Sedang Membaca
Perbincangan dengan Ahli Masyumi: Remy Madinier
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Perbincangan dengan Ahli Masyumi: Remy Madinier

Salah satu rujukan pokok saya ketika berbicara tentang Masyumi adalah Remy Madinier, peneliti senior CNRS Perancis. Karyanya, “Partai Masjumi”, tersedia dalam bahasa Indonesia mendahului versi bahasa Inggrisnya yang baru terbit belakangan. Penjelasannya berimbang dan tajam.

Kemarin saya bertemu dia di Lyon di mana dia mengajar. Di ruangannya yang penuh dokumen tentang Vietnam kami berdiskusi panjang lebar. Namun bukan tentang Masjumi, melainkan tentang Islam di Perancis dan perbandingannya dengan Indonesia.

“Pemikiran keagaamaan di kalangan muslim Perancis tidak berkembang. Mereka juga tidak mempunyai organisasi besar yang mapan. Di antara mereka tersekat perbedaan, umumnya karena latar belakang primordial. Kaum muslim keturunan Aljazair kurang atau bahkan tidak berkomunikasi degan sejawatnya keturunan Maroko atau Tunisia,” demikian Remy menjelaskan.

Karena itulah pemerintah Perancis kesulitan harus berbicara dengan siapa kalau mau berbicara tentang Islam. Padahal, berbeda dengan Amerika Serikat misalnya, peranan negara dalam mengatur tata kehidupan warga di sini sangat sentral. Negara mengatur segalanya, termasuk usaha untuk menghalau intervensi agama ke ruang publik.

“Tidak heran kami sering dituduh otoriter oleh negara-neagara Barat lainnya,” Remy menerangkan sambil tertawa.

Dasar dari peranan negara yang sangat sentral itu adalah egalite. Dibanding dengan liberte dan fraternite, egalite menempati kedudukan yang paling penting. “Semua warga negara harus sama, egalite, perbedaan di antara warga negara dianggap tidak ada,” begitulah Remy berargumen.

Baca juga:  Kisah Gus Dur Diturunkan dari Bus

Akan tetapi, tentu saja, pilihan untuk mengistimewakan egalite bukan tanpa resiko. Keingingan untuk terus mempertahanakan sebuah “identitas nasional” yang koheren, yang menjadi suatu pembayangan bersama egalite mereka, sering menimbulkan ketakutan berlebihan terhadap pengaruh buruk yang mungkin dibawa oleh para imigran.

Mereka dianggap ancaman. Para politisi Kanan memanfaatkan sentimen ini dalam setiap momen pemilihan umum.

“Untungnya Indonesia tidak menghadapi masalah migrasi ini,” tukas Remy.

Eh tunggu dulu, “Jangan lupa ketakutan aneh orang Indonesia terhadap desas-desus masuknya ribuan para pekerja gelap dari Cina,” saya sedikit membantah.

“Ya, betul, Indonesia juga mempunyai politisi semacam Prabowo yang suka menggunakan isu seperti itu,” Remy menimpali dengan senyum penuh arti.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top