Dalam literatur Islam ada beberapa kisah seorang bayi yang bisa berbicara. Selain bayi Nabi Isa dan bayi dalam kisah pemuda dari Bani Israel bernama Juraij, ada juga kisah dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Kisah itu termuat dalam kitab “An-Nur Al-Burhany” jilid pertama karya Kiai Muslih Mranggen.
Dikisahkan suatu hari ada seorang ibu sedang menyusui anak laki-lakinya. Di tengah-tengah menyusui, lewatlah seorang laki-laki yang menunggang kuda. Laki-laki itu sangat tampan dan gagah sampai-sampai yang melihatnya akan terpesona.
Melihat laki-laki itu, sang ibu berdoa, “Ya Allah, jangan kau ambil nyawa anakku sebelum engkau jadikan seperti laki-laki itu.”
Tiba-tiba sang bayi melepas susu ibunya dan berdoa, “Ya Allah, jangan Engkau jadikan hamba seperti laki-laki itu.” Bayi itu kemudian kembali menyusu.
Tak berselang lama, melintaslah seorang budak perempuan yang diarak, diseret, dan ditendang-tendang oleh sekelompok orang. Melihat kejadian itu, si ibu berdoa lagi, “Ya Allah, anak saya ini jangan Engkau jadikan seperti perempuan malang itu.”
Lagi-lagi sang bayi melepas susu ibunya dan berdoa, “Ya Allah, jadikanlah hamba seperti perempuan itu.”
Melihat tingkah anaknya, tentu sang ibu jengkel. “Bagaimana anak ini, didoakan supaya menjadi orang yang mulia kok malah memilih jadi orang hina,” tutur sang ibu.
Seketika bayi tersebut menjawab, “Wahai ibu, laki-laki gagah yang naik kuda tadi itu orang kafir. Sedangkan perempuan yang diseret-seret itu adalah perempuan yang bisa menjaga dirinya (afifah). Dia sabar dan rela terhadap keputusan Allah, dan dia merupakan perempuan wali yang menyamar (mastur).
Dia dituduh berbuat zina tidak marah, malah justru mengucapkan ‘hasbiyallah’ (hanya Allah yang mencukupiku), dituduh mencuri juga tidak marah dan mengucapkan ‘hasbiyallah’.”
Kisah di atas memberi kita pelajaran bahwa apa yang tampak di mata, terkadang tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Sekilas, laki-laki tampan dan menunggang kuda itu laki-laki yang mengagumkan. Karena kagum, wajar bila sang ibu ingin anaknya seperti laki-laki tersebut.
Ternyata, laki-laki itu tidak seperti yang terlihat oleh mata. Secara fisik barangkali memang mengagumkan, tetapi laki-laki itu adalah orang kafir. Orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak mensyukuri nikmat-Nya.
Sebaliknya, perempuan yang diarak dan ditendang-tendang oleh sekelompok orang tampak hina di mata. Karena hina itulah, wajar bila sang ibu tidak ingin anaknya bernasib malang seperti perempuan tersebut.
Ternyata, perempuan itu adalah orang yang mulia di sisi Allah. Ia rela difitnah dan dituduh sebagai pezina dan pencuri. Wajar pula bila sang anak menginginkan dirinya seperti perempuan itu.
Melalui kisah ini kita diberi pelajaran betapa pandangan mata sangat menipu. Apa yang tampak baik oleh mata belum tentu benar-benar baik. Sebaliknya, apa yang tampak buruk oleh mata, belum tentu benar-benar buruk. Orang Jawa menyebutnya, “urip iku sawang sinawang.”