Dengan secuil keberanian dan tanpa kepastian, lima santriwati berkali-kali mendatangi kantor polisi untuk menanti sebuah “keajaiban” yang bernama keadilan. Hati nurani Kapolda Jatim, Irjen Pol Nico Afinta pun akhirnya tergerak. Ia segera bertindak karena tak tega dengan nasib mereka yang diduga dicabuli oleh anak Kiai di salah satu pesantren Jombang.
Namun, iktikad baik polisi saat memanggil tersangka pada hari Kamis (13/1/2022) dihadang ratusan massa yang mengepalkan tangan sambil memekikkan “Ya Jabbar, Ya Qahhar”. Mereka bilang, “Ini finah keji dan upaya untuk memperburuk citra pesantren.”
Sontak, berbagai potongan video pekikan mereka dilihat dan didengar ribuan netizen di dunia maya. Ada yang berkomentar geram, memaki, dan ada juga berkomentar sambil berdoa, “Semoga yang haq benar-benar terlihat”—bukti bahwa ia belum berani mengambil sikap dan ragu akan siapa yang benar dan salah.
Dilansir dari Kompas.com (15/01/2022), kasus yang sudah berjalan sejak tahun 2019 ini memang seperti benang kusut. Intimidasi juga sempat diterima oleh pembela korban. Di sisi lain, pelaku juga pernah meminta ganti rugi 100 juta kepada Irjen Pol Nico karena dianggap mencemarkan nama baiknya.
Agama dan nurani kita dengan tegas menolak kekerasan seksual. Akan tetapi, bagaimana kita harus menyikapi kasus ini? Dua-duanya merasa menginginkan keadilan ditegakkan. Akan tetapi, yang satu anak Kiai yang mempunyai kuasa dan massa. Yang satu hanya santriwati biasa yang mencoba memperoleh haknya.
Meski al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada yang lebih mulia di antara manusia kecuali ketakwaannya (al-Hujurat:13), Alam bawah sadar laki-laki sudah terlanjur meyakini bahwa mereka lebih utama dibanding kaum hawa.
Alam bawah sadar itu semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, baik individu maupun kelompok, memiliki kuasa (kekuasaan) atas individu atau kelompok lainnya. Kita bisa lihat bagaimana faktor sosial, ekonomi, dan bahkan agama sering kali memainkan perannya yang begitu besar dan nyata.
Dalam penelitiannya tentang ”On Max Weber’s Definition of Power”, Walliman, Tatsis, dan Zito (1977) menyebutkan bahwa ada tiga jenis otoritas darimana kekuasaan berasal. Pertama, tradisional (patriarki). Kedua, kharismatik, yakni otoritas yang didapat karena kharisma yang dapat mempengaruhi orang lain. Ketiga, hukum atau rasional, yakni otoritas yang diberikan secara formal oleh pemerintah atau hubungan atasan dan bawahan.
Meski kategori agama tidak dimasukkan oleh mereka secara eksplisit, namun secara implisit kekuasaan agama bisa dimasukkan dalam tiga kategori sekaligus. Budaya patriari, kharisma seorang anak Kiai, dan hubungan atasan dan bawahan menjadi tiga segitiga kuasa yang sangat kuat sekaligus bisa menjadi kamuflase bagi tindakan yang tidak dibenarkan agama.
Dalam konteks kasus pencabulan yang diduga dilakukan oleh anak Kiai Pondok Pesantren Shiddiqiyyah di Jombang, kita bisa melihat bagaimana pihak pelapor atau Santriwati merasa sendirian atau “sebatang kara”. Dua tahun ia menderita beban psikologis karena kasusnya tidak ada kejelasan, lalu ditambah adanya intimidasi yang sempat terjadi.
Di pihak lain, anak Kiai yang diduga melakukan hal tak senonoh nyatanya masih dianggap “suci” dan diagungkan massanya. Mereka bilang ini fitnah belaka, namun polisi sudah mengantongi bukti-bukti nyata. Mangkirnya pelaku dari panggilan polisi selama beberapa kali juga menjadi bukti nyata kalau dia mempunyai kuasa.
Saya sempat mencari informasi dari salah satu Kiai di Jombang tentang kasus ini. Beliau menjelaskan bahwa ada tiga pusat organisasi yang sama-sama besar di Jombang; NU, Siddiqiyah, dan LDII. Dalam kacamata beliau, solidaritas dan mahabbah di Siddiqiyah memang kuat. Jadi, bisa dikatakan Jombang adalah “kerajaan” tiga organisasi ini.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kepatuhan dan mahabbah atas tokoh agama, organisasi keagamaan atau kelompok apapun yang kita ikuti. Justru, sebuah kelompok (jam’iyah) harus kuat untuk mencapai tujuan dan cita-citanya. Akan tetapi, sifat manusia memang sering lupa bahwa seseorang yang kita idolakan bukanlah manusia sempurna. Ia atau mereka juga bisa salah.
Dalam tradisi pesantren di Jawa, anak Kiai atau sering dipanggil dengan panggilan “Gus” memang memiliki keistimewaan tersendiri. Dia dihormati para santri karena dianggap sebagai cerminan sekaligus penerus sang Ayah, pengasuh pondok pesantren.
Namun demikian, tingkat rasa hormat dan ta’dzim para santri kepada seorang Gus berbeda dari satu pesantren dengan pesantren lainnya, dari daerah satu dengan daerah lainnya. Meski saya belum pernah nyantri di daerah Jawa Timur, akan tetapi sepertinya kultur ta’dzim itu cukup kuat di sana.
Hemat saya, seorang tokoh agama, dalam konteks ini adalah anak Kiai, selayaknya tidak terlena dengan previlige yang didapatkannya. Kepercayaan dari santri, jamaah, dan masyarakat adalah amanah dari Tuhan yang nantinya akan dipertanggung jawabkan.
Sebagai penutup, saat dihadapkan dengan kasus yang sedang menjadi perdebatan ini, alangkah bijak jika kita serahkan kasus ini kepada pihak yang berwajib atau kepolisian. Demi menjaga moral bangsa ini, tidak ada yang boleh berlindung di balik baju agama untuk melegalkan aksi amoralnya, siapapun itu.