Ketika di SD sekian tahun lalu, saya pernah ditunjuk untuk mewakili sekolah dalam lomba deklamasi. Puisi yang dideklamasikan adalah “Doa” karya Chairil Anwar. Ibu guru yang menunjuk dan memilihku, serta akan membimbingku memintaku untuk menghapal puisi Doa itu dengan meminjamiku buku berisi puisi-puisi Chairil. Tanpa sengaja kesempatan ini membuatku membaca puisi-puisi Chairil yang lain. Di antaranya adalah puisi “Isa”.
Wawasan kanakku yang sangat terbatas waktu itu sempat bingung dan heran membaca puisi “Isa”. Sempat terpikir: apa Chairil seorang Kristen? Penasaran, saya pun bertanya kepada ayah mengapa ada puisi “Isa”. Ayah menjawab kira-kira begini: “rukun iman kan mengajarkan untuk percaya kepada nabi-nabi, termasuk Isa di dalamnya.” Jawaban ayah itu setidaknya mengakhiri separo rasa penasaranku. “O ya benar juga,” batinku. Apalagi waktu itu dalam mata pelajaran agama (Islam) kami diminta menghapal lima nabi yang disebut sebagai Ulul Azmi –para rasul yang kuat hati menghadapi banyak cobaan–, termasuk Isa di dalamnya.
Puisi “Isa” terbilang pendek, tapi rupanya ia meninggalkan jejak yang panjang dalam pikiran. Bertahun kemudian ketika mulai belajar sedikit mengenai teologi Islam, saya mulai ingat lagi puisi ‘Isa’ Chairil ini. Dan sudah barang tentu ingatan ini hadir kembali karena ada yang hendak saya persoalkan dalam puisi ini. Sebagian besar pengamat mengatakan puisi Isa merupakan sebentuk penghormatan si penyair terhadap pengorbanan Jesus. Sama sekali tidak keliru, tapi bagaimana penghormatan itu diajukan?
Isa
Kepada Nasrani Sejati
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
mengatup luka
aku bersuka
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
Puisi ‘Isa’ menurut catatan ditulis Chairil tahun 1943, tahun paling produktifnya menulis puisi. Usianya waktu itu 21 tahun, dan dengan ini segeralah kekaguman menyeruak, karena dalam usia sebelia itu ia telah melakukan ‘passing over’, sebuah perlintasan spiritual yang jauh melampaui batas-batas yang telah digariskan dan bisa membahayakan keamanan iman. Tetapi kekaguman itu pada saat yang sama segera juga mengendor jika mengingat Isa bukanlah sosok asing, bagi seorang anak muslim, tak terkecuali bagi Chairil. Setidaknya Isa sangat dikenal sebagai salah seorang nabi sebagaimana Ibrahim, Musa, Nuh, yang harus diimani.
Demikianlah, hal awal yang menarik perhatian saya adalah judul puisi itu sendiri: ‘Isa.’ Mengapa bukan istilah Jesus atau Kristus misal? Isa adalah salah satu nama yang dilekatkan Quran, selain al-Masih dan Putera Maryam. Kata Isa ini muncul 25 kali dalam Quran.
Jelas Chairil menggunakan nama yang sangat dikenal di lingkungan Islam, dan juga tentu lebih dikenalnya, sebaliknya relatif asing di lingkungan Kristiani. Bahkan kalangan masyarakat Kristen Arab, sebagaimana disebut Geoffrey Parrinder (2003 [1965]), tidak menggunakan kata Isa.
Benar bahwa dalam bahasa Inggris, Isa seringkali diterjemahkan dengan Jesus. Dan istilah Isa dan Jesus sendiri diyakini memiliki akar kata yang sama yang berasal dari Bahasa Syria (Parrinder, 2003). Tetapi Isa dan Jesus bisa dan lebih sering memiliki makna dan implikasi teologis yang berbeda. Dalam penggunaan sehari-hari dalam bahasa Indonesia, kata Isa lebih sering digunakan oleh masyarakat muslim dan mewakili nalar keagamaan Islam dengan pemaknaan yang berbeda. Isa adalah manusia. Ia diangkat sebagai nabi dan rasul, tak lebih tidak kurang. Sementara kata Yesus, lebih banyak digunakan oleh komunitas Kristen dengan makna dan implikasi teologis yang berbeda, yakni sebagai manusia yang sekaligus memiliki sisi ilahiah. Meskipun demikian, Isa dan Jesus adalah dua sebutan untuk pribadi yang satu dan sama.
Masalah nama Isa yang dipakai sebagai judul puisi ini sama dengan istilah Nasrani yang digunakan Chairil. Puisi itu, sebagaimana kita tahu, dipersembahkan Chairil “kepada Nasrani sejati”. Mengapa Nasrani? Mengapa bukan ‘Kristen sejati’? Sekali lagi Chairil menggunakan istilah yang secara resmi dipakai Quran untuk menyebut ‘orang-orang Kristen’ atau ‘pengikut Jesus’. Dengan dua istilah yang lazim digunakan oleh Quran itu, bisa dikatakan pengertiannya pun dalam kerangka kalangan Islam sendiri.
Namun ketika kita masuk ke bagian puisi itu, maka segera kita menjadi masygul kembali. Tanpa semacam pembuka senoktah pun, Chairil langsung menohok pembaca pada pokok yang hendak dipaparkannya. Dengan kata yang singkat dan padat, ia masuk pada inti masalah. Itulah drama penyaliban yang seakan ia saksikan dengan mata kepala sendiri dan rasakan dengan hati yang mendalam.
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
Melalui aku lirik, Chairil seolah menyaksikan peristiwa itu secara langsung. Ia melihat Tubuh (dengan ‘T’ besar) Isa itu terluka dan dari Tubuhnya mengalir darah. Tubuh itu rubuh dan patah. Ia terperangah, kaget, bingung, berduka dan tak bisa berkata apa-apa, kecuali perasaan bersalah. Ia juga tergoncang.
Pertemuan dengan Isa ini, melalui peristiwa penyalibannya, demikian intim dan intens. Peristiwa yang ia saksikan demikian menghujam masuk ke lubuk hatinya. Karena itu pula, bagian pembuka ini ia ulang lagi di bagian penutup puisi.
Namun Chairil tidak berhenti pada rasa kaget, terperangah, dan duka. Di dalam himpunan rasa kaget, terperangah dan rasa dukanya itu, muncul juga perasaaan bersalah. Mengapa ia merasa bersalah? Pertama, karena ia hanya bisa menyaksikan dan tak bisa berbuat apa-apa. Dan sebab yang kedua, lebih krusial, karena itu ia mencoba menyelami dan merenungkan peristiwa itu. ‘Aku berkaca dalam darah’, tulisnya.
Jika pada judul ia menggunakan nama ‘Isa’ dan kepada siapa puisi itu ia persembahkan ia menggunakan kata ‘Nasrani’, yang diambil dari nomeklatur Islam, maka dalam masalah penyaliban, ia berbeda dengan pandangan utama Islam yang mengatakan Isa tidak disalib. Seseorang yang –karena kehendak Allah– dimiripkan dengan Isa-lah yang disalib. Tapi ia mengikuti pandangan utama kalangan Kristiani: memang Isa yang disalib itu. Di sini Chairil mencoba menghapus rasa bersalahnya itu dengan mengakui bahwa memang Jesus telah disalib.
Dan di sini sebenarnya ‘Isa’ yang ada di dalam judul itu telah berubah menjadi ‘Jesus.’ Isa dan Jesus adalah titik-temu, tapi sekaligus juga titik-pisah antara Islam dan Kristen. Dalam cerpen “Labirynth”, Danarto juga pernah menyinggung ketegangan ini dalam sebuah percakapan tokoh-tokoh ajaibnya:
“Yesus Kristus Nabi Besar tak pernah disalib.”
“Siapa bilang?”
“Kitab adiknya berkata demikian.”
“Tentu, kitab terakhir itu berkata demikian.”
Chairil tak mengikuti pandangan “kitab adiknya” itu. Dengan demikian, penggunaan nama ‘Isa’ bukan tidak disengaja. Chairil –menurut saya– memilih dengan sadar istilah itu dan membenturkannya dengan peristiwa penyaliban. Itulah juga kenapa puisi itu ia tujukan kepada ‘Nasrani sejati’, yang dalam kerangka pemahaman ini, bukan merujuk pada ‘seseorang’, entah sejati atau bukan, atau kepada kalangan Kristen saja. ‘Nasrani sejati’ adalah mereka yang meyakini penyaliban Isa. Ya Isa yang Jesus, dan Jesus yang Isa. Chairil tiba pada pandangan ini melalui perenungan dan penghayatan yang dalam dan intim dengan Jesus.
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
mengatup luka
aku bersuka
Maka sebagaimana peristiwa penyaliban itu menjadi simpang jalan bagi terang dunia, demikian juga dengan jiwa Chairil. Terjadi transformasi, jika semula ia berduka kini ia bersuka. Pertemuannya dengan Jesus demikian mengesankannya dan mencerahkan jiwanya.
Sedemikian mengesankannya, sampai-sampai –melalui puisi ini—pengamat sastra A. Teeuw (1969) hampir hendak melekatkan etiket Nasrani (Kristen) pada kepenyairan Chairil Anwar. Bahkan A. Teeuw sempat mengatakan bahwa kata ‘Tuhanku’ yang diteriakkan Charil dalam puisi ‘Doa’ –yang kebetulan diciptakan di tahun yang sama dengan puisi ‘Isa’— ‘boleh dikatakan’, demikian istilah A. Teeuw, berhubungan dengan sosok Isa (Jesus) ini.
Teeuw tidak berlebihan. Puisi itu memang sangat inspiratif. Ia membinarkan suatu cara membaca ulang peristiwa itu dengan menghadirkan diri sebagai saksi langsungnya. Untuk ‘para nasrasi sejati’, Chairil seperti menyediakan “jalan puitis” untuk merenungkan, menghayati dan bahkan mengalaminya.
Melalui puisi ini Chairil bisa dikatakan juga telah melakukan ‘passing-over’, perlintasan spiritual ke ranah yang berbeda, jauh dan membahayakan. Setelah tahun itu (1943), ia tak lagi menulis puisi dengan semangat dan tema keagamaan, dan fase-fase hidupnya diarahkan pada hal-hal lain.
Satu hal yang pasti, salah satu sajak terbaik tentang Jesus –demikian kita sebut sekarang—dalam sejarah perpuisian modern Indonesia, dibuat oleh seorang muslim: Chairil Anwar.