Kita sudah sering mendengar tentang sejumlah peristiwa pertikaian massa mengerikan yang terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Tidak hanya memakan korban jiwa, harta, dan terjadi di banyak tempat, namun pertikaian juga memiliki akar sejarah panjang.
Insiden-insiden tersebut termasuk pertikaian massa antar-komunitas atau antar-etnis seperti yang terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, Lampung, Sulawesi Tengah, hingga pertikaian massa antar-individu yang berkerumun secara temporer (seperti penonton pada pertandingan sepakbola).
Kita juga tidak boleh melupakan pertikaian massa antar-pelajar/mahasiswa di Jakarta, Makassar, Medan, dan antar-geng di Bandung, Bekasi, atau Depok, dan masih banyak lainnya, termasuk juga kekerasan atas nama agama, seperti peristiwa penyerangan massa terhadap kelompok Ahmadiyah di Banten atau kelompok Syiah di Madura.
Serangkaian pertikaian massa tersebut sebenarnya adalah bagian dari fenomena kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Hal tersebut setidaknya membuat kita bisa berargumen bahwa Indonesia adalah negara yang sering kali ditandai dengan kekerasan fisik, di samping gambaran yang selama ini sering dibangun bahwa Indonesia adalah negara yang penuh dengan kedamaian.
Ke manakah kita menelusuri kemungkinan timbulnya akar kekerasan di Indonesia?
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memecahkan permasalahan kekerasan di Indonesia yang sering terjadi. Akan tetapi, dengan setidaknya mengetahui akar kekerasan di Indonesia, pihak-pihak yang terlibat dan berwenang menangani masalah kekerasan di Indonesia mungkin bisa merenungkan kembali makna di balik fenomena kekerasan yang sering terjadi di masa lalu.
Walaupun kekerasan adalah sebuah fenomena yang terjadi di berbagai belahan dunia, ada sebuah garis tebal yang bisa dibuat untuk memulai pembicaraan tentang kekerasan di Indonesia, yaitu kebanyakan kekerasan di Indonesia terjadi karena tidak adanya ‘certainty’ (kepastian) dan penegakan hukum oleh pihak yang berwenang.
Ketika kekuatan-kekuatan asing datang ke kepulauan Indonesia, terutama Belanda, penjelajahan VOC di Malaka, Makassar, dan Banten pada dekade-dekade terakhir abad ke-17 dan juga ekspansi besar-besaran pemerintah kolonial pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 baik langsung atau tidak langsung menyebabkan masyarakat Indonesia “berkenalan” dengan kekerasan yang terstruktur.
Kelaziman kekerasan di antaranya diindikasikan oleh tindakan represif Belanda dalam mengobarkan peperangan di Hindia Belanda dan reaksi mereka dalam menangani perlawanan petani yang sering terjadi di Jawa pada abad ke-19 dan ke-20.
Jauh sebelum kekuatan-kekuatan asing datang, kekerasan yang terjadi di Indonesia mungkin muncul dari nilai-nilai dan norma-norma yang dianggap lazim oleh masyarakat Indonesia pada waktu itu. Indonesia pada masa pra-kolonial ditandai oleh maraknya perbanditan dan penanganan terhadapnya. Tumbuhnya perbanditan didorong oleh lemahnya kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia dalam memelihara keamanan dan perdamaian.
Selain itu, krisis pangan, kekeringan, banjir, dan wabah penyakit juga memperburuk keadaan. Sebagai akibat dari kegagalan-kegagalan itu, pihak berwenang yang sangat lemah berusaha untuk menyelesaikan masalah-masalah kriminal dengan kekerasan. Sebagai tambahan, Indonesia pada masa pra-kolonial juga sering ditandai oleh fenomena tradisi kekerasan seperti ‘headhunting’ (pemenggalan kepala) dan ‘running amok’ (amuk/mata-gelap).
Dua puluh tahun sesudah Indonesia merdeka, kita menyaksikan awal suatu periode yang mungkin adalah periode yang paling penuh dengan kekerasan dalam sejarah negeri ini. Orde Baru yang menggantikan Orde Lama terbentuk dari hasil kudeta dan pembunuhan yang menelan korban jiwa kurang lebih setengah hingga sejuta jiwa. Pembunuhan besar-besaran tersebut adalah hasil dari kudeta gagal yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI). Akibatnya, orang-orang yang diduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi korban pembantaian, selain tentu saja sebelumnya banyak orang juga menjadi korban pembantaian anggota PKI.
Pembantaian tersebut melicinkan jalan bagi pemerintah yang baru untuk menciptakan ‘state terrorism’ (terorisme negara), meminjam istilah Ariel Heryanto, untuk merujuk kepada kekerasan yang lazim berlangsung di masa Orde Baru atau ‘regime of fear’ (rezim ketakutan), mengambil istilah dari Henk Schulte Nordholt, untuk merujuk kepada tindakan represif pemerintah Orde Baru dalam menangani setiap bentuk protes terhadap pemerintah.
Walaupun pemerintahan yang baru tersebut bersifat otoriter, menurut Robert Cribb, mereka hanya menerapkan sedikit pengawasan terhadap penerapan hukum di lapisan bawah masyarakat. Akibatnya, tradisi vigilantisme yang kuat dapat tumbuh, di mana komunitas lokal menjadi terbiasa dengan otonomi dalam mengidentifikasi dan menghukum pelaku kriminal dengan cara main hakim sendiri.
Secara umum, akar sejarah kekerasan di Indonesia dapat ditelusuri hingga masa pra-kolonial ketika penggunaan kekerasan dilegitimasi secara sosial-budaya oleh nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, seperti dalam ‘headhunting’ dan ‘running amok’. Kekerasan yang lebih melembaga kemudian dilanggengkan oleh kekuatan-kekuatan asing Eropa—dan kemudian Jepang—ketika ekspansi kolonial menyebabkan kelaziman kekerasan.
Namun, itu tidak berarti bahwa masyarakat Indonesia pada dasarnya menyukai kekerasan. Pada masa pra-kolonial, kekerasan yang terjadi adalah hasil dari tindakan-tindakan simbolis penduduk pribumi ketika mereka mengekspresikan tindak-tanduk ritual mereka, pemulihan nama baik (vindication of honour), dan pesan yang ingin mereka sampaikan kepada orang lain.
Pada masa kolonial, kekerasan yang terjadi adalah hasil dari perjuangan untuk memperebutkan kekuasaan, akses-akses perdagangan, dan perlawanan terhadap musuh yang selalu berhubungan dengan kekerasan. Justru di masa Orde Baru, negara menerapkan ‘state terrorism’ dan ‘regime of fear’, dan mengadopsi warisan kekerasan dari kerajaan-kerajaan tradisional dan kekuatan-kekuatan asing dalam banyak kebijakan-kebijakannya.
Jika masyarakat Indonesia pada dasarnya tidak beringas dan tidak menginginkan kekerasan, lalu bagaimana kita menjelaskan fenomena kekerasan massa yang sering terjadi? Haruskah kita menyalahkan kerajaan-kerajaan tradisional, kekuatan-kekuatan asing, atau pemerintah Orde Baru karena mewariskan tradisi kekerasan di Indonesia?
Jawabannya bisa bervariasi. Yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa perubahan, kesinambungan, pengulangan, dan perkembangan tradisi kekerasan di Indonesia seharusnya dipahami sebagai hasil akumulatif dari proses historis yang panjang yang merupakan interaksi antar-elemen masyarakat.
Kita dapat menyimpulkan bahwa kekerasan mempunyai akar yang panjang di Indonesia.
Namun, walaupun kekerasan ternyata dapat ditelusuri hingga ke masa lalu, mungkin akan bijaksana jika kita tidak begitu saja menyalahkan para pendahulu kita untuk keadaan yang kita hadapi saat ini karena menyalahkan masa lalu adalah tindakan yang kontra-produktif bagi terciptanya keamanan dan perdamaian.
Sebaliknya, kita harus selalu berusaha menjaga keamanan dan perdamaian dengan di antaranya, mendukung multikulturalisme, menjauhkan diri dari radikalisme dan intoleransi keagamaan atau etnisitas, menekankan pentingnya Bhinneka Tunggal Ika, mendidik anak-anak kita tentang arti penting keamanan dan perdamaian, dan berbagi ide-ide tersebut dengan orang lain, dimulai dari keluarga, teman, dan rekan kita.
Tentunya kita berharap bahwa, walaupun kekerasan di Indonesia mempunyai akar yang panjang, maraknya kekerasan di Indonesia akan sedikit demi sedikit berkurang.