Sedang Membaca
Negara Rasional dan Politik Ashabiyyah Paham Keagamaan Kontemporer
Avatar
Penulis Kolom

Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Negara Rasional dan Politik Ashabiyyah Paham Keagamaan Kontemporer

Negara Rasional

Sebagai kader, saya merasa bangga kepada Pak Kyai Aziz yang merupakan senior, bisa dibilang senior ideologis karena sama-sama pernah di PMII. Meskipun jarak saya dengan beliau sangat jauh, namun kehangatan sapa dan kedekatan kepada para kader begitu terasa. Saya merasa istimewa karena selain berkesempatan menulis sebuah modul tentang moderasi beragama satu tim di Ditjen PAI Kemenag RI (akan segera terbit), juga dikirim langsung dua buku beliau, buku Kontroversi Khilafah dikrim lebih dahulu, dan kemudian buku Negara Rasional: Warisan Pemikiran Ibnu Khaldun yang akan dibedah besok Selasa, 22 Juni 2021 pukul 09.30 WIB oleh Departemen Kajian dan Halaqah PP MDHW. Bagi para sahabat dan kawan kawan yang ingin bergabung bisa mendaftarkan melalui link https://wa.link/qzi6le dan https://chat.whatsapp.com/DgftJex4IwF2UeCxe3fKdp (Whatsapp).

Sebenarnya judul yang saya tulis dalam resensi buku ini menekankan pada soliditas (Ashabiyyah) dalam perspektif politik identitas yang kompleks mengenai posisi politik Islam kontemporer. Tentu saja sangat jauh dari perspektif pak Fachry Ali dalam pengantar buku yang sangat brilian mengaitkannya dengan rintisan pemikiran ekonomi politik, yang jauh sebelum Marx dan Keynes dengan judul pengantarnya “Ashabiyyah-Plus”-Based State Formation dan “Raungan” Panjang Pemikiran Politik-Ekonomi Ibnu Khaldun.

Negara Rasional sebagai Alternatif Baru Sistem Kepemimpinan

Gagasan negara rasional yang dimunculkan dalam buku ini membuka wawasan baru tentang idealitas sistem negara yang pada saat ini cenderung mengalami pengaburan makna, terutama, dari sisi pemikiran politik Islam. Istilah negara rasional di sini merupakan transformasi dari al-siyasah al-‘aqliyah dari pemikiran Ibnu Khaldun yang dirumusan oleh penulis sebagai konsekuensi dari sistem politik rasional.

Dalam era saat ini, Diskursus mengenai bentuk ideal kepemimpinan Islam masih menyisakan perdebatan yang panjang dikalangan para sarjana Muslim. Perdebatan tersebut hampir tidak kunjung menemukan titik persinggungan, bahkan semakin kabur dan tidak jelas ketika dihubungkan dengan konsep negara bangsa. Konsep politik Islam tidak mampu dipahami, bahkan oleh sebagian umat Islam sendiri ketika batasan-batasan mengenai konsepnya hanya menyinggung pada persoalan pemimpin, sedangkan persoalan mengenai problem keumatan dan persoalan mobilisasi masa, yang pada titik tertentu memiliki motif kepentingan dan politik tertentu belum mampu dijelaskan.

Ketika titik tekan teori politik Islam hanya menekankan pada kepemimpinan, di mana dalam kelompok Sunni lebih mendasarkan pada tradisi lama menurut model al-Khulafaur al-Rasyidun daripada tradisi Syiah (Imamiyah) yang berorientasi pada masa depan dengan kehadiran al- imam al-muntazhar. Untuk itu, konsep negara rasional merupakan bentuk kepemimpinan negara alternatif. Konsep negara rasional yang merupakan warisan dari al siyasah al-‘aqliyah lebih mengutamakan untuk melindungi kemaslahatan ummat dari pada penguasa. Sehingga, dari sini keberlangsungan bangunan kepemimpinan akan langgeng ketika soliditas umat (Ashabiyyah) selalu dijaga dalam format yang lebih inklusif.

Baca juga:  Kimiaus Sa’adah, Kitab yang Membuatku Bertaubat sebagai Jomblo

Politik Ashabiyyah Paham Keagamaan

Meskipun demikian, konsep Ashabiyyah (inklusif) yang dalam konteks Ibnu Khaldun harus berkonsolidasi dengan Arab dan Ajam (non-Arab) yang secara historis menjadi pengalaman umat Islam, khususnya setelah runtuhnya kekhalifahan Abbasiyah pada tahun 1258 M perlu didiskusikan kembali dalam konteks politik Islam kontemporer. Dalam konteks negara modern yang mengambil bentuk spirit nasionalisme dalam format nation state, apakah bangunan Ashabiyyah (inklusif) tersebut masih relevan?. Pertanyaan tersebut perlu direnungkan ketika atas dasar mempertahankan kekuasaan yang dibangun dari perspektif “geography of mind” (Fachry Ali: xxix) dari spirit keimanan (Islam). Kondisi ini penting dijelaskan mengingat bangsa-bangsa di dunia, terutama di Indonesia yang multikultural. Belum lagi ketika pendasaran pada ashabiyyah tersebut dihubungkan dengan paradigma baru yang cenderung diliputi oleh menguatnya suasana kontestasi politik global dan lokal yang secara bersamaan menggunakan sentimen solidaritas umat.

Dalam perspektif geopolitik dan geostrategik global, konsep solidaritas atas nama paham keagamaan tidak jarang menjadi alat untuk menguasai wilayah tertentu, dimana kontestasi penguasaan dari masing-masing aktor yang bersaing lebih mendahulukan pengaruh state of mind daripada secara langsung menggunakan senjata untuk menguasai wilayah yang ditargetkan.  Konsep solidaritas ketika didasarkan pada paham keagamaan akan membawa dampak kepada konflik penafsiran, meskipun diantara penganut agama yang sama karena perbedaan tafsir keagamaan.

Pada sisi yang lain, suasana kontestasi politik yang diilhami oleh solidaritas paham keagamaan ditingkat lokal berpengaruh pada munculnya resistensi baru karena tidak jarang sentimen paham keagamaan akan ditunggangi oleh kepentingan politik. Ujian berat bagi bangsa Indonesia adalah terpolarisasinya warga bangsa ketika paham keagamaan dijadikan alat dalam ajang kontestasi politik. Prinsip ajaran agama yang sebenarnya menjadi spirit bagi terwujudnya persatuan, keadilan, demokrasi, dan kejujuran menjadi pudar karena dimanfaatkan oleh sebagian pemain politik untuk mendulang elektabilitas. Dalam konteks keindonesiaan, konsep ashabiyyah sebagai pembentuk solidaritas dan penguat peradaban sebagaimana dalam konsep Ibnu Khaldun perlu diperluas maknanya menjadi ashabiyyah as-Syu’biyyah (solidaritas kebangsaan), sehingga menjadi bangunan yang kokoh dalam membangun peradaban yang ketika ditarik dalam paham keislaman akan termanifestasi kan dalam spirit Islam rahmatan lil’alamiin.

Negara Rasional: Meninjau Ulang Konsep Kepemimpinan Masa Lalu

Selain telah disebutkan di atas bahwa fenomena konsep solidaritas paham keagamaan rentan terhadap kepentinagn politik,  kecenderungan lain dari konsep tersebut adalah munculnya ideology dan gerakan Islam politik. Gagasan Islam politik sebagai diskursus gerakan Islam kontemporer muncul karena adanya semangat untuk mendirikan negara Islam. Bagi sebagian aktivisme Muslim, Islam bukan hanya sebagai agama, namun juga ideologi politik yang harus diwujudkan dalam sistem negara (al-Islam huwa ad-diin wa ad-daulah). Salah satu indikator penting dari cita-cita ideologi dan gerakan Islam politik adalah doktrin mengenai universalisme kepemimpinan baik dalam bentuk konsep khilafah, daulah Islamiyah, maupun imamah. Tentu saja, munculnya konsep-konsep tentang kepemimpinan Islam universal tersebut semakin membingungkan sebagian umat Islam, di mana mereka masih merindukan terwujudnya the imaging the ummah di bawah payung negara Islam, namun hal tersebut merupakan keadaan utopis karena di seluruh negara di dunia ini telah memilih sistem negara modern dengan spirit ideologinya masing-masing yaitu nasionalisme yang dikenal dengan konsep negara bangsa (nation state).

Meskipun di kalangan Muslim terdapat kelompok yang tidak setuju terhadap konsep Islam politik sebagaimana disinggung di atas, namun kepemimpinan (imamah/khilafah) masih menjadi prinsip sakral dalam  konsep politik Islam. Apalagi prinsip tersebut dibangunan dari periode al-Khulafa al-Rasyidun sebagai “standar” kepemimpinan yang ideal dan menjadi rujukan teori kepemimpinan dalam Islam hingga saat ini. Untuk itu, didalam mengawali penulisan buku yang dikaji dari pemikiran Ibnu Khaldun ini, Dr. Abdul Aziz mengajukan berbagai pertanyaan yang mendasar untuk direnungkan, terutama oleh kaum intelektual saat ini. Pertama,  mengapa kaum cendikia Muslim menghasilkan sedikit pemikiran politik, dibanding pemikiran fikih, teologi, atau filsafat/ Kalam? Kedua, mengapa pemikiran politik itu terlalu fokus pada persoalan imamah/ khilafah? Ketiga, mengapa konsep-konsep politik Muslim lebih didominasi oleh pemikiran pemimpin dan melupakan yang dipimpin? Keempat, tentang elite dan bukan massa? Kelima, mengapa prosedur-prosedur politik tidak menjadi perhatian penting para ulama? Keenam, mengapa hanya periode al-Khulafa al-Rasyidun yang hampir aklamasi dipandang sebagai “standar” kepemimpinan yang ideal dan menjadi rujukan penyusunan teori kepemimpinan? Ketujuh, jika kekuasaan dinastik dianggap tidak sesuai dengan prinsip Islam, mengapa misalnya karena Islam lebih menekankan pemilihan (ikhtiyar) dan musyawarah (Syura) dalam menetapkan pemimpin, serta prosedur musyawarah tidak menjadi fokus pemikiran?

Baca juga:  Sabilus Salikin (107): Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (2)

Negara Rasional dan Kritik terhadap Teori Sistem Politik Islam

Ibnu Khaldun melayangkan kritik terhadap teori khilafah sebagai sistem politik berbasis syariah (al-Siyasah al-Diniyah), yang diidealisasikan para ulama Sunni meskipun realitas sudah jauh berubah. Kritik itu berupa gagasan alternatif “sistem politik rasional” (al-siyasah al-‘aqliyah), yang menjadi fokus buku ini.

Melakukan singkronisasi antara teori khilafah yang diidealkan dengan teori alternatifnya, dengan terlebih dahulu melakukan kritik terhadap konsep al-khulafa al-Rasyidun (para Khalifah pencerah). Bagi Ibnu Khaldun, al-Khilafah al-Rasyidun bukanlah kategori periode, melainkan orientasi kekuasaan Khalifah. Konsekuensinya, tokoh seperti Muawiyah, Umar bin Abdul Aziz, atau Harun Al Rasyid, termasuk dalam al-Khulafa al-Rasyidun. Dengan kategorisasi ini, konsep al-Khalifah al-Rasyidun mengalami dinamisasi dan dapat digunakan jauh melampaui periode empat khilafah generasi pertama. Kategorisasi ini sangat krusial guna mendukung teori Ibnu Khaldun tentang keruntuhan negara khilafah dan sejarahnya yang tak akan terulang lagi. Bagi Ibnu Khaldun negara khilafah lahir dari lingkungan ashabiyyah Arab yang dalam proses awalnya berbasis agama, lalu merosot hingga basis agamanya terkikis, sebelum akhirnya runtuh. Ibnu Khaldun berpandangan bahwa sistem politik dan negara khilafah adalah anak kandung budaya atau peradaban Arab Muslim yang telah runtuh, bersamaan dengan keruntuhan dinasti Abbasiyah di Baghdad tahun 1258 M.

Baca juga:  Hilmar Farid: Kamus Sejarah Indonesia Jilid I Belum Terbit

Dalam konsep imamah misalnya, Al-Mawardi menyatakan bahwa menegakkan kepemimpinan imamah/ khilafah adalah kewajiban kolektif (kifayah) bagi muslim berdasarkan ijma’ (konsensus) para sahabat Nabi. Pendapat ini diikuti oleh hampir semua ulama termasuk Ibnu Khaldun. Tetapi bagi Ibnu Khaldun, imamah khilafah merupakan salah satu jenis Al-Mulk (otoritas, kekuasaan) yang terbangun secara spesifik terkait masyarakat Arab dan kehadiran Islam. Sedangkan Al-Mulk merupakan kebutuhan masyarakat manusia yang selalu ada, dengan atau tanpa kehadiran agama. Al-Mulk al-siyasi al-‘aqli (kekuasaan politik rasional) atau dalam ungkapan Ibnu Khaldun disebut Al- siyasah a-‘aqliyah (sistem politik rasional) adalah sistem politik yang dikelola berdasarkan pertimbangan rasional, sebagai basis pembentukan negara yang stabil, berkelanjutan dan berperadaban

Begitu pula, Al-Mawardi dan para ulama sesudahnya menempatkan periode al-khulafa al-Rasyidun sebagai sumber derivasi (sumber asal) norma standar imamah/ khilafah periode berikutnya. Norma standar inilah yang tercantum dalam kitab-kitab klasik dan masih menjadi rujukan hingga saat ini. Bagi Ibnu Khaldun, sejarah tidak pernah berulang dan derivasi norma dari suatu pengulangan sejarah melalui metode Qiyas (silogisme) seperti itu tidak tepat, karena norma yang dihasilkannya tidak mungkin terpenuhi. Maka, Ibnu Khaldun memakai pendekatan induktif guna memahami realitas politik yang terus berubah dari zaman ke zaman, sekaligus membebaskan diri dari kesimpulan yang legalistik normatif.

Buku ini perlu dibaca karena pendekatan keilmuan dari tokoh Ibnu Khaldun yang lekat dengan pemikiran rasional dan historis. Ibnu Khaldun adalah hakim agung (Qadli al-Qudlat) yang bermazhab Maliki dalam pemerintahan Kesultanan Mamluk Mesir selama hampir dua puluh tahun. Ibnu Khaldun juga seorang alim dalam teologi dan dikenal sebagai pendukung teologi Asy’ariyah. Namun, berbeda dari ulama ahli fikih sebelumnya seperti Abu Hasan al-Mawardi yang membangun teori imamah secara sistematis, Ibnu Khaldun tidak menggunakan pendekatan fikih maupun teologi yang cenderung normatif. Sementara pemikiran politik para ulama lain secara umum idealistik, pemikiran politik Ibnu Khaldun dalam karyanya Muqaddimah dan kitab induknya Al ‘Ibar, justeru realistis dan historis. Dari sini dapat dipahami apabila Ibnu Khaldun memiliki pemikiran politik yang berbeda dari Al-Mawardi dan ulama lainnya yang cenderung normatif legalistik.

Judul Buku: Negara Rasional: Warisan Pemikiran Ibnu Khaldun

Penulis : Dr. Abdul Aziz, MA

Penerbit LKiS, 2021

ISBN; 978-623-7177-70-8

IX+244 halaman; 14,5 X 21 CM

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top