Ada beragam cara untuk mengekspresikan kerinduan dan kecintaan kepada Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ungkapan melalui teks, baik berbentuk prosa maupun puisi, adalah salah satunya. Itulah yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Said atau yang akrab kita kenal dengan Imam al-Bushiri. Seorang sufi cum penyair yang lahir di Mesir pada abad ketujuh hijriah.
Meski sudah ribuan atau mungkin jutaan madah pernah digubah untuk Sang Nabi, kasidah karangan al-Bushiri yang kemudian masyhur dengan nama Burdah itu harus diakui sebagai salah satu yang paling tenar dan digemari. Kepopulerannya sudah tidak diragukan lagi, lebih-lebih bagi masyarakat muslim di negeri ini.
Dalam tradisi keislaman di Indonesia, Burdah al-Bushiri punya tempat yang istimewa. Dalam beberapa momen dan kegiatan keagamaan, ia sudah menjadi bagian tak terpisahkan. Bahkan tak hanya sekadar ditembangkan, ia juga ditelaah dan dikaji di berbagai tempat dan kesempatan. Mulai dari pesantren-pesantren hingga majelis-majelis ilmu di luar pesantren.
Biasanya, telaah-telaah semacam itu dilakukan dengan merujuk karya-karya ulama terdahulu yang secara khusus menjabarkan setiap bait syair yang ada dalam Burdah. Dari sekian banyaknya karya semacam itu, kita bisa menyebut beberapa di antaranya: Syarh Burdah Li al-Bajuri, al-Umdah Fi Syarh al-Burdah, al-Zubdah Fi Syarh al-Burdah.
Namun tentu tidak semua kalangan di tanah air bisa serta-merta menikmatinya, mengingat semua kitab itu ditulis dalam bahasa Arab yang secara otomatis mengharuskan pembacanya menguasai gramatika Arab terlebih dahulu.
Beda halnya dengan buku yang diulas kali ini: Airmata Darah untuk Pangeran Madinah. Buku karangan Kiai Kuswaidi Syafi’ie ini adalah sedikit—untuk tidak menyebut satu-satunya—syarah Burdah yang berbahasa Indonesia dan pastinya akan memudahkan siapa pun untuk langsung memahaminya. Sebagai syarah, tentu buku ini tidak hanya sekadar berisi terjemahan, namun juga memuat uraian-uraian ringkas tapi tetap mendalam akan setiap untaian bait puisi Burdah.
Di samping itu, problem-problem seperti adanya reduksi makna, hilangnya kedalaman dan semacamnya, yang seringkali menghinggapi karya-karya terjemahan atau ulasan atas karangan berbahasa asing tidak akan pembaca temui di buku ini. Latar belakang penulisnya yang juga merupakan seorang sastrawan, sangat mempengaruhi keelokan bahasa di dalamnya. Idiom-idiom yang sangat puitis dalam Burdah dapat diterjemah dan dijabarkan dengan kalimat-kalimat yang tak kalah indah pula. Pembaca diajak menyusuri semesta rindu dan cinta kepada Sang Nabi yang dibentangkan Imam al-Bushiri dalam tiap larik anggitannya dan turut menikmati degup yang sama.
Dalam buku setebal 360 halaman ini, nazam Burdah yang berjumlah 168 bait diklasifikasikan menjadi sepuluh tema. Bagian pertama, nyanyian dan derita cinta. Kedua, hati-hati terhadap hawa nafsu. Ketiga, puja-puji untuk Sang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keempat, hari kelahiran Sang Nabi. Kelima, mukjizat-mukjizat Sang Nabi. Keenam, kemuliaan dan keterpujian Qur’an. Ketujuh, isra dan mikraj Sang Nabi. Kedelapan, jihad Sang Nabi. Kesembilan, tawasul terhadap Sang Nabi. Dan kesepuluh, munajat dan menyampaikan hajat terhadap Sang Nabi.
Di bagian penutup, penulis mengakui bahwa ada beberapa kitab syarah Burdah yang menjadi acuannya selama proses penulisan buku ini. Namun yang menjadi referensi utamanya adalah ‘Ashidah asy-Syuhdah karya al-Allamah as-Sayyid Umar bin Ahmad Afandi al-Hanafi. Seorang mufti di kota Harput, Elazig, Turki, yang wafat pada tahun 1299 Hijriah.
Alhasil, buku ini akan sangat membantu pembacanya untuk tidak sekadar membaca dan melantunkan Burdah, tapi juga meresapi makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Sehingga pembacaan terhadap Burdah tidak hanya sampai di bibir, namun juga menembus satir-satir yang pada akhirnya dapat menuntun pembacanya untuk menambatkan kerinduan dan kecintaan yang agung terhadap Sayyidul Kaunain, Tuan Dunia Akhirat, Sayyidina Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagai penutup, saya kutipkan apa yang disampaikan Habib Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi yang juga tercantum di bagian akhir buku ini: “Zaman di dunia ini nanti akan habis, sementara kemuliaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum rampung untuk sepenuhnya dijelaskan.”
Judul: Airmata Darah untuk Pangeran Madinah
Penulis: Kuswaidi Syafi’ie
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: Pertama, April 2022
Tebal: 360 halaman
ISBN: 978-623-293-675-1