Sebagaimana diulas dalam tulisan sebelumnya, bahwa perjalanan pertama Syaikh Abdul Ghani An-Nabubulusi dilakukan pada hari Senin tanggal 17 bulan Jumadil Tsani tahun 1111 H. Makam yang pertama kali beliau ziarahi adalah Makam Nabi Yahya AS di Masjid Umawi, Damaskus.
Beberapa hari menjelang niatnya untuk berangkat ziarah ke kota suci, Quds ini ia mimpi bertemu dengan dua orang pemuda yang bertingkah aneh. Kedua pemuda ini terus mengikuti perjalanannya. Sebuah mimpi yang kemudian dirasakan langsung saat ia melakukan ziarah. Ia menulis:
“Sebelum berniat untuk melakukan ziarah ke Quds ini saya mimpi. Di dalam mimpi tersebut saya bersama para jamaah berjalan keluar dari rumah kami. Kemudian sampailah pada sebuah gerbang pintu keluar Pasar (Suuq As-Suriyyah). Kemudian kami melihat kuda terbaik di tanah Arab sudah disiapkan untuk tunggangan kami. Lalu kami menaiki kuda tersebut. Tiba-tiba ada dua orang pemuda yang mengenakan pakaian “Syutthar”. Keduanya sangat kuat dan semangat. Mereka memegang pedang lengkap dengan sarungnya berwana hijau dan merah. Kemudian keduanya meletakkan kedua telapak tangannya masing-masih di bawah kedua telapak kakiku….Aku khawatir mimpi ini karena hasil dari perbuatanku. Dan aku juga khawatir mereka mengikutiku lantaran aku kaya. Kemudian aku terbangun dalam keadaan cemas atas mimpi tersebut. Selang beberapa hari -tidak lebih dari empat hari- kemudian aku berniat untuk melakukan ziarah. Lalu aku berjumpa dengan dua orang jadzab dan saleh yang berjalan cepat di depanku seperti jalannya malaikat. Keduanya pergi…lalu kembali lagi. Keduanya bertingkah sama antar satu dengan lainnya. Kemudian aku menuju makam “Bab Shagir”. Di sana aku berjumpa dengan anak kecil yang meminta izin untuk turut berziarah ke Baitul Maqdis bersama kami. Kami pun tidak bisa mencegahnya hingga kami sampai ke makam orang tua kami, al-marhum Syaikh Ismail Afandi, kakek kami Syaikh Abdul Ghani, dan buyut kami Syaikh Ismail”.
Perjalanan ziarah dimulai dengan mengunjungi sejumlah makam para nabi dan wali yang disemayamkan di sekitar kota Damaskus. Selain kepada leluhurnya, Syaikh Abdul Ghani dan rombongan ziarah menziarahi makam Syaikh Manshur bin ‘Ammar, seorang ‘arif yang sempurna dan salah satu santri dari Imam Al-Qusyairi penulis kitab tasawuf “Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah” yang terkenal itu.
“Kami memanjatkan doa dan menghadiahkan surat Al-Fatihah kepada semua orang yang dikuburkan di sini”, tutur Syaikh Abdul Ghani.
Destinasi makam para wali lainnya yang diziarahi oleh Syaikh Abdul Ghani di Damaskus sebagai awal perjalanan ziarahnya ke Quds ini di antaranya adalah makam Syaikh Ahmad As-Saruji, Syaikh Khalikhan, Syaikh Za’rur, Sahabat Bilal bin Rabah, Bilal bin Hamamah, Makam Sayyidah Zainab binti Sayyidina Ali, Syaikh Abu Yazid Al-Bisthami, Sahabat Sa’d bin Ubadah, Syaikh Akbar Ibnu ‘Arabi, dan makam para Sahabat Nabi, para wali dan ulama-ulama terkemuka lainnya.
Tiba di Kota Suci Quds
Setelah kurang lebih menempuh lima belas hari perjalanan dari Damaskus, pada hari keenam belas rihlahnya, Syaikh Abdul Ghani An-Nabulusi tiba di kota suci. Ia mengutip syair yang ditulis oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani saat ia melawat ke kota ini:
Kami telah sampai di tanah suci
Sebuah kota mulia nan abadi
Perjalanan panjang yang menyiksa
Diakhiri dengan kenikmatan yang tiada tara
Selain mendendangkan syair ahli hadis ternama itu, ia juga membuat puisi yang indah sebagai gambaran dari perjalanannya yang cukup berat:
Atas karunia dan petunjuk-Nya yang sangat kami harapkan
Kami berhasil melewati pegunungan tinggi hingga tiba di kota ini
Sebuah perjalanan yang ditempuh melalui riyadhah batin
Hingga kami sampai di tanah suci ini
Dalam literatur Islam telah banyak disebutkan mengenai keutamaan-keutamaan sejumlah kota. Makkah dan Madinah merupakan dua kota utama yang disebutkan dalam sejumlah hadis Nabi. Quds atau Bait al-Maqdis menempati posisi ketiga sebagai kota suci yang dipenuhi keberkahan. Keutamaan kota Quds ini dibuktikan oleh sejarah Islam itu sendiri. Misalnya, sebelum Kakbah di kota Makkah menjadi arah kiblat, Baitul Maqdis adalah kiblatnya. Di sana juga ada “jabal al-thur”, tempat keramat “mizar”-nya Nabi Musa, dan sejumlah makam keramat para nabi dan wali.
Kesucian dan kemuliaan kota Quds juga tergambar melalui banyaknya atribut nama untuknya. Tutur Syaikh Abdul Ghani. Ia kemudian menyebutkan sejumlah nama bagi kota di mana Nabi mula-mula diisrakan empat belas abad yang lalu. Ia menulis:
Selain Quds yang bermakna suci, bersih, dan berkah, kota ini juga dinamakan Baitul Maqdis (tempat yang disucikan Allah dari dosa), lalu Baitul Muqaddas (Rumah Allah yang disucikan dari segala hal yang tidak patut bagi keagungan-Nya), lalu ada nama Iliya (sebuah nama lain dari bahasa Ibrani yang memiliki arti sama dengan Baitul Maqdis), kemudian ada nama Syallim (yang dalam bahasa Arab bermakna baitussalam alias rumah kedamaian), kemudian ada nama Usyalim dan juga Usyailim.
Makam yang pertama kali dikunjunginya di Quds adalah makam Syaikh Jarrah. Muhaqqiq (editor) kitab ini menjelaskan bahwa zawiyah al-Jarrahiyah di Quds ini selain terdapat makam sang Syekh juga terdapat masjid. Di nisannya tertulis “ini kuburan seorang pemimpin bernama Hisamuddin al-Husain bin Isa al-Jarrahi -semoga Allah merahmatinya dan juga orang-orang yang mendoakannya-”.
Seusai ziarah di makam Syaikh Jarrah, Syaikh Abdul Ghani beserta rombongan ziarahnya sowan kepada segenap masyayikh dan ulama setempat. Di antara ulama yang ditemuinya adalah Syaikh Ahmad bin Syaikh Salahuddin al-Ilmi beserta adiknya dan juga puteranya.
Selama perjalanannya di Quds ini ia menuliskan catatan ziarahnya di setiap makam dan juga perjumpaannya dengan ulama setempat. Banyak kisah menarik yang ia tuliskan dalam risalah perjalanannya ini. Misalnya seusai ia ziarah di makam ‘Ukasyah bin Muhsan, Sahabat Nabi yang masyhur. Ia menulis:
“…kemudian saya ziarah ke Makam ‘Ukasyah bin Muhsan As-Shahabiy. Kami membacakan surat al-Fatihah untuknya dan juga untuk segenap makam yang berada di sekelilingnya. Kemudian kami pindah ke sebuah tempat yang sepi dari kuburan. Para ulama di sini mengabarkan kepada kami bahwa tempat ini terdapat sebuah pemakaman yang pernah digali untuk seorang jenazah. Kemudian saat digali, mereka (penggali dan orang-orang yang ada di situ) melihat ada seorang lelaki yang sedang duduk sambil membaca Al-Quran. Laki-laki tersebut kemudian bertanya, “apakah kiamat telah tiba?”. Sontak penggalinya pun terkaget-kaget. Kemudian mereka pergi (ketakutan). Lalu kembali lagi dan tidak menemukan bekas apapun di kuburan tersebut”. Kami (Syaikh Abdul Ghani dan rombongan) berhenti di tempat itu dan membacakan fatihan untuknya”.
Dalam menguatkan kebenaran kisah tersebut, Syaikh Abdul Ghani dalam buku tersebut mengutip sejumlah referensi yang memiliki kesamaan cerita: jenazah yang saat digali terlihat oleh para penggali kubur duduk sambil membaca Al-Quran. Di antaranya kisah yang diceriterakan oleh Imam As-Suyuthi dalam karyanya berjudul “Busyral Kaib biliqa al-Habib”, juga riwayat Imam As-Suhaili dalam karyanya “Dalail an-Nubuwwah”. Lalu apa hikmah yang dapat kita petik dari kisah ini? Hormati makam. Terlebih makam para ulama dan para wali. Bukankah dalam Islam diajarkan bahwa kita diwajibkan untuk memuliakan manusia yang telah meninggal sebagaimana memuliakan saat mereka hidup?!