Imam Asy Syatibi memaparkan kebutuhan hajiyyah (sekunder) sebagai: “Sesuatu yang keberadaannya dibutuhkan. Ia berfungsi sebagai sarana antisipasi serta mengurangi tekanan yang timbul dalam merealisasikan hal-hal yang bersifat primer. Hal ini dikarenakan tekanan yang timbul akan cenderung menyebabkan penderitaan, meskipun penderitaan yang disebabkan olehnya tidak sebesar apa yang disebabkan oleh hilangnya dharuriyyat”.
Sebagai contoh kategori sekunder antara lain: Disyariatkannya dispensasi dalam hal ibadah. Seseorang yang tidak memungkinkan untuk shalat dengan berdiri, maka ia diperkenankan untuk mendirikan shalat semampunya, baik itu dengan duduk atau tidur terlentang. Kategori ini juga masuk dalam segenap aspek. Dalam keseharian misalnya, syariat memperkenankan kita untuk berburu hewan. Contoh lain adalah diperbolehkannya kita melakukan akad pesan (salam) dalam proses pemenuhan kebutuhan. Jika kita melihat syarat jual beli secara umum, sebenarnya akad pesan (salam) tidaklah memenuhi syarat-syarat tersebut. Hal itu dikarenakan akad pesan merupakan akad terhadap sesuatu yang tidak dimiliki oleh penjual. Contoh lain bisa dianalogikan sendiri.
Secara umun, kategori ini memiliki beberapa tujuan pokok. Pertama, menghindarkan seorang mukalaf dari keadaan terhimpit atau bahkan kegentingan. Sebagai mana akad pesan, jika hal tersebut tidak disyariatkan, maka manusia akan terjatuh pada situasi yang menghimpit. Kedua, ia bertujuan untuk menjaga dan mendukung terealisasinya katagori pertama (dharuriyyat). Contohnya adalah dihalalkannya segala sesuatu yang baik, kecuali yang telah disebut secara eksplisit keharamannya di dalam al-Qur’an. Jika hal tersebut tidak dihalalkan, maka yang terjadi adalah kepunahan umat manusia. Ketiga, ia berfungsi untuk merealisasikan kemaslahatan yang lain. Hal itu bisa dilihat pada perkara yang diperbolehkan oleh syariat akan tetapi berseberangan dengan kaidah universal, dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan yang lain (Ibnu Mas’ud al-Yubi, Maqashidus Syari’ah wa ‘Alaqatuha bil Adillah, hal 325).
Katagori ketiga dari pembagian maqashid adalah kategori tersier (tahsiniyyat). Asy Syatibi mendiskripsikannya sebagai: “Melakukan hal-hal yang sejalan dengan kemuliaan akhlak, menjauhi perkara yang dianggap kotor dan menjijikkan oleh umumnya manusia” (Asy Syathibi, Al Muwafaqot, 327). Menutup aurat, membersihkan najis serta menjaga kebersihan secara umum, merupakan sedikit dari banyaknya contoh yang masuk dalam kategori ini.
Kategori yang diusung oleh Asy Syathibi, dharuriyyat, hajiyyat serta tahsiniyyat, merupakan kategori yang sifatnya hirarki. Hirarki ini tidak hanya terjadi antar kategori, ia juga terjadi dalam satu kategori. Sebut saja misalnya, jika ada pertentangan antara perlindungan agama dengan perlindungan jiwa, maka yang harus kita dahulukan adalah melindungi agama. Begitupun seterusnya sesuai urutan. Unsur yang lebih dulu disebutkan, ketika bertentangan dengan unsur lain yang lebih rendah, maka unsur lebih tinggi yang harus dimenangkan. Sebagaimana contoh jihad, ia merupakan satu manifestasi dari penjagaan agama. Meski demikian, ia tidak sejalan dengan penjagaan jiwa, karena tabiat dari peperangan adalah saling bunuh. Membunuh atau terbunuh adalah satu bentuk rusaknya penjagaan jiwa. Ketika kita disuguhi hal demikian, maka sudah selayaknya penjagaan terhadap agama didahulukan. Oleh karenanya umat muslim diperintahkan untuk berjihad. Begitulah seterusnya jika terjadi pertentangan.
Pertentangan tersebut juga tak jarang terjadi diantara satu katagori dengan katagori lainnya. Ketika kategori primer berseberangan dengan kategori sekunder, maka didahulukan yang primer meskipun harus mengorbankan tujuan sekunder. Begitu juga dengan tersier, jika ia berseberangan dengan primer atau sekunder, maka kita harus mengorbankan tersier. Salah satu contoh pertentangan yang terjadi antara primer dan tersier adalah memakan bangkai. Jika seseorang dalam keadaan terpaksa, dalam keadaan kelaparan hingga akan mati, sedangkan disana hanya ada bangkai, maka orang tersebut wajib hukumnya memakan bangkai yang ada. Memakan bangkai hakikatnya adalah sesuatu yang dilarang dikarenakan ia bertentangan dengan tujuan tersier. Akan tetapi jika orang tersebut tidak melakukannya, maka ia akan kehilangan nyawanya. Membiarkan kehilangan nyawa merupakan hal yang bertentangan dengan kategori primer, bahkan dengan unsur pertama, penjagaan jiwa.
Pertanyaan yang ada sekarang adalah, apakah benar, dalam syariat terjadi pertentangan dalam hal penjagaan?
Saat hal ini diteliti lebih jauh, maka akan ditemukan kesimpulan bahwa: Pertentangan ini bukan terjadi pada dalil syariat. Syariat tidak akan pernah bertentangan, sebagai mana disebutkan dalam Surat an-Nisa’ ayat 82. Pertentangan yang terjadi adalah pertentangan yang ada dalam pemikiran seorang mujtahid. Klarifikasi ini telah diungkapkan oleh Asy-Syatibi:
“Adapun kemaslahatan dari sudut pandang khitab syariat maka harus ditinjau. Kemaslahatan, jika ia merupakan sisi dominan, sedangkan di dalamnya terkandung mafsadah, maka yang menjadi sorotan khitab syariat adalah kemaslahatan yang dominan. Mafsadah (kemudaratan) yang terkandung di dalamnya bukan lagi sebuah tujuan yang harus dihindari.” (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, hal 340).
Pada contoh orang yang memakan bangkai karena terpaksa, misalnya, muncul asumsi pertentangan antara kategori primer dan tersier. Dengan pemahaman yang dibawa oleh Asy-Syatibi, maka bisa dipahami adanya perbuatan memakan bangkai bukanlah satu tujuan syariat yang harus dihindari. Sekali lagi kasus ini ketika memang adanya kesan pertentangan. Akan tetapi saat memakan bangkai, sebagai satu tujuan tersier, misalnya, terlepas dari keadaan darurat, maka ia tetap menjadi satu tujuan syariat berupa larangan untuk meninggalkan.
Dari sini bisa kita simpulkan, bahwa dalam syariat Islam tidak terjadi pertentangan antara satu kategori dengan lainnya, begitu juga antara satu unsur dengan unsur yang lain. Adapun asumsi yang kerap terjadi seputar pertentangan itu hanya kembali pada pikiran seorang mujtahid.