Sedang Membaca
Swadeshi dan Zuhud: Catatan Hari Santri
Listia Suprobo
Penulis Kolom

Pernah belajar di UIN Sunan Kalijaga dan UGM. Pengiat pendidikan di Perkumpulan Pendidikan Interreligius/Pappirus. Tinggal di Jogjakarta.

Swadeshi dan Zuhud: Catatan Hari Santri

Santri

Swadeshi, adalah salah satu prinsip dalam gerakan kemerdekaan India yang bermakna sikap berdikari dalam hidup. Swadeshi menjadi prinsip dan telah menjadi semangat dalam pergerakan kemerdekaan India sejak 1905.

Gerakan swadeshi menjadi makin kuat oleh spirit baru yang lebih hidup di masa Mahatma Gandhi sekitar tahun 1924an, dengan mengkaitkan dengan cara konsumsi masyarakat. Pemaknaan baru swadeshi sebagai, ‘panggilan bagi para konsumen untuk waspada akan bahaya yang ditimbulkan akibat konsumsi yang mendukung industri asing, atau penjajah pada masa itu, yang menyebabkan kemiskinan yang membahayakan manusia dan mahluk lain (dirangkum dari berbagai sumber).

Semangat dalam swadeshi adalah menyadari bahwa pilihan konsumsi dan gaya hidup berdampak panjang pada kehidupan umat manusia dan bumi. Dalam gerakan kemerdekaan ini, Gandi memberi contoh kemandirian dengan misalnya memintal sendiri benang-benang menjadi kain sederhana yang dikenakannya, menanam tanaman pangan bersama komunitas untuk dikonsumsi sehari-hari. Semangat ini menjadi salah satu modal untuk mampu bersikap mandiri-untuk kemerdekaan jiwa dan bangsanya.

Semangat swadeshi ini ada dalam pendidikan pesantren, dengan kemasan perspektif spiritual yang khas. Pendidikan pesantren tidak hanya mengupayakan penguatan pemahaman agama dan keagamaan, melainkan juga memperkuat karakter dengan kesadaran moral melalui olah spiritual, hidup bersahaja dan hati bersih. Kesadaran yang senantiasa ditanamkan dalam aktifitas pembelajaran di pesantren bahwa belajar adalah laku ibadah, sebentuk pengabdian pada Tuhan, bukan cara untuk mencari kekuasaan atau kedudukan duniawi (bdk. Zamakhsyari Dlofier, 1994).

Baca juga:  Gaya Hidup Santri (2): Khidmah

Di banyak pesantren, sebagaimana yang saya alami di Pesantren Al-Munawwir-Nurussalam Krapyak Yogyakarta, santri putri hanya diperbolehkan mengenakan perhiasan anting dan satu buah cincin, maksimal. Santri yang menggunakan kalung, gelang atau perhiasan lain dari emas harus dititipkan pada pengurus.

Jumlah pakaian juga dibatasi, tidak ada televisi dan saat itu belum ada HP. Makanan sehari-hari juga ala kadarnya. Hal ini menjadi pembiasaan yang menanamkan kesadaran bahwa mengambil atau menggunakan secukupnya dalam hidup atau bersikap ugahari atau yang dalam kehidupan pesantren lebih akrab dengan istilah zuhud, adalah gaya hidup yang sesungguhnya dapat dilakukan semua orang dan tidak mengurangi kebahagiaan.

Bahkan dengan gaya hidup seperti ini justru membuat seseorang yang menjalaninya menjadi mudah merasa bahagia atas hal-hal sederhana, karena tidak ada tidak ada ketergantungan pada fasilitas atau standard kenyamanan yang berlebihan.

Dalam proses pertumbuhan karakter ini, orang-orang yang menjadi tauladan dalam lingkungan pesantren adalah mereka yang mampu secara istiqamah hidup secara zuhud, yang tentu memiliki latar olah spiritual dan orientasi hidupnya hanya pada Allah, cara pandang yang jauh hingga kehidupan yang akan datang serta wawasan dan kepedulian luas pada semua mahluk ciptaanNya. Melihat dampak luasnya, sikap zuhud tidak hanya menjadi bukti atas kesalehan personal seseorang, laku ini juga ekspresi kesalehan sosial sekaligus kesalehan pada ekosistem bumi.

Baca juga:  Islam, Wayang, dan Kesusastraan

Sikap yang hanya mengambil atau memanfaatkan secukupnya dari semua karunia dunia, bila menjadi gerakan dapat meminimalisir kesenjangan sosial-ekonomi dan mendorong pemerataan sumberdaya, karena biasanya penyebab munculnya kesenjangan sosial adalah sikap serakah atau sikap yang membiarkan adanya penumpukkan sumberdaya pada kalangan tertentu. “(Sumber daya alam di) bumi ini cukup untuk seluruh penghuninya, tapi tidak bila ada orang-orang serakah”, demikian kurang lebih pernyataan Mahatma Gandhi.

Mereka yang memilih sikap zuhud atau konsisten dengan laku ugahari, memiliki kekuatan lebih untuk bersikap kritis karena kemerdekaan jiwanya, sehingga tidak mudah dimanfaatkan pihak-pihak yang suka menggoda dengan kenyamanan dan kemewahan dunia.

Dalam jiwa yang merdeka pula yang mampu mewujudkan keberanian untuk membela kalangan yang lemah dan terpinggirkan. Pembelajaran dalam laku ugahari dalam pesantren menjadi bagian dari pembelajaran yang memerdekakan jiwa.

Saat ini, alam pikir modern telah menghampiri dan menggoda siapa pun termasuk para santri. Alam pikir ini dengan berbagai narasi iklan yang terus menerus membombardir di semua lini kehidupan membangun cara pikir bahwa gaya hidup berlebih-lebihan, gaya hidup konsumtif adalah ‘sesuatu yang baik’, sebagai yang normal, bahkan seolah segala cara seolah dipahami boleh dilakukan, termasuk melalui persaingan tidak sehat.

Godaan tersebut begitu lembut sehingga banyak yang kehilangan sikap kritis mereka, dan tidak menutup kemungkinan dialami juga alumni pesantren. Situasi ini tentu menjadi tantangan bagi para pengasuh pesantren dan para pendidik untuk mencari metode yang tepat untuk mempertahankan nilai-nilai unggul dalam pendidikan pesantren.

Baca juga:  Anak, Buku, Kata-kata Islam, dan Kafir

Selamat hari santri….

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top