Selama ini kajian tentang penerbitan di kalangan umat Islam bermazhab (untuk mengganti istilah “Islam Tradisional” yang kurang pas) di Indonesia amatlah sedikit. Nyaris tak ada kajian yang spesifik tentang bagaimana geliat publikasi yang dilakukan oleh kalangan pesantren secara umum, maupun Nahdlatul Ulama yang kerap menjadi organisasi penaungnya.
Martin van Bruinessen misalnya, dalam “Kitab Kuning: Book in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu (1990)” membahasnya hanya dalam subbab yang tak terlalu mendalam. Ia hanya menyebutkan 13 penerbit saja yang eksis, yang secara corak pandangannya selaras dengan Islam Bermazhab.
Di antaranya adalah Al-Maarif (Bandung), Toha Putra (Semarang), Menara Kudus (Kudus), Bungkul Indah (Surabaya), Sa’ad bin Nashir bin Nabhan dan Ahmad bin Sa’id Nabhan (Surabaya), Raja Murah (Pekalongan), Al-Munawwar (Semarang), Asy-Syafiiyah (Jakarta), Ath-Thahiriyah (Jakarta), Arafat (Bogor) dan Toko Kairo (Tasikmalaya).
Padahal, jika kita lebih tekun memeriksa terbitan-terbitan lama pasti akan menemukan nama penerbit lain. Memang, kebanyakan adalah penerbitan “indie”, baik diterbitkan perorangan maupun oleh institusi tertentu, pesantren umpamanya.
Dari sejumlah koleksi Komunitas Pegon, kami mendata ada sejumlah kitab/ buku yang bernapaskan Islam Bermazhab yang penerbitannya tak banyak dikupas. Di antaranya adalah penerbit Al-Irsyad (Surabaya) yang salah satu terbitannya adalah karya KH. Abdul Wahab Chasbullah berjudul Penyerap Gemuruh (1924).
Selain itu, ada juga Drukkerij (penerbitan) Nahdlatoel Oelama yang resmi berdiri pada 10 Muharam 1348 H/ 28 Juni 1928 M. Sebagaimana diberitakan dalam Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) edisi 9 tahun II 1348 penerbitan ini beralamat di Bubutan gang 1/7 Surabaya.
Dari penerbitan ini, lahir sejumlah majalah, kitab dan buku. Di antaranya adalah Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) yang menjadi pelanjut dari SNO. Adapula “Kemoedi” yang dikelola oleh NU Cabang Surabaya dan “Soeara Ansor” sebuah media yang dinahkodai oleh Ansoru Nahdlatoel Oelama (ANO), serta sejumlah media cetak lainnya.
Sedangkan sejumlah buku yang pernah diterbitkan di antaranya adalah “Bahasa Arab dan Grammatica (1940)” karya Hamid bin Ahmad bin Ghalib Alhamid. Adapula sejumlah buku yang ditulis oleh KH. Mahfudz Siddiq. Di antaranya berjudul “Pedoman Tabligh” jilid I dan II (1940), dan “Idjtihad dan Taqlid (1940)”.
Jika hendak diteliti lebih jauh, tema ini masih menyisakan belantara informasi yang melimpah. Sayangnya, tak banyak perpustakaan yang mengoleksi terbitan-terbitan tersebut dengan lengkap dan baik. Perlu ketekunan dan upaya yang sungguh-sungguh untuk memburunya.
Selama ini, terbitan-terbitan tersebut tersembunyi di lemari tua pesantren, kiai sepuh dan tokoh-tokoh NU zaman bauhula yang tak lagi tersentuh. Adapula di tangan para kolektor dan penjual buku bekas yang kadang sulit diakses dan dijual dengan harga yang gila-gilaan bagi ukuran seorang pekerja yang bergaji UMR. Untuk itu, perlu adanya upaya kolektif dan kolaboratif guna merangkainya.
Di tengah minimnya kajian tentang dunia penerbitan Islam Bermadzhab di Nusantara tersebut, hadirnya buku “Menara Kudus: Riwayat Sebuah Penerbit (2021)” karya Jamaluddin ini, seakan menjadi oase. Hasil tesisnya di Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM Yogyakarta yang kemudian dipublikasikan oleh Penerbit Gading ini, mengungkapkan sejarah salah satu penerbitan legendaris di kalangan pesantren dan Nahdlatul Ulama.
Dari buku ini, dapat diketahui bagaimana sejarah perusahaan yang didirikan oleh Zjainuri Noor pada 1952 itu. Zjainuri mendapatkan pengalaman tentang penerbitan bermula dari usaha mertuanya, H.M. Masykuri. Pada 1951, Zjainuri berinisiatif untuk mengembangkan percetakan tersebut dengan meminjam uang sebesar Rp250 ribu ke BRI Cabang Kudus. Namun, upayanya tersebut tak mendapat restu mertuanya.
Akhirnya, uang pinjaman tersebut dibuat modal sendiri untuk membuka penerbitan yang terpisah dari usaha mertuanya. Tepat pada 22 Januari 1952, usaha tersebut resmi berdiri dengan nama Menara Kudus. Mengambil nama dari ikon masjid Al-Aqsa yang didirikan oleh Sunan Kudus itu.
Usaha Zjainuri Noor tersebut mendapatkan peruntungannya. Seiring waktu, penerbitan Menara Kudus semakin berkembang. Penambahan alat, karyawan dan jumlah cetakan terus dilakukan. Banyak kiai dan juga penulis yang kemudian menyerahkan naskahnya guna dicetak oleh Menara Kudus.
Sepeninggal Zjainuri Noor (1976), Menara Kudus tetap bertahan. Ia kemudian dipimpin oleh Hilman Najib yang tak lain adalah anak dari pendirinya tersebut. Di bawah Hilman, kibar penerbitan tersebut tetap terjaga. Trandmarknya menerbitkan Kitab dan buku keislaman bercorak pesantren tetap dipertahankan. Begitu pula penerbitan kalender dan Al-Quran pojok masih terus berlangsung.
Akan tetapi, sebagaimana kendala kajian publikasi dari kalangan Islam Bermadzhab yang disinggung di awal, buku ini tak memuat bibliografi yang lengkap dari terbitan-terbitan Menara Kudus. Jamaludin hanya mencatat segelintir saja kitab/ buku yang pernah diterbitkan oleh Menara Kudus. Tak kurang 24 kitab dan 4 buku yang diterbitkan era Zjainuri Noor (1952 – 1976) dan 12 kitab serta 23 buku yang dilahir semasa kepemimpinan Hilman Najib (1976 – 1998).
Catatan tersebut, sejauh pengamatan kami, amatlah kurang. Ada banyak terbitan Menara Kudus yang tak masuk dalam tabel penerbitan tersebut. Merujuk koleksi Komunitas Pegon, diantara terbitan Menara Kudus yang tak dimuat adalah buku “Sekitar Wali Sanga” karya Solichin Salam. Buku ini padahal cukup populer. Diterbitkan pertama kali pada 1960, kemudian cetak ulang pada1963 dan 1972.
Selain itu, Menara Kudus juga menjalin kerjasama penerbitan dengan pihak lain. Seperti halnya kerjasama dengan “Usaha Penerbitan Ansor”. Hal ini dijalin tatkala GP Ansor diketuai oleh Abdul Hamid Widjaja (memimpin mulai 1949-1954). Salah satu terbitannya berjudul “Kumpulan Anggaran Dasar (1954)”.
Adapula terbitan-terbitan Menara Kudus yang serupa poster berisi tabel-tabel penting. Seperti “Djadwal Rubu” karya KH. Abdul Djalil dan “Djadwal Warisan” karya Kiai Turoichan Adjhury. Jadwal-jadwal tersebut sudah terbit pada 1954.
Sekali lagi, perlu upaya kolaboratif untuk bisa mencatat semua hal tentang bagaimana penerbitan di kalangan Islam Bermadzhab di Nusantara ini. Tak mampu hanya seorang diri. Langkah penting telah dilakukan oleh Jamaludin. Perlu langkah lanjutan yang harus ditempuh oleh para penulis lainnya.
Terlepas dari kelengkapan tersebut, buku ini juga memberikan gambaran yang menarik tentang manajemen di Menara Kudus. Seperti halnya sistem pemasaran buku-bukunya yang masih menggunakan cara-cara tradisional. Promosi dari mulut ke mulut dengan brand ambassador dari para kiai. Juga bagaimana hubungan komersial antara penerbit dengan penulis juga dikupas dengan cukup detail.
Waba’du, buku setebal xxx+192 halaman dengan ukuran A5 ini, patut untuk dibaca dan dikoleksi.