Sedang Membaca
Menyerang Demi Tuhan? Inilah Sejarah dan Perkembangan Radikalisme Agama
Ahmad Fatir Ahdar
Penulis Kolom

Mahasiswa IIQ AN-NUR Yogyakarta, Santri di PP. Al-Fitrah Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta.

Menyerang Demi Tuhan? Inilah Sejarah dan Perkembangan Radikalisme Agama

Radikalisme Agama

Secara etimologis, radikalisme berasal dari bahasa Latin “Radix” yang berarti “akar”. Sebuah paham yang mengacu pada hal-hal yang mendasar, prinsip fundamental. Gerakan yang menginginkan pembaharuan dengan mengembalikan diri mereka ke “akar” secara ekstrim. Jika dikaitkan dengan agama Islam, maka berarti sebuah gerakan yang secara ekstrem mengembalikan segala sesuatu kepada al-Qur’an dan hadis.

Jargon “kembali kepada al-Qur’an dan hadis” agaknya selalu dikumandangkan dengan lantang, hal ini didasaran kepada hadis nabi, “Kutinggalkan untukmu dua hal; jika berpegang pada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. Dengan hadis tersebut bermaksud bahwa al-Qur’an dan Hadis Nabi merupakan dua sumber yang menjadi titik tolak pedoman berperilaku bagi umat Islam sekaligus sebagai sumber identitas.

Secara umum, sebenarnya tidak ada masalah dengan jargon ataupun gerakan “kembali kepada al-Qur’an dan hadis”, karena sudah sepatutnya sebagai seorang muslim untuk senantiasa berpedoman kepada kedua sumber hukum tersebut. Namun, yang menjadi problem-nya adalah bahwa pembacaan terhadap al-Qur’an dan hadis tersebut dilakukan secara harfiyah, artinya pembacaan hanya terbatas pada apa adanya bunyi yang tertulis, tanpa harus menggali lebih jauh muatan-muatan makna yang mungkin terkandung dalam teks. Tentu saja hal ini sangatlah berbahaya, apalagi jika “secara semena-mena” al-Qur’an dan hadis digunakan sebagai alasan untuk menyalahkan dan mengkafirkan umat Islam yang lain.

Mari kita tengok sebentar sejarah dari radikalisme itu sendiri. Kali ini saya mencoba mensarikan isi ceramah dari Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A. dalam suatu kesempatan. Dijelaskan bahwa gerakan radikal sedikit demi sedikit mulai masuk sejak tahun 80-an. Radikal pun cukup bervariasi level “keradikalannya”, mulai dari level yang bawah hingga level tertinggi – ya, bisa dibilang begitu lah. Ada yang radikal secara teologi tetapi tanpa disertai dengan tindakan-tindakan merugikan. Mereka melarang tetapi dengan cara yang santun, tanpa caci makian, apalagi penyerangan. Yakni kelompok Wahabi yang melarang hal-hal yang mereka anggap bid’ah, khurafat, seperti mengatakan bahwa maulid nabi bid’ah, isra’ mi’raj bid’ah, ziarah kubur musyrik, tetapi dengan santun, dan tidak mencaci maki.

Baca juga:  Membaca Narasi "Curang yang Terstruktur, Sistematis dan Masif"

Setelah itu datanglah Salafi dari Yaman, dari Syaikh Muqbil ad-Dammaj yang lebih keras dari pada Wahabi. Mereka memberikan larangan tetapi juga disertai dengan caci maki. Adapun pemikiran Syaikh Muqbil sendiri dipengaruhi oleh beberapa tokoh, seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, serta Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.

Lebih dari itu, ada yang dinamai dengan  kelompok Jihadi, mereka menghalalkan membunuh non muslim bahkan dengan memusnahkan tempat ibadahnya pula. Dan puncaknya yang lebih berbahaya dari beberapa kelompok tersebut adalah kelompok takfiri yang dibentuk oleh Shukri Ahmad Mustafa tahun 1969 dari Mesir dengan menganggap bahwa “semua orang adalah kafir kecuali kelompok mereka”. Mereka-lah yang membunuh presiden ketiga Mesir, Mohammed Anwar Al Sadat pada tanggal 6 Oktober 1981, termasuk juga membunuh mentri agama Mesir Syeikh Husain Az-Zahabi (penulis kitab at-Tafsir wal-Mufassirun).

Lebih lanjut, Said Aqil menjelaskan bahwa di Indonesia sendiri pun ada kelompok yang seperti ini (takfiri), mereka mengkafirkan kelompok diluar mereka, karena dianggap mendukung negara yang tidak Islami, mendukung Pancasila, UUD 45 yang mereka anggap itu thaghut. Maka, siapapun yang dianggap mendukung hukum yang tidak Islami, ia adalah kafir. Hal ini sama persis dengan cara berfikirnya Abdurrahman bin Muljam yang membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan dalih dalil al-Qur’an, bahwa “barang siapa yang tidak melaksanakan hukum Allah maka dia kafir”. Khalifah Ali dianggap kafir karena beliau setiap kali menghadapi masalah beliau selalu berunding, berdiskusi dengan para sahabat lain, sehingga menghasilkan hukum yang – menurutnya – bukan Islam, tetapi hukum yang dibuat oleh manusia. Sama seperti MPR, DPR yang menghasilkan sebuah UU, maka itu kafir karena itu hukum yang dibuat oleh manusia bukan hukum dari Allah.

Baca juga:  Siapkah Kita Menjadi Muslim?

Hal demikian ini telah lama terjadi, katika kelompok Khawarij menghalalkan darah Ali bin Abi Thalib, dibunuh dengan alasan Ali kafir. Untuk era sekarang, kelompok Khawarij sudah tidak ada akan tetapi cara berfikir yang “ala Khawarij” yang mengkafirkan orang yang tidak sependapat semakin berkembang.

Di Indonesia sendiri, radikalisme tampil dengan rupa yang begitu seram, muncul dalam tindakan dishumanis (tidak manusiawi) yang sangat memilukan. Kita lihat aja deretan kasus yang telah terjadi, seperti tragedi Poso, Ambon, Sambas, Bom Bali, dan seterusnya. Sungguh aneh sekali, segala tindak kekerasan, seperti pembunuhan, pembakaran itu dibingkai atas nama agama. Lantas, apakah agama mengajarkan kekerasan, menjadi radikal dan suka menyakiti?

Para ahli dalam hal sosiologi agama, politik maupun ilmu sosial lainnya memberikan sekurang-kurangnya beberapa penyebab mengapa orang bersedia melakukan tindak kekerasan atas nama agama. Pertama, persoalan pemahaman agama. Kita tahu bahwa banyak kalangan yang salah dalam menafsirkan ayat-ayat tentang jihad, sehingga jihad dipahami sebagai sebuah gerakan penyerbuan, pembasmian mereka yang dianggap sebagai thoghut.

Kedua, radikalisme-terorisme juga dikaitkan dengan adanya pemahaman tentang ketidakadilan politik, ekonomi dan hukum yang berjalan dalam sebuah negara, sehingga gerakan ini lebih kepada “aksi protes”. Tidak heran jika banyak apparat penegak hukum justru menjadi sasaran penyerangan dari kelompok radikalis. Ketiga, persoalan pendidikan yang lebih menekankan pada aspek ajaran kekerasan dari agama, termasuk pemdidikan yang lebih menekankan pada indoktrinasi dan tidak memberikan ruang diskusi. Terjadi semacam hal yang pasif, yakni terdapat kelompok – anggap saja sebagai murid – yang terus dijejali dengan doktrin-doktrin tanpa diberikan ruang untuk berdiskusi dan bertukar pikiran.

Baca juga:  Kulit dan Isi: Menimbang Ekspresi Keberagamaan

Mau bagaimanapun juga, radikalisme-terorisme itu jelas salah, hanya karena Indonesia itu memakai hukum positif, ada yang dibuat undang-undang oleh Hindia Belanda, tidak lantas kemudian dianggap thoghut halal darahnya. Jika mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah, maka itu bukanlah cara pandang kita. Cara pandang mazhab kita adalah bahwa siapa saja yang mengucap laa ilaaha illallah adalah mukmin. Dia tidak lantas dihukumi kafir walaupun meninggalkan shalat, tidak puasa Ramadhan dan tidak mengerjakan kewajiban lainnya.

Agama Islam adalah agama yang memberi pengharapan. Siapa-pun dia yang berlaku buruk, masih diberi kesempatan untuk berbenah diri. Kita tidak boleh semena-mena dalam menghakimi orang lain, siapa yang tahu apa yang akan terjadi di hari kemudian. Mungkin hari ini mereka berbuat maksiat, berbuat buruk, tetapi bisa saja suatu saat mereka berubah drastis menjadi jauh lebih baik. Banyak contoh kelompok “abangan” yang kemudian melahirkan keturunan yang jauh lebih baik. Ayah, kakeknya dahulu seorang awam tulen, tetapi anak, cucunya jutru seorang ahli dalam bidang agama. Sekali lagi, agama adalah sebuah pengharapan, siapapun pelaku keburukan masih mempunyai kesempatan untuk bertaubat, menjadi orang baik, bukan malah serta-merta dihukumi kafir. Wallahu A’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top