Kota Solo, tepatnya Kelurahan Semanggi, Pasar Kliwon, pada pekan lalu menggelar hajatan seru, yakni Festival Dawet Semanggi . Acara tersebut dimeriahkan dengan pembagian 4.000 gelas dawet dan tarian Lenggang Dawet. Asyik, ya? Yuk, mari kita mengulik lebih dalam mengenai dawet yang nyelekamin ini.
Kita tahu, dawet merupakan minuman manis gurih yang dibuat dari air gula dan santan. Isiannya berupa cendol yang terbuat dari tepung beras atau tepung beras ketan. Sebetulnya, menyantap kuliner lawas kala Lebaran bukan persoalan nostalgia dan rasa semata, namun juga menikmati cerita historisnya agar batok kepala ikut “kenyang” akan pengetahuan.
Dalam jagad kuliner Nusantara, dawet telasih hidup berabad-abad. Ia berhasil melewati ruang dan waktu, tanpa takut tersapu gelombang modernisasi. Merujuk majalah Kajawèn terbitan Balai Pustaka (1937), dawet telasih telah menyertai kisah bangsawan pada periode awal Mataram Islam.
Berikut ini cuplikan kisahnya:
“Ada di sebuah jalan, Kanjeng Panembahan membeli dawet telasih. Barangkali minum dawet tersebut, ia akan merasa segar kembali, seketika itu berkata kepada ibu penjual dawet, “Dagangan (dawet) kamu enak sekali, rasanya segar dan nikmat. Daerah ini namanya desa apa, bu? Dan apakah ada lurahnya?” Dijawab oleh penjual dawet, “Wilayah ini namanya Desa Karangwaru, nak. Juga ada lurahnya”. Kemudian,Kanjeng Panembahan tidak banyak bercakap, dan bergegas pulang.
Selain berumur empat abad lebih, fakta di atas menunjukkan bahwa dawet adalah bagian dari komoditas yang dijajakan wong cilik di bibir jalan dan dikenal rasanya segar. Uniknya, minuman khas Nusantara ini juga digemari kaum bangsawan. Dikatakan asli Nusantara mengacu dari segi bahannya yang ditanam sendiri oleh kakek moyang alias tidak perlu impor. Dalam kakawin, disebutkan beberapa biarawan menanam padi, sekaligus membuat lumbung padi.
Kitab Desawarnana atau Negarakertagamamemperkaya pengetahuan perihal beras. Dibeberkan, raja memanggil rakyatnya mbabad alas (membuka lahan), lantas dipakai untuk sawah. Para kawula yang memeroleh hak mengelola lahan itu kudu membayar pajak ke penguasa.
Melalui aturan lawasasok bulu bekti glondong pangareng-areng, petani bisa menyerahkan beras hasil dari pepanenan ke istana. Periode Majapahit hingga Mataram Islam, ekspor beras terus digiatkan berkat irigasi sawah yang bagus serta kerja keras petani (Andreas Maryoto 2008).
Dawet kian merasuk sanubari masyarakat Jawa lantaran diikutkan dalam upacara tradisional. Misalnya, orang menikahkan anaknya melibatkan unsur dawet. Dalam naskah Gancaran Warni-warni Ing Jaman Punika (1933) merekam dialog antara Nyai Darma dengan Bok Surarêja: “Dintên Ahad benjing êmbèn niku, rak êmpun wiwit nabuh, ta, dintên niki sampeyan kêdah sade dhawêt sapangaron, wontên nglatar disade têng lare-lare, yatrane wingka krèwèng supados kathah tamune kumruwêt kados dhawêt.”
(Hari Minggu pagi mendatang, acara pernikahan sudah dimulai. Hari itu juga anda harus menjajakan dawet satu kendil. Di halaman rumah, dawet dijual kepada anak-anak, dan uangnya berupa pecahan genting. Harapannya, tamunya banyak laksana dawet). Ternyata prosesi dodol dawet, secara khusus ditujukan atau dipahami sebagai simbolisasi sebuah doa agar pernikahan yang akan digelar keesokan hari, dikunjungi banyak tamu, seperti juga laris-manisnya dawet yang terjual.
Fakta tersebut menerbangkan memori kita pada acara pernikahan anak Pak Jokowi, Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution, beberapa waktu lalu. Sebubar pemasangan bleketepe yang menandakan keluarga Jokowi sudah siap menggelar hajatan pernikahan, Jokowi bersama Iriana melanjutkan ritual adol dawet atau berjualan dawet. Bu Iriana berperan menjadi penjual dawet serta membagikannya ke barisan tamu.
Sekalipun sudah menjadi presiden, Jokowi dan istrinya tetaplah manusia Jawa yang menempatkan dawet bukan sebagai minuman belaka. Realitas kultural ini justru menangkis pandangan miring bahwa ritual yang melibatkan unsur dawet itu sebagai tindakan berbau klenik dan patut dimasukkan ke keranjang sampah peradaban.
Bukan hanya di pasar dan pinggir jalanan, dawet ditemui pula di ruang rekreasi publik. Taman Sriwedari, dalam catatan Yasaharjana (1926), memanjakan barisan pelancong dengan aneka hidangan.
Saya cukilkan faktanya: “Ing ngriku pêpak tiyang sêsadeyan, mila anglur tiyang ingkang dhatêng Sriwêdari parlu ngenggar-enggar manah. Ngêlak sampun sinudhiyanan limun, toya Wlandi, bir, wedang téh, kopi, cao, dhawêt tanpa nguciwani.” (di situ lengkap orang berjualan. Makanya, orang yang berkunjung ke Sriwedari bahagia hati dan pikirannya. Jika haus sudah tersedia limun, soda, bir, wedang teh, kopi, cao, dawet tanpa mengecewakan rasanya).
Demikianlah, dawet bukan persoalan nostalgia saja, namun juga jejak sejarah. Membuka kesadaran publik bahwa berabad lampau dawet setia menemani orang Jawa hingga kini. Yang memukau, dawet sanggup merobohkan sekat sosial. Mulai dari wong cilik, kaum berduit, hingga presiden lumayan mengakrabi dawet.
Jangan sampai generasi penerus mengalami keterputusan dengan minuman khas ini gara-gara termakan cap buruk: minum dawet itu kuno dan ndesa! Mari kita rawat kuliner Nusantara menyantapnya dan mengenali sejarahnya agar tidak gampang diklaim negeri tetangga. Hidup dawet!! (SI)