Sekian hari lalu, 24 April 2024, tokoh besar dalam industri jamu, obat tradisional, dan kosmetika pamitan dari agenda-agenda pembentukan masa depan Indonesia. Ia sudah menunaikan misi-misi besar, meninggalkan warisan-warisan penting bercorak tradisional dan modern. Ia pamit saat orang-orang sedang mengenang Kartini dan memuliakan lakon perempuan di Indonesia.
Di bisnis-bisnis bertema perempuan, Mooryati Soedibyo itu nama sering muncul dan menentukan dalam beragam perwujudan kecantikan, kesehatan, busana, pendidikan, tata krama, dan lain-lain. Sejak puluhan tahun lalu, publik mengakrabi dengan Mustika Ratu. Iklan-iklan bermunculan di koran, tabloid, dan majalah: mengabarkan ikhtiar besar meneruskan pengabdian leluhur dan membuat “pemodernan” sesuai situasi zaman.
Sosok dalam bisnis besar dan pelik tapi memiliki pijakan sosial-kultural Jawa. Ia mengerti capaian-capaian dalam kerja dan pengabdian sosial memerlukan pendasaran sejarah dan akar kultural. Di majalah Asri edisi Agustus 1997, kita kembali mengingat pengejawantahan Jawa: tradisional dna modern.
Pemberitaan bertema rumah. Keterangan terbaca: “Rumah, menurut cucu Pakubowono X yang sempat dibesarkan di kalangan keraton ini, harus mampu memberi perlindungan dan kehidupan yang tenteram kepada penghuninya.” Pengertian lazim tapi mendapatkan “pengistimewaan” saat Mooryati Soedibyo dan keluarga tinggal di rumah tua beralamat di Menteng, Jakarta.
Semula, rumah itu peninggalan Belanda. Pada saat dihuni, perubahan-perubahan dilakukan meski mempertahankan hal-hal pokok. Keaslian atau kelawasan masih terjaga. Rumah menjadi ungkapan pandangan dan rasa hidup. Penjelasan: “Saya menyukai hal-hal yang bersifat tradisional atau antik, sedangkan suami saya tadinya lebih suka kepada yang modern. Tetapi, lama-kelamaan beliau menyerahkan urusan-urusan ini kepada saya.” Ia berakar Jawa, tak bisa berpaling dari warisan-warisan leluhur.
Ia pun sadar membentuk biografi dalam adonan tradisional (Jawa) dan kemodernan (Eropa). Kita menengok masa lalu dalam pengisahan Mooryati Soedibyo (2010). Pengalaman saat masih bocah berada di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat masa kolonial: “Setelah usia tiga tahun, masuk SD di Pamardi Puteri, mendapat pendidikan yang lebih teratur, bisa menulis huruf Jawa, bahasa lebih halus, menari sudah bisa dipentaskan dengan saudara-saudara lainnya.” Ia dalam asuhan Jawa.
Di Solo, ia pun mulai menerima pengaruh-pengaruh Eropa. Situasi politik dan sosial-kultural membentuk kesadaran baru: “Di sini, sudah terasa pendidikan saya yang serba halus, lembut penuh tata krama digabung dengan disiplin pendidikan Barat ala Belanda. Pada masa bocah dan remaja, ia mengerti arus hidup dalam adonan Jawa-Eropa. Ia berada dalam babak-babak sejarah. Masa lalu itu terus berpengaruh saat ia tampil sebagai pelestari tradisi Jawa dalam menggerakkan beragam bisnis.
Sekian hari setelah Indonesia berduka atas kepergian Mooryati Soedibyo, berita kematian pun datang: 27 April 2024. Joko Pinurbo menghadap Tuhan. Ia pamit setelah “melahirkan” dan “membesarkan” puisi-puisi menjadikan orang-orang di Indonesia tertawa, malu, girang, terharu, ragu, dan iseng. Kita ingin ikut mengenang bertaut dengan tema-tema merujuk Mooryati Soedibyo.
Pada 2001, Joko Pinurbo menggubah puisi berjudul “Rumah Kontrakan”. Kita tak sedang membahas arsitektur atau pilihan alamat-geografis. Ia justru mengisahkan raga, rumah, dan uang. Kita mengutip: Tiap malam aku berdoa/ semogalah aku lekas kaya supaya bisa membangun/ rumah sendiri yang lebih besar dan nyaman,/ syukur dilengkapi taman dan kolam renang. Kita mengingat kebutuhan “papan” atau rumah bagi jutaan orang Indonesia saat kota-kota makin sesak dan desa-desa tak lagi sepi. Rumah menjadi kebutuhan pokok saat mencari nafkah tak mudah.
Ia memberi pengisahan berbeda sejenis ralat. Di puisi berjudul “Cita-Cita”, Joko Pinurbo (2003) mengungkapkan: Setelah punya rumah, apa cita-citamu?/ Kecil saja: ingin sampai rumah/ saat senja supaya saya dan senja sempat/ minum teh bersama di depan jendela.// Ah, cita-cita. Kain hari kesibukan/ makin bertumpuk, uang makin banyak/ maunya, jalanan macet, akhirnya/ pulang terlambat. Seperti turis lokal saja,/ singgah menginap di rumah sendiri/ buat sekadar melepas penat. Kita ikut prihatin. Gagasan atau pemaknaan rumah di Indonesia lekas berubah. Semula, orang-orang menganggap itu hunian, tempat tinggal, dan tempat membuat album keluarga. Zaman berubah dan kondisi manusia terguncang dalam pengalaman berumah.
Kita berlanjut membuat pertautan antara Mooryati Soedibyo dan Joko Pinurbo dengan tema kecantikan. Kesibukan dan kerepotan menjadi cantik dialami kaum perempuan di Indonesia. Mereka mengerti kosmetika dan jamu saat memiliki kiblat kecantikan: tradisional dan modern. Industri kecantikan membesar di Indonesia dibenarkan dalam serbuan iklan dan kontes-kontes pemilihan putri atau ratu kecantikan.
Kita mengingat puisi berjudul “Kecantikan Belum Selesai” gubahan Joko Pinurbo (2003). Kebimbangan dan keinsafan tentang kecantikan: Sudah selesai. Sudah kucoba semua warna./ Sekarang bersiaplah kau di ruang ganti busana.// Belum. Belum selesai. Beri aku sentuhan terakhir/ pada rambut, mata, dan bibir agar melihatku/ adalah melihat kecantikan yang belum selesai. Di Indonesia, capaian cantik tak sekadar mengacu akar kultural. Imajinasi global turut membentuk selera kecantikan. Tema itu menjadi perdebatan belum tamat.
Dua tokoh berada di dunia sana tapi kita tetap mengenang dan mengerti segala warisan. Rumah dan kecantikan itu secuil dari warisan untuk terbaca meski sulit utuh. Kita mungkin merasa kewalahan saat berdebat rumah dan kecantikan berbarengan situasi zaman makin pelik. Begitu.