Abdul Wahab Chasbullah yang terkenal dengan sebutan Mbah Wahab, ketika masih muda mondok di Mojosari Nganjuk. Sebagaimana lazimnya anak-anak, suka bermain-main dengan temana-teman sebayanya. Ada banyak macam-macam permaina yang dilakukan. Ada nekeran, gobak sodor, jumpritan, jaran-jaranan, dan lain sebagainya.
Jaran-jaranan adalah permainan yang sering dilakukan oleh Gus Wahab muda dan teman-temanya waktu itu. Suatu saat, Gus Wahab mengajak main kuda-kudaan dengan Gus Zahid (putra KH. Muhammad Zainuddin Cempoko Nganjuk).
Sebelum permainan dimulai, terlebih dahulu harus ditentukan siapa yang menjadi jaran (kuda) dan siapa pula yang menjadi jokinya untuk menentukannya dilakukan sut atau suten, yaitu suatu cara penentuan dengan menggunakan jari tangan. Misalnya jempol (ibu jari)n akan dikalahkan oleh jentik (jari kelingking).
Dalam sut-sutan tadi, ternyata dimenangkan gus Wahab. Dengan demikian jadilah gus Wahab sebagai joki terlebih dahulu. Sedangkan temanya sebagai jarannya. Permainan ini bertempat dilanggar Mbah Kiai sepuh (KH. Zainuddin Mojosari) dan dimulai dari dekat pengimaman mushola, sampai jerambah dan kembali lagi ke pengimaman.
Selanjutnya permainan dimuali. Karena Gus Zahid sebagai “jaran” (kuda), maka kedua lutut dan tanganya ditempelkan ke lantai, seperti “kuda”. Lalu gus wahab menaiki punggung temanya. Setelah itu “kuda” siap dijalankan. Pantat “kuda” dipukul oleh Gus Wahab. Karena merasa sakit sang teman atau “kuda” itu protes, tidak terima.
Mendapat protes, Gus Wahab menjawab, “Kuda nggak boleh bicara, harus nurut joki.”
Mendapat jawaban semacam ini, Gus Zahid berkata dalam hati, “Awas nanti kalau saya yang menjadi joki, akan saya balas kamu.”
“Kuda” terus berjalan. Sesekali, sebagai joki, Gus Wahab memukul pantatnya “kuda”. Sampai akhirnya “kuda” kembali lagi dan sampai di dekat pengimaman musala. Tibalah saatnya Gus Zahid sebagi joki, sedangkan Gus Wahab sebagai “kuda”, sebagai mana yang telah dilakukan temanya, sang joki langsung naik ke atas punggung “kuda”. Belum sampai “kuda” dipukul dan berjalan, ternyata sang “kuda” berak di dekat pengimaman musala.
Dari sini, akhirnya terjadi pertengkaran antar joki dan “kuda”. Gus Wahab tidak mau mengepel, karena dirinya sebagai “kuda” sang teman juga tidak mau, karena bukan dia yang berak atau kencing. Hal ini sampai ke pengurus pondok, tapi juga tidak teratasi.
Akhirnya keduanya dihadapkan ke romo Kiai Zainuddin. Karena yang berak atau kencing adalah Gus Wahab, dan dia juga tidak mau mengepel. Maka Romo Kiai bertanya kepada Gua Wahab, “Apa benar kamu yang berak di dekat pengimaman musala?” Gus wahab menjawab ” benar Kiai”. Lalu Kiai bertaya lagi, “mengapa kamu tidak mau mengepel?”
Gus Wahab menjawab, “nopo wonten jaran kok ngepel teletonge dewe? (apa ada kuda yang mengepel beraknya sendiri). Jaran itu ghoiru mukalaf. Mestinya yang mengepel joki, karena dia mukalaf.”
Mendengar jawaban Gus Wahab yang demikian, Kiai Zainuddin yang semula memangilnya dengan sebutan Gus Wahab, menggantinya dengan sebutan Kiai Wahab. Memang terbukti kelak, Kiai Wahab dikenal ahli berdebat dalam bahstul masail, bahkan sempat pula menjadi pengacara. Wallohu a’alam bisshowab. (Tulisan ini diambil dari buku: Sejarah Tambakberas Menelisik Sejarah, Mencari Uswah)