Adalah Suraiya Kamaruzzaman, perempuan kelahiran 03 Juni 1968 di Aceh Besar. Namanya sudah tidak asing lagi di telinga para aktivis pejuang hak perempuan. Namanya mulai mentereng sejak ia mulai aktif mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkonsentrasi di bidang pemberdayaan dan penguatan perempuan yang ia namai Flower Aceh. Puncaknya, Suraiya dianugerahi penghargaan perdamaian UNDP N-Peace Awardatas upaya meningkatkan kapasitas dan advokasi atas pemenuhan hak perempuan di Tanah Aceh.
Suraiya Kamaruzzaman yang juga berprofesi sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala Aceh telah banyak dikenal di kalangan perempuan pejuang keadilan gender. Kiprahnya ini tercatat ketika ia melakukan advokasi kepada perempuan-perempuan yang menjadi istri militan gerakan Aceh merdeka (GAM). Hitungan tahun 1990-an, Suraiya datang ke pelosok-pelosok Aceh. Susahnya penerimaan masyarakat yang kelam dan dipenuhi rasa takut di tengah gempuran antara GAM dan TNI, dan masih banyak lagi. Ia rela menghabiskan masa remajanya di hutan dan menemui perempuan untuk diadvokasi.
Penampilan Suraiya yang lembut dan bersahaja, membuat ia disukai banyak orang. Tidak heran perempuan yang aktif sebagai sekretaris di Pusat Studi HAM Unsyiah ini mendapatkan penghargaan kembali oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai salah satu penerima penghargaan perempuan pegiat perdamaian pada April 2017.
Berbagai aktifitas dijalani oleh Suraiya tanpa lelah dan melawan rasa takut maupun ancaman seperti yang ia alami ketika menantang nyawa dalam peristiwa Gerakan Aceh Merdeka. Dilansir dari suaraperempuanpesada, Suraiya kemudian menjadi pendiri dan Dewan Pengurus dari berbagai organisasi di Aceh termasuk Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (KKTGA), Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), Radio Komunitas Suara Perempuan; dan menjadi anggota serta Dewan Pengurus organisasi berbasis di Jakarta seperti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Dewan Pengawas Nasional Solidaritas Perempuan.
Kemudian pada tahun 2000 Suraiya terpilih sebagai Ketua Steering Committee untuk Kongres Perempuan Aceh yang mendorong proses penyelesaikan konflik dan kekerasan di Aceh dengan cara damai yaitu melalui dialog dan diskusi dengan tetua setempat. Pada tahun 2009 Dia bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia (Mowe) dan di United Nasional Dana Populasi (UNFPA) menjadi konsultan untuk memberikan analisis gender pada RUU tentang mengatasi Konflik sosial, sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No 1325.
Dalam kehidupannya di tengah-tengah aktivis perempuan, Suraiya acapkali dijuluki sebagai sang flower dari tanah Aceh. Hal tersebut semakin meningkatkan kewibawaan seorang Suraiya Kamaruzzaman di antara aktivis-aktivis perempuan yang lainnya.