Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail, dan Sutardji Calzoum Bachri berada dalam acara sama di Taman Ismail Marzuki, 1982. Mereka hadir dalam Temu Sastra 82 diadakan Dewan Kesenian Jakarta. Abdul Hadi WM dan Taufiq Ismail membuat tulisan dan mengungkapkan dalam diskusi. Sutardji Calzoum Bachri berbeda. Di buku berjudul Dua Puluh Sastrawan Bicara (1984), kita mendapat kejutan di halaman 69.
Di situ, terlihat: ……. (*). Keterangan dibuat redaksi: “Sutardji Calzoum Bachri hadir pada waktu diskusi, duduk di deretan para penceramah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan hadirin yang ditujukan kepadanya, meskipun tidak menulis makalah. Dalam malam penutupan Sutardji Calzoum Bachri malahan ikut membacakan sajak-sajaknya.” Selama puluhan tahun, Sutardji Calzoum Bachri terhormat dengan menulis dan membacakan puisi, bukan dengan esai-esai. Ia memang menulis cerita pendek tapi moncer gara-gara puisi.
Ia selalu teringat dengan O Amuk Kapak (1981). Puisi-puisi di situ menggegerkan, tak habis-habis dalam polemik. Ia belum selesai dengan menulis puisi dan terpublikasi dalam majalah-majalah atau terbitan buku. Di panggung-panggung dan acara sastra, ia adalah pembaca puisi sanggup membuat penonton terkesima lama. Pembaca puisi dengan adegan-adegan khas. Penikmat masa lalu memiliki kenangan Sutardji Calzoum Bachri membaca puisi bersama botol-botol bir.
Pada 1973, ia membuat pengumuman “mengganggu” situasi perpuisian Indonesia. Tulisan wajib dikutip untuk mengenali Sutardji Calzoum Bachri dan puisi-puisi ingin terbedakan dalam perkembangan sastra Indonesia. Ia mengungkapkan: “Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian.
Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.” Orang-orang berulang membaca, kadang paham tapi sering kabur. Para pengamat dan kritikus sastra dibikin pusing mengurusi tulisan dibuat Sutardji Calzoum Bachri untuk mengesahkan puisi-puisi.
Dami N Toda (1977) dalam esai berjudul “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa” turut menjelaskan: “Selama 30-an tahun itu, tidak ada yang menantang wawasan estetika perpuisian Chairil Anwar. Namun pada 1972, di Bandung, meledaklah bom yang dilemparkan Sutardji Calzoum Bachri, berupa kredo puisinya…. Pernyataan Sutardji Calzoum Bachri itu tentu saja tidak cepat dipahami orang, andai kata dia tidak menunjukkan dalam penciptaan sajak-sajaknya.
Secara sambil lalu, pernyataan Sutardji Calzoum Bachri itu macam slogan, tetapi sebenarnya mengandung kebenaran estetik yang selama ini pudar oleh kuatnya kebenaran estetika perpuisian Chairil Anwar, yang nampaknya benar-benar mapan.”
Kini, usia kredo itu sudah “dewasa”. Si pembuat atau penulis pun makin tua, Pada 24 Juni 2021, Sutardji Calzoum Bachri berusia 80 tahun. Ia masih berpengaruh dalam perpuisian Indonesia, belum ditinggalkan para pengagum dan penggugat dalam penemuan jalan-jalan estetika berbeda. Puluhan tahun berlalu, ia masih saja teringat dengan O Amuk Kapak (1981). Ia seperti mengawali dan berakhir tapi “terkekalkan” dalam pembicaraan dan kritik sastra terus ditulis.
Pada 2002, buku itu diterbitkan lagi oleh Yayasan Indonesia dan Horison. Sekian tahun, Sutardji Calzoum Bachri turut membesarkan majalah Horison. Buku bercap Horison itu lumrah. Cap terpenting diberikan di sampul buku: “Milik Negara, Tidak Diperdagangkan.” Tampilan dan ukuran buku berubah dari edisi 1981. Di sampul, kita melihat foto Sutardji Calzoum Bachri dalam usia tua. Ia mengenakan peci warna hitam.
Pengantar dari penerbit: “Sajak-sajaknya pernah menjadi perdebatan di meja redaksi Horison, yakni antara Taufiq Ismail dengan HB Jassin. HB Jassin menolak sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri untuk dimuat di Horison, sementara Taufiq Ismail justru sebaliknya. Ia berkeras ingin memuatkan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri di majalah Horison. Akhirnya, HB Jassin mengalah dan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri muncul di majalah tersebut.” Sejarah pun tercipta. Polemik pun dimulai dengan kesulitan mengakhiri. Sutardji Calzoum Bachri menjadi ikon dalam sastra Indonesia.
Kita memilih puisi berjudul “Orang yang Tuhan” untuk mengetahui kesangaran dan renungan mendalam: orang yang tuhan/ nyelinap dalam lukamu/ minum arak lukamu/ ketawa dari lukamu/ berjingkrak dari lukamu/ baring dalam lukamu/ pulas dalam lukamu/ bangun dari lukamu/ bangun dari lukamu/ pergi dari lukamu// orang yang tuhan/ bertualang selalu/ datang dan pergi/ dari luka ke lukamu.
Kita membaca saja, belum perlu berpusing untuk berlagak mengartikan bertele-tele. Sekian orang terdahulu sudah mau capek memberi makna untuk puisi-puisi gubahan Sutardji Calzoum Bachri. Kita mengikut saja.
Wajar bila dulu para redaktur mau berdebat untuk menerima atau menolak puisi-puisi kiriman Sutardji Calzoum Bahcri. Horison menjadi majalah penting bagi laju Sutardji Calzoum Bachri dalam pembuktian beda, setelah perpuisian Indonesia ditegakkan oleh Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Rendra. Kita lanjut mengutip puisi berjudul “Amuk” mumpung para pemelihara dan penggemar kucing di Indonesia makin bertambah.
Puisi memuat kucing: tuhan mencipta kucingku tanpa mauku/ dan sekarang dia meraung mencariMu dia/ lapar jangan beri daging jangan beri nasi/ tuhan menciptanya tanpa setahuku/ dan kini dia minta tuhan sejemput saja/ untuk tenang sehari untuk kenyang/ sewaktu untuk tenang di bumi. Puisi sulit menjadi kutipan pilihan bagi orang-orang menikmati hari-hari bersama kucing selama wabah.
Kritikus sastra bernama Arif B Prasetyo (2002) membuat pengakuan: “Apa boleh buat pengarang O Amuk Kapak bukanlah ‘sekadar penyair’, apalagi ‘penyair sekadar’. Sutardji Calzoum Bachri, sang pengarangnya, seperti saya bilang, telanjur menjelma jadi semacam ‘ikon mitologis’ dalam khazanah perpuisian-kepenyairan modern Indonesia, dan mungkin saya ikut termakan oleh mitos itu.
Lihatlah, O Amuk Kapak terbit 21 tahun lampau, ketika saya masih duduk di bangku SD dan belum kenal betul makhluk apakah itu ‘puisi modern’, jangankan lagi dari jenis yang kontroversial penampilannya macam Sutardji Calzoum Bachri. Puisi-puisi yang termaktub dalam kitab itu, yang tertua berasal dari tahun penulisan 1966 – ketika ayah-ibu saya bahkan belum saling kenal.
Tatkala saya masih sibuk bernyanyi-nyanyi dengan teman-teman TK, kritiku sastra terkemuka Dami N Toda sudah sibuk mencatat kebesaran Sutardji Calzoum Bachri.” Kebesaran itu awet sampai abad XXI. Peredaran buku berjudul O Amuk Kapak ke perpustakaan-perpustakaan sekolah dan pesantren makin menjadikan Sutardji Calzoum Bachri dan buku itu wajib terbaca dalam mengerti puisi di Indonesia.
Kini, Sutardji Calzoum Bachri berusia 80 tahun. Persembahan puisi dan kredo belum runtuh atau terlupa. Ia masih menjadi pusat dalam sejarah dan perkembangan puisi di Indonesia abad XX. Para pembaca masa sekarang mungkin bertambah bingung dibandingkan Arif B Prasetyo telah sanggup menulis esai panjang berjudul “30 Tahun Kemudian”. Pada abad XXI, nama-nama baru bermunculan. Puluhan buku puisi memikat umat sastra. Buku berisi puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri masih belum mau “ditepikan” atau “dilupakan”. Kita masih mementingkan meski belum jua mengerti. Sutardji Calzoum Bachri masih bersama kita. Buku legendaris itu masih terbaca. Begitu.