Konon, orang-orang kangen Soeharto. Lelaki ganteng berkuasa lama di Indonesia itu sering diingat mesemnya. Beliau teringat setiap orang-orang mengaku mengalami “krisis” beraroma politik. Soeharto tak lagi menjadi berita terlaris setiap hari di koran-koran.
Dulu, koran dan majalah kesregepen memberitakan Soeharto dalam pelbagai peristiwa. Berita-berita diharapkan baik-baik saja. Kini, kita boleh kangen membaca berita-berita lama bertokoh Soeharto. Kita mengingat berkaitan Lebaran saja. Puluhan kali, Soeharto mengartikan Lebaran dengan predikat Presiden RI.
Kita belum sanggup mengliping semua berita bertema Soeharto dan Lebaran di ratusan koran dan majalah di seantero Indonesia. Pekerjaan besar dan membikin capek! Kita cukup membuka majalah Kartini, 30 Juni-13 Juli 1986. Berita menebus kangen: “Di Pintu Silahturahmi”. Soeharto membuka pintu untuk kedatangan para tamu. Tokoh terpenting di Indonesia tentu didatangi orang-orang selaku bawahan, penggemar, sahabat, dan lain-lain. Pintu di rumah beralamat di Jalan Cendana, Jakarta. Pintu itu pastilah bersejarah bagi Soeharto dan para tamu berdatangan saat Lebaran.
Kita membaca: “Di rumah keluarga Presiden Soeharto bahkan sejak malam Lebaran telah bersimbah rasa syukur karena malam yang penuh gema takbir itu jatuh bertepatan dengan hari lahir Pak Harto yang ke-65.” Wah, malam terindah! Malam itu tercatat sebagai malam bermakna bagi Soeharto: ingat usia dan kekuasaan. Malam itu dijadikan pula pembuktian peningkatan iman dan takwa setelah sebulan berpuasa. Seoharto tentu mesam-mesem.
Berita itu cuma sehalaman. Kita sulit mendapatkan deskripsi dan imajinasi peristiwa malam takbiran dan peringatan ulang tahun. Kita berharap ada mahasiswa mau mengerjakan skripsi bertema Soeharto dan Lebaran. Ia bakal mendapatkan data berlimpahan dan bercerita ke pembaca.
Sepenggal informasi: “Kenduri sederhana berlangsung setelah acara buka puasa terakhir di bulan Ramadan yang lalu. Syukuran hari kelahiran Pak Harto itu ditandai dengan pemotongan tumpeng yang kemudian diserahkan oleh Pak Harto kepada Ibunda Sumoharjomo. Penuh kasih Ibunda Sumoharjomo, Ibu Tien Soeharto, anak-anak, dan cucu-cucu menghaturkan ciuman selamat kepada Presiden.”
Di Indonesia masa lalu, Soeharto mungkin orang paling bahagia. Berita itu mengingatkan kebahagiaan “wajib” diketahui publik. Di luar berita, ada orang-orang belum atau sulit bahagia meski Indonesia sedang menggelar pembangunan nasional. Orang-orang belum bahagia itu tak mendapat tumpeng atau sepincuk nasi di malam membahagiakan di Jalan Cendana.
Kita perlahan mengingat masa kecil Soeharto, dibandingkan dengan Soeharto berusia 65 tahun. Pada masa bocah, Soeharto diajak bapak pergi meninggalkan Kemusuk menuju Solo. Ada episode naik kereta api. OG Roeder dalam buku berjudul Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1976) mengisahkan Soeharto sekolah dan belajar agama. Soeharto sekolah di Wuryantoro. Seorang bocah lugu, cerdas, dan beriman: “Di sore hari, Soeharto mengaji, belajar membaca kitab suci Al-Qur’an. Ini adalah pelajaran yang diwajibkan bagi setiap anak. Pengajian Al-Qur’an dilakukan di langgar. Sering ia berada di langgar sampai-sampai jam delapan malam, dan sesuadah selesai sembahyang isya beramai-ramai barulah dia pulang ke rumahnya, dan kadang-kadang semalam suntuk mereka bersa di langgar.”
Pada masa bocah-remaja, Soeharto dalam situasi miskin atau sederhana. Ia mungkin mengalami Lebaran tanpa terlalu memiliki tuntutan baju baru, makanan enak, dan piknik. Prihatin. Konon, orang sudah prihatin sejak bocah bakal menapaki nasib baik saat dewasa. Soeharto pun menjadi tokoh moncer, bermula dari alur militer menjadi presiden. Pada saat tua, ia mungkin berbagi cerita masa lalu ke anak dan cucu mumpung berulang tahun dan malam takbiran. Begitu.