Sekalipun Snouck Hurgronje belum menginjakkan kaki di bumi Nusantara sebelum 1885, namun keteribatan dirinya dalam perayaan Mekkah selama dua musim berturut-turut cukup membuatnya kenal dekat dengan masyarakat Nusantara. Snouck memperhatikan bahwa jamaah haji asal Nusantara itu bermacam-macam pengetahuannya. Ada golongan yang kaya dan ada pula masyarakat biasa. Ada yang berilmu, dan juga orang awam.
Golongan kaya adalah para priyayi, para raja dan kepala daerah di luar Jawa, para pangrehpraja dan pensiunan pegawai di Jawa yang berhasil mengumpulkan tabungannya, serta para saudagar kaya dari pelosok negeri. Keberadaan golongan ini biasa ditandai dengan kedekatan mereka dengan para syekh atau mu’allim selaku pemandu perjanan haji mereka. Walaupun dikarenakan banyaknya urusan sang pemandu mereka pada akhirnya golongan haji kaya ini lebih banyak berdiam di dalam kamar-kamar yang berisi 10 orang.
Golongan masyarakat biasa adalah para petani dan pegawai biasa yang jarang menabung akan tetapi memiliki mimpi yang kuat untuk menunaikan haji. Tidak jarang mereka memaksakan diri untuk menjual sawah, rumah, barang berharga, dan hewan ternak mereka untuk biaya menunaikan haji. Bahkan ada di antara mereka yang meminjam sebagian biaya perjalanan dari seorang syekh sebagai agen perjalanan, dengan dipungut bunga. Itupun pelunasannya sangat sulit dilakukan setibanya perjalanan haji.
Biasanya mereka terlebih dulu dipekerjakan sebagai kuli panggul di pelabuhan Jeddah atau sebagai pengerat getah karet di daerah Selangor Malaysia. Praktek ini berlangsung rapi dan terorganisir yang melibatkan agen haji yang dikelola jaringan pranakan berdarah Arab. Jika diperkirakan upah harian mereka setimpal dengan hutang berikut bunga yang dipinjam, ”haji miskin” baru dijinkan pulang ke kampung halaman.
Berdasarkan elompok sosial jamaah haji asal Nusantara ini, Snouck beranggapan bahwa umumnya motivasi mereka adalah menunaikan rukun Islam ke-5, dan ada sedikit yang memiliki pamrih meningkatkan derajat sosial. Dikatakan sedikit yang berpamrih dunia sebab kalau yang sebelumnya sudah kaya lalu berhaji, apalagi pamor yang ingin ditingkatkan?
Snouck tidak sepakat dengan anggapan golongan kaya berhaji karena motif pemakai serban yang dihormati masyarakat. Sebab mereka setelah kembali ke kampung halaman lebih suka memakai ikat kepala atau peci hitam.
Hal serupa juga terjadi pada kelompok haji miskin. Sekembalinya mereka ke kampung halaman tidak merupah kondisi ekonomi mereka. Oleh sebab itu Snouck berkesimpulan bahwa tujuan orang Indonesia pergi haji adalah untuk menunaikan kewajiban. Selebihnya tidak ada perubahan, yang awam tetap awam, begitu pula yang fanatik dengan yang toleran juga tidak ada perubahan antara sebelum dengan setelah menunaikan haji.
Menurut Snouck Hurgronje, sangat selit terjadinya perubahan sikap dan wawasan jamaah sebab 5 sampai 6 bulan yang digunakan jamaah, kebanyakannya merupakan waktu perjalanan. 40 hari mereka gunakan berlayar dan 25 hari untuk perjalanan darat yang berat. Sisa waktu lainnya juga belum dapat dimanfaatkan secara baik oleh jemaah, sekalipun sudah pernah pergi haji.
Mereka sesampainya di kota suci pasti dibingungkan mencari tempat tinggal. Tidak mudah dating ke kota suci lalu langsung mendapatkan rumah sewa. Golongan kaya saja sudah dianggap beruntung mendapatkan kamar yang dapat diisi 10 orang. Prosesnya pun butuh waktu panjang. Jadi butuh waktu beradaptasi hidup di tanah suci.
Dengan pertimbangan itulah Snouck Hurgronje berpendapat bahwa umumnya jamaah haji asal Nusantra tidak memiliki waktu yang baik untuk belajar di kota suci. Terkecuali mereka yang sengaja menetap bertahun-tahun di Mekkah atau di Madinah.