Orang menulis itu berbahagia. Tulisan pun menjadikan orang mendapat ganjaran. Pada suatu masa, ganjaran untuk Mochtar Lubis adalah penjara. Ia menulis dengan kesadaran mengajukan nilai-nilai mungkin bertentangan dengan penguasa. Tulisan demi tulisan terus diajukan ke sidang pembaca. Mochtar Lubis mengerti konsekuensi bila tulisan-tulisan teranggap menentang dan melawan rezim-rezim kekuasaan.
Ganjaran atau penghukuman tak menghentikan keberanian. Mochtar Lubis terus menulis. Penjara menjadi tempat mengesahkan diri sebagai penulis. Penjara memang tempat “pembatasan” dan “penghancuran” tapi Mochtar Lubis bersiasat menjadi manusia tangguh. Ia menggerakkan pikiran dan bahasa menghasilkan kekuatan menilai segala hal. Penjara itu tempat acuan untuk tulisan-tulisan. Penjara teringat dengan buku-buku. Mochtar Lubis malah memberi makna melampaui penghukuman. Penjara itu buku-buku.
Mochtar Lubis dalam buku berjudul Catatan Subversif (1980) menerangkan: “Buku ini adalah himpunan catatan harian selama berada dalam tahanan rezim Soekarno. beberapa bagian dari catatan harianku tidak aku masukkan dalam buku ini karena pelaku-pelaku cerita di dalamnya masih hidup, dan apa yang aku catat tidak selalu memberikan gambaran yang bagus tentang mereka.” Sekian tahun berlalu dari pengalaman meringkuk di penjara, buku itu terbit dan terbaca pada masa Orde Baru. Pembaca membuat jarak dan memandang agak jauh babak kekuasaan Soekarno. “Jika buku ini dapat menyumbang pada kesadaran demikian di tanah air kita, penulisnya sudah merasa berbahagia sekali.”
Mochtar Lubis tak sendirian. Pada masa revolusi, sekian tokoh (pengarang, seniman, intelektual, dan wartawan) biasa dipenjara gara-gara tulisan dan sikap politik. Di penjara, sekian tokoh menghasilkan tulisan-tulisan: catatn harian, puisi, cerita, esai, dan lain-lain. Kita mendapat persembahan Catatan Subversif, mengartikan Mochtar Lubis tak pernah kalah dan putus asa untuk menjadikan tulisan-tulisan bermisi ralat dan lawan.
Selama dalam penjara, Mochtar Lubis tak cuti dari membaca dan berpikir. Kita simak catatan bertanggal 29 Januari 1957: “Redaksi Indonesia Raya telah mengirimkan kepada saya Al Quran dan beberapa buku lain yang dikirimkan oleh Kyai Hasan dari Bangil. Saya merasa terharu sekali atas kiriman buku-buku agama ini. Juga buku-buku yang diberikan kepada saya oleh Himpunan Pengarang Islam saya terima dengan rasa terharu buku.” Buku dan haru. Orang-orang tetap mengasihi dan membarakan keberanian Mochtar Lubis dalam berurusan kebenaran, keadilan, dan keluhuran.
Buku-buku memberikan asupan kewarasan. Biografi sebagai pembaca berlanjut meski dalam tempat dan suasana berbeda. Penghukuman berupa pemenjaraan atau tahanan rumah memastikan buku-buku tebar kebahagiaan. Buku-buku pun memicu “studi” untuk menekuni hal-hal teranggap kelak penting disampaikan kepada publik. Keberanian selakau pengarang dan wartawan tak surut selama dalam penjara. Mochtar Lubis (1959) mengisahkan: “Amat lama saya tidak membuat catatan harian karena saya amat sibuk sekali menulis roman Yang Terinjak dan Melawan. Saya juga asyik mempelajari bahasa Prancis dan Spanyol. Di samping itu pula saya sering menulis cerita-cerita pendek, menyalin buku-buku.
Mochtar Lubis malah bergairah menggubah sastra. Ancangan untuk menulis sudah termiliki akhir 1958: “Sekarang telah menjadi jelas dalam otak saya buku roman apakah yang akan saya tulis. Saya ingin melukiskan dalam roman keadaan sosial dan politik negeri kita. Betapa kehausan akan kekuasaan, keserakahan dalam harta benda dan kekuasaan menggunakan kedudukan partai telah menimbulkan kerusakan-kerusakan yang amat banyak di tengah masyarakat kita. Saya telah menulisnya dengan lancar dan mudah sekali meskipun saya tahu buku ini mungkin dalam masa lam belum akan dapat diterbitkan di Indonesia.” Sastra dalam tatapan curiga dan permusuhan oleh penguasa. Di Indonesia, pelarangan atas penerbitan buku-buku sastra mencipta sejarah-sejarah buruk berkaitan demokrasi dan kebebasan pengarang.
Hari demi hari berganti. Mochtar Lubis tetap mendapat tekanan dan penghukuman dari penguasa. Ia tak berhenti membaca dan menulis. Pada 24 April 1963, ia mendapat kabar dari istri: “Twillight in Jakarta ada minat hendak diterbitkan di Malaysia. Baik sekali.” Kita mengingat novel itu terbit di Indonesia berjudul Senja di Jakarta. Pencatatan kabar gembira dilengkapi kritik keras atas situasi berbahasa di Indonesia masa 1960-an. Mochtar Lubis menulis: “Di Indonesia, Soekarno dan orang komunis setiap saat memperkosa kata-kata dan bahasa Indonesia.” Pada masa 1960-an, situasi politik di Indonesia amburadul. Nasib bahasa Indonesia turut terdampak dalam nafsu politik.
Pada 2008, terbit buku berjudul Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru. Buku menggenapi Catatan Subversif. Ignatius Haryanto menerangkan: “Buku ini memiliki riwayat yang panjang. Ia ditulis pada tahun 1957, saat penulisnya ada dalam penjara. Lalu, naskah ini pertama kali terbit dalam bahasa Belanda, 4 tahun sesudah ditulis. Kemudian, naskah ini perlu menunggu hampir 30 tahun untuk bisa terbit dalam khasanah perbukuan di Indonesia.” Kita makin membuktikan bila Mochtar Lubis tak mau kalah atau putus asa dalam menulis dan bersikap meski mendapat ganjaran berat dalam dua rezim kekuasaan: Soekarno dan Soeharto.
Catatan bertanggal 9 Februari 1975: “Saya tak dapat memahami mengapa tulisan-tulisan saya dapat membawa saya ke dalam penjara kembali. Saya rasa tulisan dan kritik saya sejalan dan searah dengan cita-cita perjuangan Orde Baru, sebagai puluhan kali diucapkan dan dijelaskan oleh Soeharto sendiri dalam pidatonya.” Tulisan-tulisan tetap momok bagi penguasa. Mochtar Lubis menghasilkan tulisan-tulisan bercap “panas” dan “mengganggu” bagi kemapanan penguasa. Pada masa Orde Baru, Mochtar Lubis dengan tulisan-tulisan belum “beruntung”. Ia sadar tak ingin berhenti atau tamat dalam menghasilkan tulisan atau buku.
Mochtar Lubis berulang ingin melawan dengan roman. Kita simak catatan 2 April 1975: “Aku juga ingin menulis cerita pendek. Dan aku sudah menulis beberapa sajak yang nanti kukirim padamu. Juga sebuah roman mulai timbul dalam kepalaku. Judulnya pun sudah jelas: Musim Bergantian. Tentang orang-orang tiga zaman, penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, revolusi, kemerdekaan, zaman Soekarno, dan kini.” Kita dibuat terpukau dengan hasrat Mochtar Lubis menjawab penghukuman dengan roman-roman. Pada masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto, ia memastikan melawan menggunakan roaman. Perlawanan itu beradab!
Kini, kita mengingat Mochtar Lubis memang sosok memihak keberanian. Ia pantang mundur untuk menempuhi jalan menghasilkan hukuman-hukuman. Mochtar Lubis menjadi pembaca dan penulis bukan untuk lembek, kalah, dan malu. Ia memastikan tetap menulis dan buku-buku disajikan sebagai persembahan mengandung perlawanan-perlawanan. Begitu.