaan Mursyid, ibarat pasrahnya jenasah pada orang yang memandikannya.

Perjalanan yang ditempuh para salik sangat panjang dan penuh rintangan. Tanpa bimbingan dan pengawasan dari mursyid akan berdampak buruk pada diri sendiri, bahkan akan membawa dampak buruk pula bagi orang lain. Karena tanpa bimbingan dan pengawasan, sangat mungkin bagi seorang salik malah terjerumus pada tujuan-tujuan palsu dan masuk dalam ilusi-ilusi yang mempesonakan dari godaan setan.

Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, dalam kitab Minhajul ‘Abidin ilaa Janhati Rabbil ‘Alamin, h. 8 mengatakan:

“Ketahuilah olehmu, bahwasanya Guru itu adalah pembuka (dari ilmu yang masih tertutup) dan memudahkan (dari ilmu yang sulit). Mendapatkan ilmu dengan adanya bimbingan guru akan lebih mudah dan menyenangkan.”

Dalam Kitab Al-Fawaaidul Makkiyyah, halaman 25 dan Kitab Taudhihul Adillah, juz III, halaman 147, terdapat syair:

“Barangsiapa yang mengambil ilmu dari seorang guru secara langsung berhadap-hadapan, niscaya akan terjagalah dia dari kesesatan dan kekeliruan.”

“Dan bahwasanya menuntut ilmu tanpa ada bimbingan dari guru, laksana seseorang yang menyalakan pelita, padahal pelita itu tidak berminyak.”

“Setiap orang yang menuntut ilmu secara tersendiri (tanpa Guru), maka sesungguhnya dia berada dalam kesesatan.”

Ketika seorang calon salik telah menemukan sosok guru mursyid yang telah memenuhi kriteria-kriteria seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, pertama-tama yang harus dilakukan adalah memantabkan niat untuk bertemu dan meminta pada Mursyid agar berkenan membimbingnya selama menjalani suluk hingga mencapai kesempurnaan Makrifat. Diusahakan untuk mandi dan berwudhu sebelum berangkat menuju kediaman Mursyid. Dan mengenakan pakaian yang sesuai dengan budaya serta kebiasaan dari guru mursyid tersebut.

Sampaikan keinginan kita untuk mendapatkan bimbingan dari beliau dalam laku suluk hingga mencapai kesempurnaan makrifat. Jika sudah mendapatkan persetujuan dari Mursyid untuk mengangkat kita sebagai salik, kita harus memperhatikan adab-adab sebagai salik pada Mursyid,seperti yang telah penulis simpulkan dari kitab Risatul idabi Sulukil-Murid, Tanwirul-Qulub, dan Iqazhul-Himam, sebagai berikut:

(1) Murid/salik harus takzim pada Guru Mursyidnya. Dia harus meyakini bahwa dengan perantaraan bimbingan dari guru mursyidnya inilah dia bisa mencapai wushul pada Allah. Salik tidak boleh menoleh pada guru mursyid lain kecuali memang mendapatkan perintah atau ijin langsung dari guru mursyidnya yang pertama. Tidak boleh pula membandingkannya dengan guru mursyid lain. Tidak dibenarkan pula menyangsikan dan mempertanyakan, bahkan membantah perkataan, arahan, amalan, maupun perintah dari guru mursyid (terutama yang berkaitan dengan suluk).

Baca juga:  Ngaji Rumi: Narsisme Radikal dan Runtuhnya Etika Sosial

(2) Salik hendaknya memasrahkan segala urusannya kepada guru mursyidnya. Utamanya saat menjalani laku suluk, salik harus melupakan segala urusan duniawinya, menyimpan segala pengetahuannya selama ini sehingga ilmu Ilahiah yang ditanamkan oleh guru mursyid selama laku suluk dapat merasuk dalam dirinya.

(3) Salik harus siap secara lahir batin untuk berkhidmah pada guru mursyidnya, baik dengan tenaga, harta, maupun pikiran. Meyakini bahwa guru mursyid mengetahui dengan pasti kemampuan masing-masing muridnya, sehingga apapun yang diminta oleh guru mursyid tidak akan memberatkan muridnya.

(4) Salik harus selalu berbaik sangka pada Guru Mursyidnya. Dilarang menginterupsi perkataan serta apapun yang dilakukan oleh guru mursyid, karena apapun yang dikatakan dan dilakukan beliau pastilah sesuai dengan syariat dan hukum fiqih yang berlaku. Harus selalu berbaik sangka pada guru mursyid baik itu dihadapan maupun dibelakang beliau.

Jika ada bisikan-bisikan yang mempertanyakan tentang kebijaksanaan guru mursyid dalam perkataan maupun tindakannya, hendaknya segera dibuang jauh-jauh bisikan tersebut. Apabila bisikan itu tetap ada, maka segera disampaikan pada guru Mursyidnya secara pribadi, supaya Guru Mursyidnya dapat memberikan solusi untuk mengobati dan menghilangkan gangguan dari bisikan-bisikan tersebut.

(5) Ketika menemui kendala atau mendapatkan isyarah-isyarah selama laku suluk, segera disampaikan secara pribadi pada guru mursyidnya. Salik dilarang untuk mencari-cari solusi sendiri atau menerka-nerka isyarah yang dirasakannya sesuai dengan keinginannya sendiri. Karena kendala yang ditemui oleh masing-masing salik berbeda antara satu dengan yang lainnya. Begitu juga dengan rasa yang dianggap sebagai isyarah, bisa jadi itu malah bisikan dan godaan setan untuk menggagalkan laku suluknya. Maka dari itu apapun yang dirasakan oleh salik harus disampaikan pada guru mursyidnya, sehingga laku suluk tetap berada dalam pengawasan dan bimbingan dari Guru Mursyid.

Baca juga:  Genealogi Kewalian dalam Literatur Islam Klasik

(6) Segera lakukan apapun yang diperintahkan oleh guru mursyid tanpa banyak alasan maupun pertimbangan, walaupun itu hal yang kurang sesuai dengan keinginan dan angan-angan kita. Harus disadari bahwa kemauan dan angan-angan salik hanya terbatas pada nafsu, sedangkan perintah dari guru mursyid pastilah sudah dipertimbangkan sesuai kemampuan diri dan kemampuan ruhani dari salik. Karena pada dasarnya, guru mursyid telah mendapatkan petunjuk dari Allah untuk mengetahui secara ruhani dari masing-masing muridnya. Demikian juga sebaliknya, jika dilarang oleh guru mursyid untuk melakukan sesuatu, maka salik harus mentaatinya dengan penuh kerelaan demi kemaslahatan dirinya sendiri.

(7) Tidak diperbolehkan meminta pada guru mursyid untuk menunjukkan karamahnya dengan alasan apapun. Karena karamah adalah hak dari Allah, akan diberikan hanya dengan alasan yang dikendaki Allah saja. Sesiapapun tidak berhak meminta untuk ditunjukkan, karena itu sama saja dengan mengatur kehendak Allah.

(8) Selalu menjaga sopan santun dalam berbicara maupun bertingkah laku selama di depan guru mursyid. selama berada di lingkungan rumah tinggal maupun pesantren milik guru mursyid pun hendaknya tetap menjaga sopan santun meskipun sedang tidak berhadapan langsung dengan guru mursyid. Selain untuk menjaga kehormatan guru mursyid, juga bertujuan untuk melatih diri supaya selalu berlaku sopan dan santun dalam kesehariannya.

(9) Sesama murid dilarang saling menilai karakter, kemampuan, maupun tingkah laku murid yang lain, terutama menilai kekrangan dan keburukannya. Karena itu sama saja dengan menilai hasil dari bimbingan guru mursyid. Bagaimanapun juga haruslah disadari bahwa semua murid telah dibimbing oleh guru mursyid sesuai dengan maqamnya masing-masing. Sehingga saat kita menilai keburukan murid lain, itu sama saja dengan memberi penilaian yang buruk atas hasil dari bimbingan guru mursyid, hal itu hanya akan menyakiti hati guru mursyid saja.

Masih banyak adab yang lain, saya hanya sebutkan sebagian kecil saja. Bisa jadi tiap guru mursyid memiliki aturan-aturan tersendiri mengenai adabiyah ini. Untuk mempermudah memahaminya, adabiyah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:

  • Adab Dzahir, yang merupakan tata karma berkait dengan aktifitas fisik. Semisal tidak berbicara dengan nada tinggi di hadapan guru mursyid, menghadap dan mendengarkan perkataan guru mursyid dengan sikap tenang, tidak berbicara sendiri saat guru mursyid memberikan penjelasan dan bimbingan. Dan sebagainya.
  • Adab Batin, adalah adab yang berkait dengan batiniah. Seperti patuh pada guru mursyid, berbaik sangka, meyakini kesempurnaan keilmuan guru mursyid, memupuk kecintaan pada guru mursyid, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan akhlak yang baik terhadap guru mursyid.
Baca juga:  Enam Nasihat dalam Kitab Ayyuhal Walad

Memahami dan menjalankan adabiyah ini sangat penting bagi kalangan pengikut tasawuf, bahkan tingkatan adab berada di atas ilmu itu sendiri.

Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, “Aku lebih menghargai orang yang beradab daripada orang yang berilmu. Jika hanya berilmu, iblis pun lebih tinggi ilmunya daripada manusia.”

Imam Syafii bercerita, “Aku sangat berhati-hati membuka lembaran kitab dihadapan Guruku (Imam Malik pengarang Kitab Muwattha’), khawatir bunyi kitabku terdengar oleh beliau dan mengganggunya.”

Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menulis dalam kitabnya Adabul alim wal mu ta’alim, “Mengertilah bahwa andhap ashormu, kerendah hatianmu pada gurumu disitulah letak kemuliaanmu. Khidmadmu kepada Kyai-mu disitulah letak keberkahanmu. Kebanggaanmu kepada gurumu disitulah letak keluhuranmu.”

Imam Mubarak mengatakan, “Kami mempelajari Adab selama 30 tahun, sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

Dalam uraian singkat tentang adabiyah ini, diharapkan bisa menjadi bahan perenungan kita, terutama bagi diri penulis sendiri tentang begitu pentingnya adabiyah dalam menimba ilmu pada guru dan mursyid. Utamanya dalam tujuan mempelajari ilmu Tauhid dalam lingkup keilmuan tasawuf ini. Karena dengan menjaga adabiyah, maka seorang salik akan mendapatkan pula keberkahan dalam ilmunya.

Derajat keberkahan dari ilmu yang didapatkannyapun akan lebih tinggi dibanding dengan murid yang berguru tanpa menjaga adabiyah. Contoh para waliyullah yang mendapatkan derajat keberkahan yang mulia karena adabiyah dan kepatuhan atau rabithah pada guru mursyidnya, di antaranya adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Imam Syafii, Sunan Kalijaga, juga Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari.

Hanya dari kepatuhan (rabithah) kepada Guru Mursyidlah yang mampu melatih diri salik untuk selanjutnya menjadi patuh kepada Allah SWT. Guru mursyid pula lah yang mampu membimbing salik untuk membuka hijab pada diri sendiri, sehingga salik memiliki kemampuan untuk memandang kebesaran dan keagungan Allah melalui untaian hikmah yang disampaikan-Nya.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
6
Ingin Tahu
2
Senang
8
Terhibur
2
Terinspirasi
8
Terkejut
3
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top