Sedang Membaca
Selusin Bahasa dan Surat
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Selusin Bahasa dan Surat

Ketika Bahasa Dipaksa Beragama

Kamus itu berwarna. Kamus tanpa gambar di kulit muka. Pembaca mungkin kecewa gara-gara tiada pemicu imajinasi rupa untuk mengerti bahasa Inggris. Pihak penerbit memilih pameran warna. Kamus “berwarna” itu tergunakan di Indonesia selama puluhan tahun. Orang-orang selalu ingat Kamus Inggris-Indonesia susunan John M Echols dan Hassan Shadily.

Pada abad XXI, kamus itu masih pilihan. Kamus belum terkalahkan. Kamus terbit di Indonesia pada 1976. Kini, kamus cetak ulang puluhan kali. Kamus pun tercatat dalam pembajakan menghasilkan untung besar di pelbagai kota. Masa demi masa, kamus sering digunakan murid-murid demi menguasai bahasa Inggris.

John dan Hassan menjelaskan: “Kamus Inggris-Indonesia ini merupakan usaha pendaftaran yang luas yang bertujuan mencakup sebagian besar kata dan ungkapan Inggris yang paling umum dipakai di Amerika dengan menyertakan ejaan dan lafal Amerikanya serta padanan Indonesianya. Walaupun kamus ini terutama disiapkan demi kegunaan orang Indonesia, berbagai upaya diusahakan juga agar buku ini dapat bermanfaat bagi penutur bahasa Inggris yang ingin mencari padanan Indonesia bagi kata atau ungkapan Inggris.”

Di kelas, kamus itu terpandang elok. Kamus bermutu membenarkan gengsi murid ingin menguasai ilmu dan mengerti dunia dengan bahasa Inggris. Kamus kadang terpajang di perpustakaan, menanti orang melihat atau menggunakan untuk keperluan-keperluan akademik. Ada pula orang membuka kamus untuk memastikan arti lirik lagu biasa terdengar. Dulu, murid-murid SMP atau SMA suka lagu-lagu Barat. Mereka mencipta merdu dengan bahasa Inggris. Patah hati atau girang berbahasa Inggris kadang memerlukan membuka kamus.

Baca juga:  Sastra itu Bicara

Kamus sering dibuka mungkin cepat rusak. Kita terbiasa melihat kamus menjadi tak keruan. Sampul kotor dan pecah. Halaman-halaman kamus berlepasan atau terlipat sembarangan. Kamus menanggungkan derita dan petaka. Kamus Inggris-Indonesia jarang ditakdirkan awet sepanjang masa. Tangan-tangan para pembuka dan pembaca kamus menentukan Kamus Inggris-Indonesia menjadi barang rongsokan, terwariskan, atau terkoleksi sampai menjelang mati.

Cetak ulang dan laris dalam edisi bajakan, Kamus Inggris-Indonesia tak memiliki halaman mengenalkan John M Echols dan Hassan Shadily. Dua sosok misterius tapi berlimpahan pahala. Orang-orang pun kadang cuma mengingat judul, tak terbiasa mengucap dua nama. Mereka tak terlalu penasaran untuk melacak informasi mengenai John M Echols (intelektual Amerika Serikat) dan Hassan Shadily (peminat sosiologi dan pembuat kamus lahir di Madura).

Kamus masih berwarna, belum luntur. Kita menanti terlalu lama untuk membaca biografi dua orang telah membuat murid-murid selamat dan bahagia selama belajar bahasa Inggris di sekolah.

Di majalah Intisari edisi Juni 1989, kita mendapat tiga halaman pengenalan John M Echols oleh Hassan Shadily. Kita mengutip babak keintelektualan John Minor Ecchols: “Rupanya sudah takdir John menjadi pakar bahasa. Ketika ia bekerja di angkatan laut, mulai tahun 1942, dan berpangkat letnan muda ia mendapat tugas belajar di Universitas Cornell dan belajar bahasa Melayu… Setelah itu John mulai mengamalkan ilmunya. Ia mengajar berbagai bahasa yang dikuasainya. Mula-mula di Departemen Dalam Negeri, kemudian di Universitas Cornell. Ia pernah mengajar tak kurang dari dua belas bahasa, mulai dari bahasa Denmark, Finlandia, Hongaria, Indonesia, Melayu sampai Tagalog.” Si pembuat kamus tanpa tandingan. Sakti dengan selusin bahasa.

Baca juga:  Indonesia Geger Lagi dengan Masalah Busana: Kerudung dan Berpuisi Jilbab

Pada suatu hari, intelektual memiliki koleksi ribuan buku dan sabar itu mengajak Hassan Shadily dalam membuat kamus. Dua orang kerja bareng: selaras dan tangguh. Pengisahan oleh Hassan Shadily seperti ledekan bagi kita gara-gara berlaku sembrono untuk Kamus Inggris-Indonesia.

Tata cara membuat kamus: “Kerja sama saya dengan John dalam penyusunan kamus sebagian besar terjadi melalui surat-menyurat. Diskusi-diskusi langsung hanya terjadi waktu saya tiga tahun berada di Amerika Serikat, saat John, Nancy dan keluarga berada di Indonesia pada tahun 1958, serta waktu saya tiga kali mengadakan kunjungan singkat ke Cornell.” Surat-surat bergerak (Amerika Serikat-Indonesia dan Indonesia-Amerika Serikat) untuk menghasilkan kamus tebal. Kata-kata dan pelbagai pengertian dalam korespondensi memerlukan waktu dan perjalanan jauh.

Kita mengaku malu dan terharu. Kamus itu bergelimang pengharapan dan nostalgia untuk menjadikan orang-orang Indonesia rajin belajar bahasa Inggris. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top