
Ada yang berpendapat bahwa membahas apakah seseorang dan kelompoknya menganut Teologi Asy’ariyah atau Atsariyah itu tidak penting. Padahal, menjernihkan dan memperjelas apakah kita ini berpemikiran Asy’ari atau Atsari itu justru penting. Agar akal dan akidah kita benar-benar sahih—atau setidaknya mendekati kesahihan.
Lalu, kapan persoalan itu akan selesai dibahas? Ya, tidak akan pernah selesai. Setiap hari Allah selalu “sibuk”: kulla yaumin huwa fī sya’n—setiap hari Dia dalam kesibukan (dengan urusan makhluk-Nya). Semakin hari akan selalu muncul kebaruan-kebaruan dalam hidup yang tidak akan pernah habis dieksplorasi oleh akal, hati, dan indera manusia.
Jadi, membahas—bahkan berdebat—soal teologi tetaplah penting. Tuhan telah menganugerahi kita akal dan lisan; maka sudah sepantasnya keduanya digunakan untuk mengeksplorasi keagungan-Nya.
Lalu, apakah Tuhan mungkin dibuktikan keberadannyaNya? Peran apa yang dimainkan oleh akal, pengetahuan, atau argumentasi dalam menegaskan atau membantah keberadaan Tuhan? Apakah iman sejati bergantung pada argumen yang masuk akal? Apakah seorang mukmin perlu memberikan pembenaran rasional atau kepercayaan terhadap Tuhan? Khazanah pemikiran Islam mencatat setidaknya terdapat tiga arus tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan ini.
Pertama, rasionalisme kuat. Arus ini menekankan agar suatu sistem kepercayaan agama dianggap sahih dan masuk akal, maka ia harus terbukti benar. Iman harus ditopang oleh penalaran dan deduksi (istidlal). Keimanan menjadi sia-sia bila tidak ditonggaki oleh akal dan argumen logis. Artinya, Tuhan yang diimani akan menjadi percuma -dan akan menjadi tidak mungkin diimani- bila akal gagal mengkonsumi-Nya. Segala perintah agama juga akan menjadi kabut bila tidak berhasil untuk didekati dengan akal. Arus ini biasa diwakili oleh mazhab berpikir Mu’tazilah.
Kedua, kepercayaan atau iman tidak memerlukan evaluasi rasional. Untuk percaya kepada Tuhan, tidak perlu ada bukti dan alasan. Tuhan itu tinggal diimani atau diterima saja. Tidak perlu bukti dan sia-sia dibuktikan. Sejarah filsafat Islam menyebut aliran ini dengan istilah fideisme. Dalam sejarah panjang umat Islam, arus ini biasa dianut oleh kalangan muslim yang memilih untuk beriman tanpa filter. Tuhan itu ada, itu tinggal diterima saja. Sebab kitab suci menyatakan demikian. Mereka memandu keimanan dengan lambaran otoritas tradisi: kitab suci dan sunnah.
Kaum sufi juga terkadang dimasukkan di dalam golongan ini. Bedanya, kaum sufi cenderung menambahkan aspek pelandasan keimanan pada “mode” kasyf atau penyingkapan ilahiah dan pengalaman-pengalaman mistis.
Ketiga, lumrahnya pertentangan antara dua arus utama, maka akan muncul arus ketiga. Di sinilah muncul arus yang disebut oleh buku karya M. Minanur Rohman ini dengan sebutan rasionalisme kritis. Arus ini berupaya untuk memadukan otoritas kitab suci atau tradisi dan penalaran akal. Bagaimana mungkin iman dapat diterima begitu saja sambil “menewaskan” akal? Bagaimana pula akal dapat menalar Tuhan sambil mematikan informasi valid tentang Tuhan yang dibabarkan-Nya melalui kitab suci? Kira-kira demikian sanggahan kubu ini. Pada titik inilah muncul berbagai mazhab teologi di dalam Islam. Dunia mengenalnya dengan sebutan Teologi Asy’ariyah dan Teologi Maturidiyah.
Pada eksplorasi Teologi Maturidiyah dapat disaksikan bagaimana akal ditempatkan bukan sebagai lawan kitab suci. Begitu pula sebaliknya. Selain itu, teologi yang dibangun oleh Abu Manshur al-Maturidi ini juga menekankan bahwa pengetahuan tentang Tuhan terutama dapat dicapai dengan jalan refleksi dan penalaran. Dengan merenungkan ciptaan, langit dan bumi, manusia, serta makhluk hidup lainnya, seseorang dapat menyimpulkan bahwa Sang Pencipta itu ada. Proses refleksi (nazhar) dan penalaran (istidlal) ini tidak selalu harus menghajatkan silogisme logis, tetapi sebaliknya, ia bisa melibatkan pengamatan tanda-tanda (ayat) Tuhan dalam ciptaan.
Lalu bagaimana argumen tentang keberadaan Tuhan dalam Teologi Asy’ariyah? Buku Argumentasi Eksistensi Tuhan dalam Teologi Asy’ariyyah hadir untuk mengajak pembaca menjelajahi dunia luas itu. Ia menyajikan pembahasan dengan cara melakukan pembabagan tematis, bukan kronologis. Sehingga para pembaca bisa menambang argumentasi keberadaan Tuhan dari Teologi Asy’ariyah yang sangat argumentatif. Tentu saja ini penambangan yang halal, sah, dan bergizi untuk potensi intelektual. Bukan penambangan ilegal yang merusak alam raya.
Tampak di bab pertama, pembaca akan dihadapkan pada babaran tentang Argumen Teleologis. Di sini M Minanur Rohman menyajikan empat perkara pembahasan: Argumen Teleologis Abu Manshur Al-Maturidi, Argumen Teleologis Fakhruddin Al-Razi, Sejarah Argumen Teleologis, dan Kritik atas Argumen Teleologis.
Di bab kedua, disajikan bahasan tentang Argumen Kosmologi. Di sini dirangkai lima tema: Argumen Kosmologis Al-Asy’ari, Argumen Kosmologis Al-Baqillani, Argumen Kosmologis Al-Ghazali, Sejarah Argumen Kosmologis, dan Kritik terhadap Argumen Kosmologi Kalam
Pada bab ketiga dipaparkan tema Argumen Ontologis yang mencakup empat pembahasan: Sejarah Argumen Ontologis, Al-Razi dan Kritik atas Argumen Ontologis Ibnu Sina, Kritik Mustafa Sabri, dan Evaluasi atas Kritik Argumen Ontologis.
Bab keempat menampilkan tema Argumen-Argumen Lain dalam Teologi Asy’ariyah yang meliputi: Argumen dari Kejahatan dalam Teologi Al-Maturidi, Argumen Al-Ghazali dari Pengalaman Keagamaan, Argumen dari Persetujuan Bersama dalam Teologi Ar-Razi, dan Argumen Taruhan Ar-Razi. Bab akhir, Bab V, dibabarkan karakter argumen Eksistensi Tuhan dalam Teologi Asy’ariyah.
Salah-satu uraian paling menarik dari buku ini adalah bahwa ia mengajak kita untuk mencermati kritik Teologi Asy’ariyah pada argumen ontologis Tuhan. Lalu ia menunjukkan bahwa kritik Asy’ariah itu ternyata menjadi konsumsi penting filsafat Barat untuk membantah argumen ontologis keberadaan Tuhan yang ganjil. Para filsuf masyhur seperti Immanuel Kant, Schopenhauer, Bertrand Russel, ternyata menjadi bagian penting dari mata-rantai “para pengkonsumsi argumen Asy’ariyah” ketika mereka juga mengkritik argumen ontologis atas keberadaan Tuhan.
Selamat membaca! Semoga berkah! Wallahu a’lam.