Dengan adanya kecanggihan sains dan teknologi seperti sekarang ini, membuat masyarakat dapat dengan mudahnya mendapatkan informasi tentang kehalalan suatu produk. Yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan informasi tersebut harus melihat ke dalam proses bagaimana penetapan produk halal.
“Berbagai sumber yang dapat diakses dari berbagai aplikasi dan informasi yang ada di dunia digital itu kadang-kadang tidak menunjukkan jenisnya. Sementara kita enggan, dan tidak mau untuk melihat kepada proses, sehingga lahir produk,” ujar Ketua LD PBNU (Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) pada Literasi Digital dalam Penguatan Dakwah Produk Halal di Kampus Unusia B Parung, Sabtu (16/7/2022).
Menurutnya dalam mendapatkan informasi tentang hukum daripada suatu produk jangan hanya menerima jadinya. Tetapi harus sampai kepada pengetahuan tentang proses, bagaimana penetapan tentang hukum.
“Lah disinilah diperlukan adanya semacam penelusuran keabsahan narasumber. Harus meningkat, dari yang pada awalnya kita sebagai konsumen yang cukup mendapatkan informasi tentang suatu produk, asalkan informasi itu dari sesuatu yang betul-betul dapat dipertanggungjawabkan. Nanti harus meningkat dengan kecakapan dan kemampuan kita memanfaatkan teknologi digital yang terbarukan,” jelasnya.
Teknologi digital yang terbarukan bisa dipadukan dengan kemampuan keilmuan dalam bidang agama untuk memberikan respon, atau jawaban kepastian kehalalan dari suatu produk.
“Maka disitulah kita yang kemudian menyediakan jawaban-jawaban pertanyaan yang umum terjadi di masyarakat. Dari awalnya hari ini disosialisasikan tentang pentingnya dunia digital untuk mengetahui terhadap produk-produk apakah halal atau haram sehingga aman bagi kita untuk mengkonsumsi. Setelah memahami, harapannya setelah mendapatkan sosialisasi disertai dengan cara pemanfaatan yang tepat dalam teknologi digital,” imbuhnya.
Ia berharap agar para santri bisa menjadi content creator untuk memberikan respon atau memberikan pandangan-pandangan pendapat yang memang basisnya sama, bersama-sama dalam satu ideologi, suatu pemahaman, dan kerangka Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
“Sehingga bisa diakses oleh masyarakat luas untuk mendapatkan informasi tentang status keberadaan dari suatu produk. Kenapa? Karena tidak boleh semua orang itu bicara tentang halal haram, yang boleh berbicara tentang halal haram itu adalah ulama. Para ulama yang memang mengetahui kedudukan pasti daripada satu hal untuk diberikan kepastian hukum halal atau haram,” jelasnya.
Tetapi tidak semua ulama itu akrab dengan pemanfaatan teknologi digital, maka disitulah peran santri setelah mendapatkan informasi yang tegas tentang sesuatu itu halal atau haram. Kemudian membuat konten-konten, membuat sumber yang bisa menjadi rujukan pertanyaan umat untuk menjelaskan status sesuatu.
“Tetapi hukumnya bukan dari panjenengan yang bukan ahlinya, mendapatkan dari para ulama yang kualifikasi keilmuannya sudah diakui tetapi aspek kemampuan digitalnya itu diramu dengan kemampuan teknologi yang bisa digunakan. Dengan cara seperti itu, ini akan terpadu,” imbuhnya.
Dirinya berharap agar pendamping-pendamping halal menyerap informasi yang sebanyak-banyaknya dari para ahlinya tentang status kehalalan dari sesuatu yang pasti akan dipertanyakan oleh umat, akan dipertanyakan oleh masyarakat. Tetapi juga kemudian bisa menyajikannya melalui platform-platform media sosial yang bisa diakses dengan kecepatan teknologi digital yang sekarang sudah merambah dimiliki oleh hampir semua masyarakat di Indonesia.
“Maka disitulah kebutuhan-kebutuhan kepastian terhadap hukum itu akan mendapatkan jawaban, jawaban yang tidak putus dari sanad keilmuan. Tetapi disampaikan sesuai dengan kemampuan teknologi digital yang dikuasai oleh para santri,” pungkasnya.