Sedang Membaca
Merasakan Denyut Muslim Beijing
Hasanuddin Ali
Penulis Kolom

CEO dan Founder di Alvara Research Center, Jakarta

Merasakan Denyut Muslim Beijing

Merasakan Denyut Muslim Beijing 2

Mengakhiri kunjungan saya Ke Beijing selama tiga hari tidak elok rasanya bila saya tidak mengunjungi masjid terbesar dan tertua di Beijing, masjid Niujie.

Masjid Niujie dibangun pada tahun 996 pada masa Dinasti Liao (916-1125), terletak di Niujie (Jalan Sapi), Distrik Xuanwu, Beijing.

Untuk mencapai lokasi masjid Niujie saya menggunakan Subway dari stasiun Tiananment East, yang terletak tidak jauh dari gerbang masuk Forbidden City. Naik subway Line 1, kemudian transfer di stasiun Xidan naik subway lagi Line 4 turun di stasiun Caishikou.

Dari stasiun Chaishikou ke masjid Niujie, hanya 1 km. Saya memiilih jalan kaki saja.

Setelah berjalan kaki 500 meter saya melihat perubahan pemandangan di Beijing, disepanjang jalan akan banyak saya temui lelaki yang menggunakan penutup kepala putih dan perempuan China yang menggunakan jilbab.

Masjid Niujie
Dua orang muslim tiongkok sedang mengamati kaligrafi di jalan menuju masjid (Eksklusif/HA)

Di kanan kiri jalan juga banyak gerai yang menjual daging sapi dan kambing yang di atas gerainya ada kaligrafi Arab (tulisan Mandarin juga disebut tulisan kaligrafi). Tanda-tanda kehidupan komunitas Muslim terlihat di kawasan ini.

Disadur dari Wikipedia, Pada tahun 1215 masjid Niujie sempat dihancurkan oleh tentara Mongol, kemudian dibangun kembali pada tahun 1443 oleh Dinasti Ming dan secara signifikan diperluas pada tahun 1696 M pada era Dinasti Qing.

Baca juga:  Rama Mangun dan Gus Dur: Persahabatan Antariman

Sejak zaman Dinasti Qing, pasar di sekitarnya terkenal untuk perdagangan daging sapi dan daging kambing hingga saat ini. Nama masjid sebenarnya adalah Lǐbàisì, yang diberikan oleh kaisar Chenghua pada tahun 1474, karena terletak di Jalan Sapi. Niu berarti sapi dan Jie berarti jalan. Sampai sekarang, masjid ini disebut Masjid Niujie.

Pada era China modern, masjid Niujie telah mengalami tiga kali renovasi. Sejak berdirinya Republik Rakyat Tiongkok tahun 1949, masing-masing pada tahun 1955, 1979 dan 1996.

Secara bentuk bangunan dan arsitektur, jelas sekali terlihat bahwa masjid Niujie adalah hasil akulturasi yang kuat antara budaya China dengan Islam, sebagaimana akulturasi budaya Indonesia dan Islam di Indonesia yang kemudian kita kenal sebagai Islam Nusantara.

Menjadi Muslim tidak lantas kehilangan jatidiri sebagai bangsa China.

Saya sampai di masjid Niujie sekitar pukul 09.30 pagi. Bagi wisatawan masjid Niujie memang hanya dibuka dari puku 09.00 sampai 18.00, tapi bagi warga Muslim yang ingin beribadah iktikaf, ngaji, salat, bisa datang kapan saja.

Ketika mendaftar di petugas registrasi, mereka mengira saya dari Malaysia. Namun ketika saya bilang dari Indonesia, mereka terlihat sangat senang.

Meski saya tidak mengerti maksudnya karena terkendala bahasa, samar-samar saya mendengar mereka menyebut-nyebut dua nama: Abdurrahman Wahid dan Joko Widodo. Memang dua presiden kita yang pernah berkunjung ke masjid Niujie adalah Presiden Gus Dur dan Presiden Jokowi

Baca juga:  Kota Islam (20): Hamedan dan Jejak-jejak Persia Kuno Hingga Islam

Luas kompleks masjid Niujie sendiri kurang lebih 6000 M2, di mana tidak semuanya digunakan untuk ibadah. Di bagian belakang kompleks masjid, ada asrama, sekolah, kantor operasional masjid.

Masjidnya sendiri luasnya 600 M2 untuk menampung kurang lebih 1000 jemaah. Di samping kiri kanan masjid terdapat dua menara yang saat ini digunakan untuk menyimpan beberapa prasasti.

Setalah melakukan salat takhiyatul masjid saya berkeliling ke sekitar masjid, ternyata di Masjid Niujie saya tidak menemukan bedug sebagaimana lazimnya masjid-masjid di Indonesia. Namun demikian, bentuk mimbar masjid tempat khatib menyampaikan khutbah mirip dengan bentuk mimbar masjid-masjid tua di Indonesia.

Di saat akhir kunjungan, saya beruntung karena bertemu dengan dua warga muslim China yang sedang melakukan pemotretan preweddding di sekitar masjid. Yang menarik adalah, baju yang dikenakan mempelai pria lebih mirip dengan pakaian khas melayu dengan ciri khas kopiah hitam di atas kepala.

Karena harus mengejar jadwal pesawat kembali Jakarta, saya tidak bisa lama-lama di masjid Niujie, pukul 11.00 saya meninggalkan masjid Niujie menuju Bandara Internasional Beijing.

Bila ada kesempatan kembali Beijing, saya akan mengunjungi kembali masjid Niujie, terutama saat salat Jumat, nuansa kehidupan masyarakan Muslim China akan lebih terasa.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top