Sedang Membaca
Jakarta Maghrib: Kritik Sosial hingga Religiusitas Masyarakat Jakarta
Mohammad Pandu
Penulis Kolom

Aktif di Komunitas Santri Gus Dur. Belum lama lulus kuliah di salah satu kampus negeri di Jogja. Bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas.

Jakarta Maghrib: Kritik Sosial hingga Religiusitas Masyarakat Jakarta

Jakarta selalu punya cerita. Sebagian diabadikan, sebagian hilang begitu saja. Dari generasi ke generasi, homo jakartanicus banyak merekam cerita-cerita mereka lewat puisi, buku, lagu, lukisan, drama teater, atau film. Seno Gumira punya Jakarta 2039, Jokpin punya Naik Bus di Jakarta, Slank punya Gemerlap Kota, Salman Aristo punya Jakarta Maghrib, dan banyak lagi lainnya.

Semua produk kebudayaan tentang Jakarta di atas memiliki warna, emosi, dan kekhasan cerita masing-masing. Tapi mari kita pilih salah satunya. Kita pilih satu cerita yang sangat indah dari film karya Salman Aristo, Jakarta Maghrib (2010).

Satu hal spesial dari Jakarta Maghrib: ia meramu dua entitas tempat dan waktu dalam satu medan sosial. Kita tahu seberapa keras hidup di Jakarta. Kota metropolitan dengan mobilitas tinggi itu menjadi tempat bertemu jutaan kepala dari bermacam tanah kelahiran. Sangat heterogen, meruah, dan dinamis.

Sedangkan maghrib, ia sendiri bukanlah sembarang waktu. Ia adalah garis temu yang sakral antara siang dan malam.

Maghrib juga berdiri tegak sebagai sebuah fenomena religius dan mistis. Seringkali rutinitas kita dipotong oleh mangsa ini. Mangsa ketika anak-anak dicari orangtuanya, ketika para pekerja pulang untuk rehat, atau ketika para tetangga saling bertemu kembali di musala.

Jakarta Maghrib sebenarnya lebih tepat dibilang kumpulan cerita yang indah. Meski berdurasi 75 menit, film ini bukanlah sajian visual panjang dengan plot tunggal. Film omnibus ini berisi lima segmen utama. Artinya ada lima cerita yang berbeda tapi masih dalam satu payung tema yang sama. Ditambah satu segmen penutup yang mempertemukan ujung plot dari kelima segmen sebelumnya.

Baca juga:  Islam, Iman, dan Tertib Lalu Lintas

Film ini menjadi debut penyutradaraan Salman yang bisa dibilang cukup berhasil. Sang penulis kawakan itu juga mengeksekusi naskahnya sendiri. Dari total enam pembabakan dalam film, kita akan melihat potret kehidupan metropolitan dari beragam profesi, usia, kelas sosial, dan masalah sehari-hari mereka.

Segmen pertama dibuka oleh Iman Cuma Ingin Nur. Sebuah mukadimah dengan efek kejut yang mampu membelalak mata, gelak tawa, dan empati. Segmen ini berkisah tentang Iman (Indra Birowo) yang hidup bersama istri, anak, dan kedua mertuanya. Ia terpaksa tinggal berhimpitan dalam rumah sempit karena faktor ekonomi.

Sepulang lembur nyatpam selama tiga hari, Iman pulang ke rumah menjelang maghrib. Ia bertemu Nur (Widi Mulia)–istrinya yang sedang menenangkan bayi mereka yang terus menangis.

Pasutri itu mulai mengobrol, dari keluhan soal pekerjaan sampai permintaan “jatah biologis” Iman kepada Nur. Dari sinilah percikan konflik, bumbu komedi, sekaligus kritik sosial mulai menampakkan taringnya.

Di segmen kedua hati kita akan diiris-iris oleh Adzan. Kita akan melihat kritik religiusitas dan filosofi hidup muncul dalam obrolan preman kampung dengan penjaga warung depan musala. Bagian ini menampilkan sosok sangar Baung (Asrul Dahlan) yang, jangankan berpikir ke musala, bisa berhenti malak dan mabuk saja sudah sebuah kemajuan pesat.

Sore itu, Baung mampir ke warung kecil Babe Armen (Sjafrial Arifin) untuk ngopi dan membakar rokok. Baung selama ini heran, bagaimana bisa orang setua Babe Armen masih rajin membersihkan musala setiap menjelang maghrib, tanpa disuruh apalagi dibayar. “Gue bingung sama babe. Hobi ngeberesin musala. Orang sini aja nggak ada yang peduli! Hahahaha!” ceplos Baung sekenanya.

Baca juga:  Generasi Santri Millenial dan Demokrasi Oligarki

Dua tokoh kontradikif ini semakin lama berdialog, semakin melarutkan pula kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Babe Armen yang terlihat arif selalu menjawab setiap pertanyaan dan keheranan Baung dengan senyum tenangnya.

“Yah, saya ingin adzan tepat waktu setiap hari. Adzan itu tanda. Ngasih tahu ke orang-orang, sudah saatnya ngobrol sama Tuhan,” jawab Babe Armen saat ditanya Baung soal keinginan hidupnya. “Apalagi maghrib. Nampaknya hanya Maghrib saat orang-orang jemaah di Jakarta ini,” sambungnya.

Di segmen ketiga, Salman memunculkan satu permasalahan sosial mendasar pada hampir sebagian besar warga Jakarta: individualisme.

Pada segmen Menunggu Aki ini, kita akan melihat orang-orang komplek sepulang kerja yang “terpaksa” saling bertemu. Mereka keluar rumah, duduk bersama, saling berkenalan meski bertetangga bertahun-tahun. Kali ini, mereka dipersatukan oleh satu tujuan: menunggu tukang nasi goreng yang belum lewat. Bagian ini sangat menarik karena pengambilan gambar long take yang nyaris sempurna.

Pada segmen selanjutnya, Cerita Si Ivan, kita disuguhi sebuah mitos mistis yang erat dengan dunia anak-anak. Bagian ini adalah cerita tentang bocah SD bernama Ivan (Aldo Tansani). Ia mempercayai bahwa maghrib adalah waktu di saat para hantu keluar untuk menculik anak-anak yang belum ke pulang ke rumah.

Sedangkan di segmen kelima, memunculkan panggung dramatis percakapan sebuah pasangan muda-mudi kelas menengah. Salman berkisah tentang lelaki (Reza Rahardian) tempramental yang sedang berseteru dengan kekasihnya (Adinia Wirasti) di dalam mobil, saat perjalanan ke pernikahan seseorang. Pengemasan adegan ini cukup sederhana, tapi mampu memasuki banyak ruang kritik.

Baca juga:  Konsep Mahabah Perspektif Al-Ghazali

Pada babak bertajuk Jalan Pintas ini, kita akan melihat potret susahnya meniti karir di Jakarta dan kerasnya jalanan di ibukota sekaligus. Dua masalah yang kiranya menjadi kendala sehari-hari yang sangat berdampak pada kehidupan orang-orang di sana. Mulai dari dampak psikologis hingga dampak relasional, termasuk hubungan asmara.

Segmen terakhir, Ba’da, adalah muara dari segmen-segmen sebelumnya. Di sini mulai terlihat bahwa film ini memainkan plot cerita dengan cantik, meski masih ada sedikit kekurangan di sana-sini.

Ba’da dibuka dengan Iman yang keluar rumah untuk mencari makan di gang yang tak jauh dari rumahnya. Ia pun bertemu Aki (Ki Daus) yang berhenti memarkir gerobak nasi gorengnya di pinggir jalan karena bannya kempes. Di bagian ini terlihat pula segerombolan orang yang masih berkaitan dengan segmen Adzan, perempuan dari segmen Jalan Pintas, dan Ivan yang masih ketakutan dengan hantu imajinatifnya.

Jakarta Maghrib telah menyambangi berbagai festival film di tanah air dan beberapa di manca negara. Film indie ini mendapat banyak apresiasi dan sambutan positif dari berbagai kalangan. Pada perhelatan Piala Citra 2011, Salman Aristo mendapat nominasi sebagai Penulis Skenario Terbaik dan Penulis Cerita Asli Terbaik. Kabar baik juga keluar dari perhelatan Indonesian Movie Awards tahun 2012. Reza Rahardian dan Adinia Wirasti akhirnya berhasil menyabet piala Pasangan Terbaik dari film tersebut. (atk)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top