Sedang Membaca
Sayyidah Nafisah. Ulama Perempuan Guru Imam asy-Syafii
Zakiyatur Rosidah
Penulis Kolom

Aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Semarang. Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Frekuensi Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN Walisongo Semarang.

Sayyidah Nafisah. Ulama Perempuan Guru Imam asy-Syafii

Sejarah Islam mencatat sedikit ulama perempuan daripada ulama laki-laki. Misal saja Imam Syafii, Imam Hanbali, Imam Maliki, Imam Hanafi, dan masih banyak lagi. Namun di balik kehebatan mereka tak banyak yang mengetahui dengan siapa mereka belajar. Popularitas ulama perempuan tak lebih keluar di permukaan ketimbang para ulama laki-laki yang pernah belajar darinya. Tentu, tak ada hilir jika tak ada hulu. Sebagai bukti kecintaan kita terhadap ulama, setidaknya kita harus mengetahuinya.

Sayyidah Nafisah, demikianah namanya. Darinya Imam Syafii beroleh pengetahuan ilmu Fikih, Quran, dan hadis. Pendiri salah satu mazhab di dunia, bahkan mazhab terbesar yang diikuti mayoritas muslim di Indonesia ini sengaja datang dari Baghdad untuk belajar kepadanya. Ia menyusul salah seorang cucu Imam Hasan, sekira lima tahun setelah perempuan itu menetap di Kairo, Mesir. Seolah nama Sayyidah Nafisah tidak dikenal oleh umat muslim Indonesia. Mereka cukup familier dengan Imam Syafii, pendiri mazhab Syafii.

Sayyidah nafisah lahir di Madinah pada tahun 145 hijriah. Ia merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. Karena itu wajar saja jika Sayyidah Nafisah memiliki kecerdasan dan kefasihan berbicara. Dari keluarganya, ia beroleh khazanah pengetahuan tentang Islam. Jalur kekeluargaan berikut kehidupan kesehariannya membuat wawasannya perihal Alquran dan hadis Nabi sangat luas.

Sayyidah Nafisah kecil selalu dibawa ayahnya ke Masjid Nabawi untuk salat dan bermunajat. Hasan al-Anwar yang kala itu sempat menjadi gubernur Madinah terbiasa berlama-lama di makam Nabi Muhammad saw. Ia kerap kali menuntun Sayyidah Nafisah menuju makam Rasulullah hingga usia keenam. Sejak itulah Sayyidah Nafisah rajin belajar dan beribadah ke Masjid. Tak heran jika sejak usia dini ia sudah hafal Alquran dan mengerti hukum Islam.

Baca juga:  Sanad Keilmuan Kiai Sahal Mahfudh

Penguasaan ilmu pengetahuan, kefasihannya berbicara dan kekhusyukannya dalam beribadah membuat Sayyidah Nafisah kerap menjadi rujukan penduduk Madinah yang hendak bertanya.

Lalu ia mendapat beberapa gelar di antaranya Nafisat al-Ilm wal Ma’rifat, Nafisat Thahira, Nafisat al-Abida (Nafisah Ahli Ibadah), Nafisat al-Darayn, Sayyidat al-Karamat, Sayyidat ahlul Fatwa, dan Umm al-Awaajiz. Kesemuanya merujuk pada kehidupan dan keulamaannya.

Sayyidah Nafisah menikah ssat berusia 16 tahun. Ia dipersunting Ishaq Ma’taman, keturunan Imam Husain, saudara Imam Hasan, putra Ali dan Fatimah. Dari pernikahannya ini, mereka dikaruniai anak Al-Qasim dan Ummu Kulsum. Meskupun telah menikah, perempuan ini tak lantas menarik diri untuk tidak mengikuti kegiatan belajar dan mengajar.

Ia pernah juga berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, dengan berjalan kaki, tidak menaiki unta. “Aku malu dengan kakekku Muhammad jika aku pergi ke Mekkah berkendaraan,” demikian alasannya.

Saat usianya ke-44, ia hijrah ke Mesir. Tak diketahui pasti alasan mengapa ia berpindah ke negeri seberang benua itu. Namun ketika ia tiba, gayung bersambut. Masyarakat Mesir sangat menghormati ulama perempuan keturunan Rasulullah saw. tersebut, diarak dengan lantunan shalawat.

Sayyidah Nafisah kemudian tinggal di kediaman kawannya, Jamaluddin Abdullah al-Jassas. Setiap waktu rumah ini selalu didatangi orang-orang sekitar. Mereka datang untuk belajar, ber-tabarruk, beribadah, bahkan meminta doa. Namun, dengan begitu ia merasa tak enak hati dengan pemilik rumah lantas ia pindah di kediaman Ummu Hani yang berada di distrik al-Hasaniyya. Namun ternyata kepindahannya tak membawa perubahan. Umat Islam dari berbagai penjuru masih saja mengunjunginya.

Baca juga:  Keistimewaan Siti Bariyah, Ketua ‘Aisyiyah Pertama (2, Bagian Akhir)

Alhasil Sayyidah Nafisah merasa tak lagi bisa khusyu dalam beribadah dan berdoa. Rumahnya selalu ramai, di sisi lain tak mungkin ia menolak orang-orang yang bertandang ke rumah. Ia merasa kehilangan waktu intimya dengan Snag Pencipta. Perempuan cerdas ini menyerah, lalu memutuskan untuk kembali ke Madinah. Namun kabar itu didengar penduduk Mesir hingga melayangkan permohonan kepada Gubernur untuk membuat Sayyidah Nafisah tak meninggalkan Mesir. Penduduk Mesir beranggapan kehadiran Sayyidah Nafisah membawa berkah. Dengan permohonan tersebut, Sayyidah Nafisah tak bisa mengelak lagi. Masyarakat Mesir kembali bersuka cita ketika mendengar kabar itu.

Sebentuk rasa terima kasih mendalam, Gubernur Mesir, Sirri bin Hakam, menghadiahkan sebuah rumah di atas lahan yang cukup besar. Di rumah tersbut, ia bisa mengatur jadwal mengajar, menerima kunjungan, dan bermunajat. Pada akhirnya ia menerima kunjungan dari masyarakat pada hari tertentu.

Di rumah tersebut, ia menerima murid khusus untuk belajar hukum Islam, Alquran dan hadis. Salah satu muridnya yang kemudian sangat terkenal adalah Imam Syafii. Imam Syafii datang sekira lima tahun setelah Sayyidah Nafisah menetap di Kairo. Adapun muridnya yang lain, yang juga menjadi imam besar adalah Dzun Nun al-Misri, Misri al-Samarkandi, dan Utsman bisn Said al-Misri.

Kemudian Sayyidah Nafisah dan Imam Syafii berkolaborasi. Mereka mengelola majelis ilmu itu bersama-sama. Di tempat Sayyidah Nafisah, Imam Syafii menghabiskan waktu lebih kurang enam jam dalam sehari. Ia mengajar khusus ilmu kalam, fikih dan tafsir.

Imam Syafii pula yang menjadi imam salat di markas Sayyidah Nafisah. Gurunya itu senantiasa jadi makmum dan berdiri di belakangnya. Sampai saat sakitnya, Imam Syafii masih tetap berkunjung ke rumah. Ia meminta doa. Saat tak mampu berjalan, ia mengirim murid untuk duduk di majelis yang dipimpin sayyidah nafisah.

Baca juga:  Perempuan Perdamaian (4): Perempuan sebagai Agen Perdamaian di Wilayah Konflik

Muridnya tersebut menyampaikan salam Imam Syafii, “Saudara sepupumu tengah terbaring sakit. Doakan aku agar segera sembuh.”

Suatu saat Sayyidah Nafisah menjawabnya dengan bertitip pesan untuk Imam Syafii, “Mudah-mudahan Allah akan bertemu dengannya. Sebuah pertemuan yang teramat baik.”

Pesan tersebut ditafsiri Imam Syafii sebagai pertanda bahwa kematiannya telah dekat. Lantas ia mengirimkan utusan untuk menyampaikan pesan terakhirnya kepada sang guru agar berkenan menshalatkan jenazah Imam Syafii di rumahnya, tempat ia mengaji dan mengkaji bersama. Dan permohonan terakhirnya pun dipenuhi.

Ulama perempuan yang satu ini hidup sebagai seorang sufi. Ia menyalurkan lagi hadiah yang diberikan oleh Gubernur Mesir tadi kepada orang miskin di sekitarnya. Apa pun yang ia dapatkan ia sebar lagi untuk orang yang membutuhkan. Ia justru memilih hidup miskin meski dengan kecerdasannya yang sangat kaya. Semoga kita bisa meneladani beliau, Sayyidah Nafisah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top