Sarekat Islam (SI) tak pernah luput dari perbincangan tentang pergerakan intelektual Islam sekaligus gerakan politik di era kolonial. Berawal dari sebuah organisasi dagang, SI kemudian tumbuh sebagai organisasi dengan jumlah anggota yang sangat besar, dan berorientasi pada pergerakan politik.
Yogyakarta, sebagai kota yang identik dengan Muhammadiyah, juga terjamah oleh efek dari menyebarnya cabang-cabang SI. Di Yogyakarta, cabang SI terbentuk pada 1913, setahun setelah Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan.
Pada awalnya, SI cabang Yogyakarta diurus oleh para abdi dalem Pakualaman yang beberapa di antaranya sudah berkenalan dengan dunia pergerakan. Untuk menyebut salah satunya ialah RM Suryopranoto atau Si Raja Mogok.
SI yang seakan “kalah tenar” dengan Muhammadiyah, memang kurang mendapat perhatian di Yogyakarta. Takashi Shiraishi, dalam Zaman Bergerak, menyebutkan bahwa jumlah anggota SI di Yogyakarta sedikit dan terbatas di daerah kota Yogyakarta dan Kota Gede.
Sebenarnya, KH. Ahmad Dahlan tidak terlalu antusias dengan hadirnya SI. Melihat ekspansi SI di mana-mana, ia lalu mengambil alih pimpinan SI Yogyakarta. Ia menjadi ketua dan Mas Pengoeloe Haji Abdoellah Sirat, sekretaris Muhammadiyah, sebagai sekretaris SI Yogyakarta dibolehkan berdiri selama tidak mengganggu kepentingan Muhammadiyah. Demikian papar Takashi Shiraishi.
Pemaparan Takashi Shiraishi di atas agaknya sesuai dengan tekad yang dimiliki KH. Ahmad Dahlan. Ia, yang bertekad ingin memurnikan ajaran Islam dan mempersiapkan generasi yang mampu menjadi pemimpin. Wajar jika SI yang memang gencar melakukan aktifitas politik, kurang mendapat perhatiannya.
Ketika SI melaksanakan kongres di Yogyakarta pada 1914, KH Ahmad Dahlan ditunjuk sebagai penasihat organisasi. Posisinya sebagai penasihat organisasi masih tetap dipertahankan hingga kongres SI pada 1919 di Surabaya.
Di Kongres itu pula, Yogyakarta menjadi salah satu pusat kekuatan baru SI, dengan didapuknya RM Suryapranoto sebagai pimpinan SI cabang Yogyakarta, sekaligus lebih mendekatkan hubungan antara SI dan organisasi yang diasuh oleh Si Raja Mogok tersebut, Adidarmo.
Setelah tak lagi duduk di posisi pimpinan SI cabang Yogyakarta, KH. Ahmad Dahlan tetap dianggap sebagai seorang yang dianggap mampu memberikan masukan-masukan bagi SI, karena toh ia pun masih sebagai penasihat SI.
Ketika maraknya wacana disiplin partai, ia hadir dalam sebuah pertemuan di Yogyakarta tahun 1920, yang dihadiri oleh para pimpinan CSI. Ia, sebagai pimpinan Muhammadiyah, juga terlibat dalam diskursus antara CSI-Muhammadiyah dengan kelompok kiri yang saat itu mempunyai sosok yang sangat garang di dunia pers; Marco Kartodikromo.
Namun, seperti uraian Takashi Shiraishi, KH. Ahmad Dahlan tetap menjadi pengurus SI dan melaksanakan apa yang dibebankan kepadanya, walaupun ia tidak terlalu tertarik dalam urusan politik.
Ahmad Dahlan tetap mampu berdiri di atas organisai yang secara umum berbeda ruang geraknya. SI yang lebih menekankan diri dalam persoalan ekonomi dan politik, sementara Muhammadiyah yang menghindar dari kegiatan politis dan memfokuskan pada kegiatan agama dan pendidikan.
Perjalanan KH Ahmad Dahlan menuju Tanah Suci dalam rangka menuntut ilmu, juga membawanya pada salah satu tokoh yang kelak menjadi tokoh SI di wilayah lain, yakni KH. Ichsan, pemimpin pertama SI cabang Banjarnegara,.
Ketika KH. Ahmad Dahlan pergi ke Mekkah, beliau menitipkan putranya, Muhammad Sirodj, dan beberapa pemuda lain dari Yogyakarta untuk belajar di Madrasah Kidul Mesjid di Banjarnegara yang didirikan oleh KH. Ichsan pada 1906.
Pada masa itu, tak mengherankan jika seorang tokoh bisa menjadi anggota dua organisasi yang berbeda. Suasana politik dan pergerakan waktu itu, sangat mendukung untuk saling berserikat dan berorganisasi, demi tujuan masing-masing.
Apa yang ditunjukkan KH. Ahmad Dahlan dalam keterlibatannya dengan SI adalah salah satu contoh di mana tidak ada persaingan antarorganisasi mana pun, selama organisasi itu dimaksudkan untuk tujuan yang baik.