Sebuah kutipan lagu menyebutkan bahwa mutiara tiada tara adalah keluarga. Kutipan ini mengingatkan saya pada kasih sayang Nabi Muhammad kepada paman-pamannya, meskipun di antara mereka masih ada yang belum beriman kepada Allah dan ada juga yang tak pernah beriman kepada-Nya.
Bagi Nabi Muhammad, keluarga lebih dari sekadar mutiara, sebab Nabi Muhammad ditakdirkan menjadi seorang yatim piatu sejak kecil. Kakek dan paman beliaulah yang menjadi sumber daya kasih sebagai pengganti dari orang tua yang lebih dahulu pergi.
Di antara sekian banyak kisah menarik Nabi Muhammad dengan pamannya, terdapat satu kisah mengharukan antara Nabi Muhammad dengan salah satu paman beliau ini. Ia adalah Abbas bin Abdul Muthalib. Kisah ini terdapat dalam kitab Fi Bayt al-Rasul karya Nizar Abazhah, seorang guru besar Sirah Nabawiyyah di Akademi al-Fath al-Islami Syria.
Kala itu, Nabi Muhammad hendak menghadapi Perang Badar –salah satu perang yang paling menakjubkan dalam sejarah peradaban — dan sang paman, Abbas bin Abdul Muthalib masih berada di pihak kaum Quraisy. Tak ada orang yang lebih gelisah dari Nabi menghadapi keadaan ini. Satu sisi kaum muslim tidak ingin terluka dan terbunuh, sementara di sisi lain Nabi juga tak ingin sang paman gugur di medan perang.
Akhirnya, Rasulullah memberikan sebuah instruksi kepada kaum muslim agar menghindari kontak fisik dengan Abbas karena sang paman tak pernah menyakiti orang muslim kala di Mekkah. Selain itu, peran Abbas dalam Perang Badar hanya membantu melindungi kaumnya, bukan atas dasar benci kepada Nabi Muhammad dan kaum Muslim.
Pasca Perang Badar berakhir –dengan kemenangan epik umat muslim ̶– Abbas bin Abdul Muthalib menjadi tawanan orang muslim. Hal ini membuat Nabi lega sekaligus berduka. Lega karena Abbas tidak gugur di medan perang dan berduka karena mendengar jeritan kesakitan Abbas dalam ikatan tali yang terlalu kencang.
Sang paman harus rela menanggung derita, padahal selama ini ia hidup dalam keadaan terhormat. Sebagai pemimpin kaum, Abbas diagungkan oleh kaumnya. Salah seorang Sahabat melihat kegelisahan Nabi dan bertanya, “Rasulullah, kulihat engkau tak bisa tidur. Mengapa?”
“Aku mendengar jeritan kesakitan pamanku, Abbas,” jawab Nabi Muhammad.
Saat itu memang Abbas sedang diikat dengan sangat kuat oleh pasukan muslim. Sahabat Nabi yang mengetahui kegelisahan Rasulullah gegara rintihan kesakitan Abbas, memutuskan untuk mengendurkan ikatan talinya. Seketika terlihat ketenangan di wajah Nabi Muhammad. Beliau menjadi penasaran dan bertanya, “Mengapa jeritan pamanku tak terdengar lagi?”
Sahabat tersebut takut Nabi marah jika ia tidak berkata jujur, lalu ia berkata, “Aku telah mengendurkan tali ikatannya, wahai Rasulallah.”
Nabi Muhammad menjadi lebih lega dan tenang; namun juga dihinggapi kegelisahan yang baru, yakni pilih kasih terhadap paman. Semua tawanan harus diperlakukan adil. Jika Abbas diringankan ikatannya hanya karena ia adalah paman Rasulullah, maka berarti Nabi telah menodai arti keadilan.
Akhirnya, Nabi Muhammad bersabda, “Lakukan juga hal itu ̶ maksudnya mengendurkan tali ikatan ̶ pada semua tawanan yang lain!” Dari sinilah, tampak jelas kebijaksanaan Nabi Muhammad. Nabi memang sangat menyayangi sang paman, tetapi keadilan harus tetap ditegakkan.
Kegembiraan Nabi semakin lengkap kala Abbas bin Abdul Muthalib menyatakan keimanannya, hingga beliau bersabda, “Inilah pamanku, saudara sekandung ayahku. Inilah Abbas bin Abdul Muthalib, orang bani Quraisy yang paling ringan tangan dalam memberikan perlindungan kepada kami dan paling taat dalam menjalin tali silaturrahmi.” Wallahu a’lam