NU dan pesantren, selain jadi gudangnya bid’ah, juga tempat yang produktif mengolah humor. Momentum humor di NU/pesantren tak pandang tempat dan jenis acara. Kecuali khutbah jumat, semuanya sangat mungkin terjadi ngakak berjamaah, minimal senyum-senyum sendiriaan, karena yang lain tidak menangkap ada sisi humor.
Humor inilah yang menjadikan kiai begitu tampak egaliter. Humor pulalah yang menjadikan Banser tampak tidak sangar macam tentara.
Beberapa tahun lalu, saya menghadiri pemakaman aktor senior Alex Komang, di Jepara, Jawa Tengah. Banser jadi perhatian di kuburan, bukan cuma para seniman yang datang dari Jogja, Jakarta, atau Semarang. Karena Banser ditugasi agar pemakaman berjalan lancar, atur jalan, dan mengawal tamu-tamu, salah satunya aktor senior Slamet Rahardjo.
Ga-gara Banser itulah, kuburan tak tampak muram. Kenapa?
Mereka, para Banser, antri foto bersama Slamet Rahardjo. Padahal, mereka ditugasi ngawal aktor kawakan itu agar jalannya lancar dan tak tersesat dari kuburan ke rumah duka.
“Kalau bukan NU, gak ada di kuburan santai begini. NU memang ahli kubur,” ujar Slamet.