Syahirul Alim
Penulis Kolom

Penulis lepas soal agama, sosial, dan politik.

Aceh Sebagai Pusat Peradaban Islam Pertama di Nusantara

Julianto Saputra Cu0zfxztaus Unsplash

Kronik Asia Tenggara telah menyebutkan Pasai, Melaka, dan Patani sebagai tiga rangkaian wilayah yang menyajikan banyak informasi sejarah kepada kita tentang proses Islamisasi di Nusantara. Sekalipun bahwa kronik tersebut seringkali dilatari oleh berbagai mitos, tetapi fakta sejarah memperlihatkan bahwa konversi masyarakat Nusantara kepada Islam justru dapat ditemukan dalam konteks seperti ini. Bahkan setelah abad-abad berikutnya, menurut cerita tradisi Jawa sejak abad ke-17, sumber-sumber eksternal utama pengaruh Islam adalah Campa dan Pasai. Ini artinya bahwa Islamisasi di Nusantara dimulai dari Aceh, bahkan sejak abad ke-12 sebagaimana diceritakan dalam rangkaian perjalanan para Ibnu Batutah yang singgah di Aceh yang ketika itu disambut oleh seorang “Sultan Jawa”—yang dimaksud tentu saja Samudera-Pasai—dimana mereka belum pernah mendengar kesultanan Islam lain, selama perjalanan mereka ke India, Mesir, Turkistan, dan Bukhara.

Islamisasi di Nusantara dilakukan dengan cara damai melalui para sufi “peripatetik” yang telah dimulai sejak abad ke-12. Menyematkan istilah “peripatetik” (masysya’i) kepada para sufi penyebar Islam memberikan kesan “intelektualisme”, sebab ia merupakan sintesis ajaran-ajaran wahyu Islam Aristotelianisme dan Neoplatonisme baik Atenian maupun Alexandrian, ditemukan pada abad ke-9 dalam iklim intelektual yang kaya di Bagdad oleh Abu Ya’qub al-Kindi (Nasr 2009). Dengan demikian, wajar jika Islamisasi di Nusantara berlangsung ketika peradaban Islam sedang bergairah dan mencapai puncak intelektualismenya di seluruh dunia. Ciri paling menonjol dari bentuk intelektualisme ini adalah kemampuan ajaran Islam secara akomodatif menyerap kearifan lokal sehingga terbentuk suatu Islam yang khas sebagaimana yang kita saksikan dalam berbagai tradisi Nusantara sejauh ini. Warna Islam tetap tampak dan meresap kedalam budaya lokal masyarakat Indonesia sampai saat ini, warisan watak peripatetik para sufi yang menyebarkan Islam di Nusantara.

Baca juga:  Ilmu itu Cahaya: Belajar dari Ulama yang Memusnahkan Karya Tulisnya

Aceh, merupakan poros utama yang sangat penting dalam proses Islamisasi, mengingat posisinya yang cukup strategis baik sebagai jalur perdagangan laut dan juga kekuatan politik. Persentuhan langsung dengan Islam yang berasal dari sumbernya di Mekah dan Madinah, telah dibawa oleh para “alawiyyin”, imigran asal Arab yang berhasil mendarat di suatu pantai di wilayah Sumatera akibat berperang melawan Dinasti Umayah dibawah kepemimpinan Hajjaj bin Yusuf. Para “alawiyyin” diketahui sebagai pengikut setia Ali bin Abi Thalib yang beroposisi terhadap kekuasaan Bani Umayah yang setelah memasuki wilayah Indonesia kemudian orang-orang Arab ini melakukan perkawinan dengan wanita lokal, sehingga kemudian membentuk nucleus, sebuah komunitas Muslim yang terdiri dari orang Arab pendatang dan penduduk lokal. Menurut Arnold, anggota-anggota komunitas Muslim ini juga melakukan kegiatan-kegiatan penyebaran Islam (Arnold 2019).

Nusantara, yang dalam literatur Arab disebut sebagai “Ashab al-Jawiyyin”  atau “Jama’ah al-Jawiyin” menempatkan orang-orang Aceh sedemikian penting diantara penduduk Muslim Nusantara sejak abad ke-16. Komunitas Jawi—termasuk orang Aceh—merupakan bagian paling penting dari akar genealogi intelektual Nusantara yang mendunia yang telah berlangsung sejak abad ke-16 dan ke-17. Para ulama yang kembali dari perjalanan haji di Tanah Suci pada kurun abad ke-17 hampir didominasi orang-orang Aceh dan peran mereka sangat penting sebagai guru-guru intelektual dan spiritual yang pemikiran dan ajaran-ajarannya mampu menembus wilayah Asia Tenggara. Nama-nama seperti Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin al-Sumatrani, merupakan dua tokoh sentral ulama Aceh sebelum abad ke-17 yang memulai perdebatan tentang ajaran tentang doktrin emanasi yang dijabarkan dan mengandung banyak kemiripan dengan monisme eksistensialisme (wahdat al-wujud) sebagaimana yang diperkenalkan oleh Ibnu Arabi.

Baca juga:  Merekonstruksi Sejarah Ndalem Jayakusuman

Pada abad ke-17, di Aceh lahir ulama-ulama terkenal diantaranya Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf al-Sinkili—salah seorang wali nasional Aceh yang memperkenalkan Tarekat Syatariyah di Nusantara. Selain muncul juga ulama lain, seperti Syekh Yusuf Makasar yang berasal dari Sulawesi Selatan namun belakangan memiliki kedekatan dengan Kesultanan Banten; atau Saif al-Rijal yang berasal dari Aceh, menunjukkan bahwa ulama-ulama Nusantara telah menjalin hubungan erat dengan pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah. Tidak saja penduduk Sumatera, tetapi juga Jawa yang diantara para ulamanya ada yang mengulas (men-syarah) beberapa literatur Arab yang sulit dimengerti, seperti karya ‘Abd al-Karim al-Jilli yang berjudul “Insan Kamil”. Pengaruh kuat ajaran tasawuf sangat kental mewarnai pemikiran para ulama Nusantara pada kurun abad ke-17, dimana mereka umumnya mengkombinasikan pengetahuan eksoterik (syariah dan fiqh) dan esoterik (tasawuf) secara bersamaan. Dari sinilah kemudian berkembang para penulis prolifik yang dimotori para ulama, mereka sangat produktif dalam mengarang berbagai kitab dalam berbagai cabang pengetahuan agama. Yang paling dikenal pada waktu itu tentu saja karya para ulama Aceh, seperti “Shirath al-Mustaqim” karya al-Raniri dan “Tarjuman al-Mustafid” sebuah tafsir-puitis al-Qur’an yang ditulis oleh al-Sinkili.

Penekanan atas karya-karya ulama pada abad ke-17 yang mensintesakan ajaran-ajaran tasawuf dan syariah telah membentuk “subkultur” peradaban Islam yang khas Nusantara yang kemudian diistilahkan oleh Azyumardi Azra dalam salah satu makalahnya dengan “Neo-Sufism”. Konsep ini secara ekstensif telah membentuk corak tersendiri bagi komunitas masyarakat Melayu-Nusantara bahkan sampai saat ini. Islamisasi Nusantara disebarkan melalui kecenderungan-kecenderungan model reformisme Islam seperti ini, semangat neosufisme beriringan langsung dengan seluruh kegiatan Islamisasi di Nusantara. Disisi lain, proyek Islamisasi dalam bentuk “rekonsiliasi” antara syariah dan tasawuf telah membentuk Islam di Nusantara bernuansa ortodoksi.

Baca juga:  Nabi Khidr menurut Masyarakat Banjar

Dalam batas tertentu, hasil rekonsiliasi “dua tradisi” Islam ini juga membangkitkan semangat perlawanan dan pemberontakan yang sangat anti-kolonial. Diakui maupun tidak, pemerintahan kolonial seringkali direpotkan oleh ratusan pemberontakan dan puluhan lusin konflik sosial dan juga perang. Resistensi terhadap pemerintahan kolonial datang dari beragam etnis, suku, da agama. Namun, menurut Vlekke, perlawanan yang paling gigih dan ditakuti adalah pemberontakan yang mengatasnamakan Islam. Aceh pernah mengalami masa pemberontakan yang cukup lama dengan pemerintahan kolonial bahkan terus menghalau berbagai gangguan yang berasal dari orang-orang Eropa, seperti Portugal dan Belanda. Model kepemimpinan politik di Aceh yang sangat patronistik, juga pada akhirnya berpengaruh terhadap sistem pemerintahan di Nusantara. Kontribusi Aceh sangat besar dalam membentuk suatu tatanan politik di Nusantara, bahkan pengaruhnya masih dapat dirasakan hingga kini. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top