Sedang Membaca
Kelompok Sosial Telah Mati, Kita Semua Aktor-Jaringan: Tanggapan Untuk Ahmad Suaedy
Imam Zanatul Haeri
Penulis Kolom

Guru sejarah dan peneliti Said Aqil Siroj Foundation.

Kelompok Sosial Telah Mati, Kita Semua Aktor-Jaringan: Tanggapan Untuk Ahmad Suaedy

Perry Grone Lblgffladry Unsplash

Izinkan saya mengulangnya kembali: ilmu sosial telah mati. Kita tidak menafikan prestasi ilmu sosial dalam menjelaskan berbagai fenomena berkaitan manusia. Namun, seringkali perkembangan ilmu sosial menciptakan istilah-istilah baru, seakan-akan hubungan sosial seperti tipe material baja, kayu, terkadang meniru unsur biologis atau mungkin sebut saja gen egois (?), ekonomis, berkaitan dengan mental atau psikologi (?), organisasi dan linguistik (Latour, 2005:1). Tidakkah kita patut curiga, mengapa ‘sosial’ menjadi pengertian yang begitu sempit, tetapi juga begitu fleksibel ketika berhadapan dengan bidang lain seperti sosial-ekonomi, psikologi-sosial, sosial-politik, sosio-biologi bahkan sosio-linguistik?

Kerumitan ini sudah saya temui ketika pertama kali mengajar sosiologi di tingkat SMA. Begitu banyak teori sosial yang beririsan, dalam satu adegan kehidupan saja. Belakangan soal ini sempat dibahas oleh Peter Burke dalam percakapan debat imajiner antara Sejarah dan Ilmu sosial (Burke, 2001). Ilmu sosial meledek sejarah sebagai ‘kolektor benda antik’ yang kemampuan terbaiknya hanya ‘mengoleksi’ fakta-fakta. Namun, dalam hal ini ilmu sosial juga dipertanyakan, apakah sosial layak dikatakan sebagai ‘ilmu’? bagaimana cara kerja ‘ilmu sosial’? kalau tidak salah (saya mengandalkan ingatan untuk buku yang hilang ini), sosial dalam pengertian paling mendasarnya adalah ‘interaksi’. Jika kita sudah memastikan hubungan antarmanusia sebagai hubungan sosial, lalu bagaimana dengan hubungan manusia dengan benda?

Beberapa pihak menjawab hubungan manusia dengan benda bukan hubungan sosial. Inilah jawaban yang membuat Bruno Latour keberatan. Bagaimana bila sebuah benda yang dihasilkan manusia berinteraksi dengan manusia lainnya tidak disebut hubungan sosial? Dalam hal ini hemat saya, Latour ingin mengedepankan kualitas sebuah benda yang berinteraksi dengan manusia. Sebuah batu yang diasah, bukan lagi ‘batu’ yang lepas dari panorama kehidupan manusia, di sana terdapat jejak sosial (Thufail, 2017). Ada usaha manusia yang memperhalusnya, memegangnya, atau manusia yang mempercayai ada kekuatan di dalamnya. Tradisi menyembah batu bisa membuktikan peran besar sebuah batu daripada manusia.

Baca juga:  Membedah Kitab Minhaj Al-Atqiya’: Kritik Tajam Kiai Sholeh Darat atas Kemunculan Da'i Prematur

Selain itu, perkembangan teknologi telah membuktikan bahwa ‘kelompok sosial’ telah mati, yang ada hanyalah formasi sosial (2005: 27-8). Formasi ini bisa berubah bentuk, sifatnya rapuh, lebih fleksibel dan mudah berubah. Contoh sederhananya adalah grup Whatsapp. Mari kita buat pengandaian yang sangat mungkin ada, seperti grup WA Islam Modernis, WAG Islam Klasik, WAG Islam Tradisional, WAG Pribumisasi Ilmu Sosial, dan WAG Pribumisasi Islam. Pertanyaan pertama, apakah setiap WAG bisa dikatakan sebagai kelompok sosial?

Teknologi membuka tabir kerapuhan teoritis ‘kelompok sosial’. Bagaimanapun, tidak bisa dipungkiri bahwa seorang penganut Islam Tradisional boleh jadi berada di WAG Alumni kampusnya yang didominasi oleh Islam Modernis, begitupun sebaliknya. Begitu mudah membuktikan bahwa saya dan Anda seringkali berada di WAG yang bertentangan dengan ideologi yang dianut. Artinya, kata Islam Modernis, Islam Klasik, Islam Tradisional, Pribumisasi, Orientalisme, Deorientalisme, Postorientalisme, Kolonialisme, Dekolonialisme, Poskolonialisme yang memiliki kecenderungan membuat ‘pengelompokan sosial’ lebih berpotensi mengaburkan realitas bagimana tiap–ijinkan saya menggunakan kata ini—aktor bergerak.

Itulah mengapa Bruno Latour menyebutnya Aktor Network Theory (ANT), artinya hanya ada aktor dan jaringan dalam hubungan sosial. Kenyataannya, beragam kelompok, komunitas, organisasi bisa didirikan oleh orang yang sama. Kita bisa melihat pengandaian ini pada sosok Wiranto yang diledek netizen karena ada di mana-mana setahun yang lalu. Aktor jaringan juga memudahkan kita menyelesaikan penelitian yang mempertanyakan, misal, peran tentara dalam penanganan wabah Covid-19 dimana Menkes, Ketua Gugus Tugas, dan Juru Bicara-nya bahkan dokter yang mengaku menemukan obatnya adalah para tentara.

ANT tidak keberatan apabila, misal, para tentara tersebut berada dalam kelompok sosial lainnya. Bagi ANT yang penting adalah seberapa besar pengaruh aktor tersebut dalam suatu jaringan. Namun seringkali ‘pengelompokan sosial’ justru membatasi hubungan sosial yang akan terus dan masih berjalan. Oleh sebab itu, apabila ilmu sosial fokus pada ‘kelompok sosial’ seperti ‘tradisional’ dan ‘modern’ bukan berarti ini soal pemisahan atau pemilihan sikap antara sisi kolonial dan sisi poskolonial, atau justru memperumitnya dengan menyatakan ‘kategori berperspektif kolonial atau orientalistik, karena elit mencantolkan diri ke asumsi-asumsi kolonial (Suaedy). Siapa Elit? bukankah yang disebut ‘elit’ selalu berubah-ubah? Partai politik dan pemain kunci dalam pembagian kekuasaan selalu menghadirkan nama-nama baru. Lima belas tahun yang lalu Jokowi bukan siapa-siapa namun sekarang mudah menyatakan ia adalah ‘elit’. Begitupun dengan Tommy Soeharto yang bisa digolongkan ‘elit’, tetapi sekarang justru dikudeta partainya sendiri? (Tirto.id, 12/7/2020) sekat inilah yang membuat ilmu sosial justru tidak bisa menafsirkan perubahan-perubahan semacam itu.

Baca juga:  Kitab Syair Wulang Haji, Rekam Jejak Haji Indonesia 1873

Dalam kasus ‘Mitos Plurarisme NU’ mudah saja bagi ANT untuk melacak aktor sosial. Cara kerjanya sangat sederhana, hanya mengikuti ke mana aktor bergerak, di mana tulisan itu terbit, siap saja yang menulisnya, dengan siapa ia berhubungan, bagaimana teks riset tersebut berinteraksi dengan publik baik digital dan offline dan seterusnya. Hal ini memudahkan peneliti sosial untuk keluar dari bingkai-bingkai ilmu sosial yang justru menghambat penelitian karena indikator-indikatornya seringkali tidak terpenuhi. Latour menyebutnya sebagai ‘wisata’ tanpa melakukan banyak persiapan.

Dengan cara ini (ANT) penelitian sosial bisa lebih terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Tentu saja artinya ilmu sosial akan mulai meninggalkan ‘kelompok sosial’ dengan segala ciri-ciri dan indikatornya yang lebih sering menciptakan teori baru. Kemudian menambah beban penelitian berkelanjutan karena telah mengkuncinya dengan bingkai-bingkai ilmu sosial. Misal, popularitas Geertz dalam tipology masyarakat Jawa tidak selalu berhasil menafsirkan keseluruhan posisi yang stabil antara Santri, Abangan, dan Priyayi. Justru, tipologi malah menjadi semacam ideologi untuk membenarkan asumsi-asumsi sosial yang hadir belakangan.

Meski demikian, temuan seperti Orientalisme dan Poskolonial merupakan prestasi luar biasa dalam mengakhiri masa-masa sulit transisi akhir Kolonialisme. Oleh sebab itu, keluhan Edward Said bahwa Orientalisme miliknya seringkali disalah artikan bisa dipahami melalui ANT. Apabila diperhatikan bagaiman Said menyusun karya Orientalisme, ia tidak hanya membuat narasi teoritis mengenai Orientalisme (Said, 2010:1-37). Said mendudukan hubungan antara para orientalis, karyanya, sastra, lembaga tempat para orientalis bekerja, kepentingannya sebagai jaringan (berhubungan), dan aktor yang saling bahu membahu mempertahankan ‘gagasan orientalis’ yang kadangkala berasal dari ‘pelancong Eropa’, wisatawan, atau bahkan pembuat kebijakan Timur Tengah yang bahkan tidak bisa berbahasa Arab.

Baca juga:  Guru Madrasah Berinovasi Mendidik Generasi (3): Merawat Kemuliaan Guru, Menjaga Marwah Lembaga Pendidikan Islam

Kembali pada kematian kelompok sosial. ANT justru menjadi semakin relevan justru ketika membahas peristiwa politik. Dalam satu momentum politik Pilkada DKI 2017 saja, terdapat gerakan politik 411, 212, Jilid 1-3, Bela Ulama, Bela Alquran, Bela Tauhid, Ganti Presiden, Presedium 212, Alumni 212, dan seterusnya. Apabila memakai ilmu sosial dengan kecenderungan melakukan pengelompokan sosial, maka gerakan ini bisa dianggap ‘politik kelas’, politik identitas, politik Utopia, Islamisme, Islamisasi, intoleransi, anti-pluralisme, Oligarki dan lain sebagainya.

Coba perhatikan, bukankah berbagai nama organisasi bahkan gerakan politik identitas, Utopia, intoleransi dan lain sebagainya dilakukan oleh aktor-aktor yang sama? Sebab, boleh jadi kecenderungan pengelompokan sosial tersebut telah memperumit penjelasan sosial. Namun, dengan ANT, hanya dibutuhkan aktor-aktor serta interaksi mereka sehingga dapat membentuk jaringan. ANT hanya dengan melacak mobil speaker yang sering dipakai aksi demonstrasi saja, bisa segera menarik aktor dan menemukan kedudukannya dalam jaringan. Ini perlu dibuktikan dengan riset-riset selanjutnya.

Oleh sebab itu, saya memandang perlu kajian lebih lanjut atas tulisan ini. Sementara ini, ANT selalu bisa memberikan jalan dan penjelasan sosial bagi suatu peristiwa tanpa menumpuk berbagai pengelompokan sosial yang justru membuat kita lupa bahwa aktor sedang bergerak. Inilah kelemahan dalam ‘memotret sosial’ sehingga mengandaikan bahwa ‘sosial’ adalah peristiwa yang berhenti ketika bingkai ilmu sosial diterapkan. Dengan demikian, kita bisa keluar dari perdebatan pribumisasi dengan elegan. Tentu saja, dengan mengembalikan kata ‘sosial’ pada pengertian awalnya yang lebih luas. (Editor: Endah Nisrinasari).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top