“Tetapi, selain dari Marx, ada dua sumber lainnya yang melahirkan sosialisme di Indonesia, yaitu agama Islam dan corak kolektif daripada masyarakat Indonesia asli.” (Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato II, 1983:112 ).
Sosialisme yang lahir dari rahim kapitalisme modern menunjukkan keterikatan kuat dengan Karl Marx. Untuk pertama kali, Marx secara ilmiah memberikan pemahaman tentang sosialisme yang akan lahir dengan sendirinya sebagai akibat dari pertentangan sosial. Sosialisme menghendaki terbentuknya suatu konstruk masyarakat tanpa kelas yang bebas dari segala bentuk penindasan.
Marx sendiri mengakui, bahwa dalam mewujudkan masyarakat tanpa kelas dihadapkan pada tantangan-tantangan tersendiri di setiap masa, karena di dalam masyarakat terdapat pertentangan kelas sejak masa lampau. Feodalisme dan kapitalisme menjadi tembok kokoh yang menghalangi terbentuknya tatanan masyarakat sosialis.
Pertentangan kelas secara garis besar diperankan oleh dua subjek, yaitu kelas kapitalis atau pemilik modal dan buruh. Dua kelompok yang secara terus-menerus menunjukkan pertentangan dalam bidang produksi sekaligus hubungan patron-klien.
Marx sebagai ilmuan sosial yang lahir dan besar di Eropa, banyak dipengaruhi oleh realitas dan gejala-gejala sosial masyarakat industri modern di benua Biru. Atas dasar inilah sosialisme yang berkembang di belahan bumi secara sederhana memiliki corak masing-masing, sesuai dengan gejala dan kondisi sosial yang berkembang di wilayahnya.
Mohammad Hatta menjadi salah seorang yang memiliki pemikiran bahwa teori Marx tentang sosialisme tidak sepenuhnya dapat digunakan untuk menggambarkan sosialisme di Indonesia. Sosialisme di Indonesia menurut Bung Hatta terbentuk dengan caranya sendiri, yang sesuai dengan perkembangan dan struktur masyarakat Indonesia. Perbedaan kehidupan masyarakat di Eropa dan di Indonesia mendasari pemikiran Bung Hatta akan sosialisme Indonesia.
Bentuk konkrit yang memengaruhi lahirnya sosialisme Indonesia adalah agama Islam dan corak kolektif masyarakat. Islam memiliki peran penting karena ajarannya yang damai dan egaliter. Dalam pandangan Bung Hatta, Islam menanamkan bibit persamaan, persaudaraan, perikemanusiaan, perikeadilan, dan kerja sama dalam tolong-menolong, seperti halnya yang dikehendaki oleh sosialisme.
Dasar tujuan dalam praktik sosialisme antara teori Marx dan Islam pastinya memiliki perbedaan. Marx menganggap bahwa sosialisme lahir dengan sendirinya karena pertentangan kelas, sedangkan sosialisme dalam Islam lahir sebagai tuntutan jiwa untuk mengabdi kepada Tuhan (ibadah). Islam lahir ke dunia membawa misi perdamaian dan persaudaraan yang direpresentasikan melalui kehidupan Nabi Muhammad serta Alquran dan Hadis.
Pandangan Islam dan sosialisme semacam ini sebelumnya diuraikan oleh tokoh Sarikat Islam (SI), H.O.S. Tjokroaminoto. Bagi Tjokroaminoto, Islam dan sosialisme dapat berkelindan saling melengkapi satu sama lain.
Selain Islam, faktor yang membentuk sosialisme Indonesia adalah corak kolektif yang digambarkan oleh Bung Hatta melalui kehidupan masyarakat di perdesaan.
Melalui demokrasi kolektif dalam kehidupan masyarakat pedesaan, sosialisme tumbuh melalui musyawarah dan mufakat. Keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak diputuskan secara bersama dan dinikmati pula hasilnya secara merata.
Dua faktor tersebut pada dasarnya saling bersimultan. Namun, tidak bisa ditolak bahwa teori Marx juga turut membentuk sosialisme Indonesia, sehingga terdapat tiga faktor dalam sosialisme Indonesia. Munculnya golongan terpelajar yang menempuh pendidikan di Eropa sudah cukup mewakili pegaruh teori Marx bagi masyarakat Indonesia.
Pandangan bernas Bung Hatta mengenai sosialisme Indonesia sangat lekat dengan latar belakang kehidupan dan pendidikan yang ia tempuh. Kehidupan demokrasi Minangkabau dan pendidikan surau semasa kecil menumbuhkan pemahaman tentang kehidupan kolektif masyarakat serta pemahaman tentang ajaran Islam. Sedangkan pengetahuan sosialisme menurut Karl Marx, ia peroleh dari pendidikan Barat, semasa menempuh studi di Belanda.
Bung Hatta memang dikenal sebagai Islam yang taat. Oleh karena itu, dalam pandangan-pandanganya sering dipengaruhi oleh ajaran Islam. Setidaknya dalam pandangan sosialisme Indonesia, Bung Hatta menunjukkan bahwa Islam memiliki peran dalam pembangunan bangsa. Islam bukan agama yang semata-mata bersifat vertikal, tetapi juga horizontal. Saling mengasihi dan berbagi antarmakhluk, menjunjung tinggi nilai persaudaraan, begitupula dengan sosialisme.