Sedang Membaca
Buku Ajar Sains Berperspektif Gender
Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Buku Ajar Sains Berperspektif Gender

Screenshot 20220726 204745 Instagram

Sekilas mengingat pengalaman berhadapan dengan buku pelajaran ketika masa sekolah, khususnya terkait sains kealaman, agaknya ada satu hal perlu disangsikan. Bagaimana tampilan tulisan maupun ilustrasi di dalamnya acapkali menghiraukan aspek keterlibatan gender. Kondisi tersebut kemudian dianggap normal saja. Buku-buku sebagai bahan ajar terhadirkan seakan terus berulang, kendati sebenarnya menyiratkan sebuah permasalahan.

Agakanya kenyataan itu telah mewabah dan merambat pada celah-celah wacana keilmuan sains dan teknologi. Sains dan teknologi kemudian terkisah sebagai dunia yang netral gender. Kalau kita berpikir dalam jangka panjang, sikap abai akan perspektif gender itu menjadi efek domino. Ini tak terlepas bagaimana pranata yang ada di dalamnya. Baik itu pengajaran, konstruksi sejarah, hingga keberadaan buku.

Fakta lain di luar itu, kita perlu mengkonfirmasi bahwa keberadaan tokoh baik itu ilmuwan maupun penemu dalam pembabakan sejarah ilmu pengetahuan sains dan teknologi terdominasi kelompok laki-laki. Meski demikian, perempuan tetap ada. Hanya saja tak banyak dan perinciannya tak lebih. Maka kemudian muncul cara pandang bahwa seakan-akan sains itu punya kelompok laki-laki. Kelompok perempuan sangat menemui pembatasan.

Buku Ajar

Kalau kita mau jujur, penangkapan pada kisah maupun pengalaman dalam belajar, kelompok anak-anak lah yang memiliki perjalanan panjang. Terkhusus dalam proses pendidikan. Maka kemudian yang diperlukan adalah bagaimana segera perlu mulai memikirkan bersama bahwa penyusunan buku ajar dalam bidang sains kealaman perlu dan penting. Mula-mula dibutuhkan konsensus baik itu dari segi regulasi, capaian pembelajaran, dan kerja penyusunan kepenulisan.

Baca juga:  Buku Tua dan Ingatan Iklan

Sejak pertengahan bulan Juni lalu, saya bekerja di sebuah penerbitan buku sekolah. Berlatar belakang pendidikan di keilmuan fisika, ketika pekerjaan pertama menyusun buku ajar bidang ilmu Fisika untuk jenjang sekolah menengah kelas XI, saya selalu terbayang dengan ingatan terhadap buku ajar yang penuh tanda tanya. Maka, mau tidak mau, saya perlu memaksa diri untuk memiliki pendirian bahwa perlu pengarusutamaan adil gender.

Berangkat dari keresahan diri, langkah yang saya lakukan adalah menyusun cerita dalam materi maupun soal dengan tidak mengesampingkan keberadaan perempuan. Seperti misalkan adalah pekerjaan yang biasa dikesankan milik laki-laki, contoh: montir, gitaris, penyelam, petugas pemadam kebakaran, hingga astronom kemudian ternarasikan dengan sosok perempuan. Hal itu terhubung juga dengan pemerian gambar maupun ilustrasi dengan menghindari dominasi keberadaan laki-laki.

Ke Arah Penelitian

Langkah di atas tentu saja belumlah cukup tanpa ada pemahaman secara kolektif dari berbagai kalangan. Pendidikan mengoneksikan berbagai pihak, baik pemerintah, penyedia buku pelajaran, pendidik, hingga keberadaan pola asuh orang tua. Pelibatan gender maupun feminis menjadi langkah masa depan para perempuan, khususnya di dalam bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematic (STEM).

Metodologi feminis diharapkan dapat mengatasi persoalan androsentrisme dan representasi perempuan, mengakui perbedaan cara berpikir dan berpengetahuan perempuan dan laki-laki, dan memperhatikan pengalaman hidup perempuan beserta keseluruhan subjektivitasnya mengartikan dunia dalam membangun pengetahuan (Elli Nur Hayati, 2006).

Baca juga:  Riwayat Benda

Pada 2017, di negara-negara maju anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), hanya 30 persen perempuan yang memilih bidang studi STEM di jenjang sarjana. Secara global, persentase perempuan yang belajar teknik, manufaktur, dan konstruksi ataupun teknologi informasi dan komunikasi di bawah 25 persen di 2/3 negara di dunia (Kompas, 12/03/2022).

Keberadaan buku terus penting. ahli astronomi perempuan Indonesia, Karlina Supelli mengungkapkan: teks tertulis menjadi bukan semata-mata huruf-huruf yang mengalikan pengetahuan dari ‘guru’ ke murid, tetapi pemicu pengetahuan dan teknologi tumbuh serta melembaga seperti sekarang. Di banyak tulisan, ketika bercerita pengalaman masa kecil, ia kerap menyebut sosok ilmuwan perempuan, Marie Curie menjadi salah satu sosok yang membentuk dirinya.

Sains dan Martabat Perempuan

Sains kealaman bukanlah sesuatu yang bebas nilai sebagaimana paradigma secara umum dipahami. Perkembangannya memungkinkan keterlibatan di luarnya, baik itu konstruk sosial, politik, bahkan ideologi. Demikian kiranya pada keberadaan konstruk terhadap gender. Kenyataan itu memerlukan kesadaran terhadap pemahaman bahwa paradigma yang meski dijunjung adalah penghargaan dan penghormatan, tak terkecuali terhadap keberadaan perempuan.

Peningkatan pemahaman gender, kesadaran dan sensitivitas gender oleh para penyelenggara pendidikan, para pengarang dan penyusun buku pelajaran, para guru kiranya dapat mengubah persepsi yang lebih adil gender. Dengan mengubah buku pelajaran yang bias gender menjadi adil gender dan dengan melatih guru agar supaya lebih memahami tentang keadilan gender sehingga guru dapat memperlakukan murid secara adil gender dan tidak ada diskriminasi yang merugikan bagi murid perempuan ataupun laki-laki (Mary Astuti, 2000).

Baca juga:  Pengalaman Diskusi Menjerat Gus Dur

Arkian, sains kelaman, seperti halnya fisika terus membawa perdebatan dalam relevansinya di berbagai hal. Ia tidak bisa hanya diimajinasikan akan visi terhadap terobsan kemajuan teknologi dan kemajuannya, namun juga perlu menaruh perhatian terhadap keberadaan perempuan. Pada dasarnya sains bukanlah menjadi sebuah tujuan, namun cara untuk terus meningkatkan martabat manusia, tak terkecuali pelibatan keberadaan dan kehadiran perempuan.[]

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top