
Catatan Kontributor Alif.id, Wella Sherlita, dari Kyiv, Ukraina.
Khrystyna Shkudor dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PR Army, telah 30 menit menantikan kami di terminal bus kota Kyiv. Saya bersama tiga rekan, seorang dari Bisnis Indonesia dan dua orang dari Narasi TV, juga ingin segera menemuinya. Sabar, sedikit lagi.
Melalui pesan singkat, Khrystyna bertanya, “Kalian sudah sampai di mana?”
Saya balas, “Sudah dekat. Sekitar satu jam lagi jika sesuai jadwal”.
“Apakah sudah melewati (kota) Zhytomyr?” tanyanya lagi, untuk mengira-kira jarak dan waktu tiba.
Saya tak membalas lagi. Pikiran saya penuh. Ini bukan sekadar perjalanan pertama saya ke Ukraina, tetapi bahkan pertama kali ke wilayah perang. Meski area pertempuran tidak di ibu kota, namun kabar-kabar seputar tembakan atau pecahan rudal, serta serangan roket dan pesawat nirawak (drone) di langit-langit kota, semua tak dapat dihindari. Pikiran saya penuh dengan berbagai dugaan dan asumsi.
Ketegangan di Kota Tua Kyiv
Kyiv berusia 1.543 tahun pada 2025, satu kota tertua di Eropa Timur. Namun sejak invasi Rusia, banyak warga tak lagi peduli dengan perayaan ulang tahun kota mereka. Apalagi jam malam masih berlaku. Banyak tokoh besar tutup sebelum jam 22:00 waktu setempat, terkecuali toko-toko kelontong kecil di sudut-sudut jalan yang menjual makanan dan minuman siap saji atau makanan kemasan.
Wanita penjaga toko kecil itu sigap melayani kami, dengan kendala bahasa Inggris di sana sini. Toh dengan keramahan dan senyum yang bersahabat, dia tetap berusaha merespon agar kami bisa saling mengerti maksud masing-masing.

Makanan-makanan kecil berguna saat seruan untuk berlindung di shelter (rumah perlindungan) bergaung. Durasinya bervariasi, mulai dari satu hingga tujuh jam. Di hotel tempat kami menginap, pihak keamanan telah menyiapkan jalur menuju shelter yang mudah diingat.
Tak perlu khawatir susah sinyal ponsel dan internet karena semua telah terkoneksi. Ini sebuah upaya yang patut diapresiasi. Bangku-bangku dan sofa; selimut; dispenser berisi air panas dan dingin; serta gelas-gelas karton lengkap dengan teh kantong dalam berbagai pilihan rasa; tersedia di dalamnya.
Malam itu, Senin 25 Mei 2025. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Saat pengumuman serangan drone di kota Kyiv muncul di layar ponsel, bergegas saya keluar menuju shelter. Tak perlu panik, namun tetap gerak cepat. Sesampai di sana, sudah sekitar 10 orang berkumpul. Mereka bercakap dalam berbagai bahasa.
Ada yang membawa bantal dan langsung ambil posisi tidur. Ada juga yang membawa laptop dan meneruskan pekerjaan di dalam shelter. Sisanya –termasuk saya, duduk terkantuk-kantuk menunggu serangan udara selesai.
Selembar selimut membungkus tubuh dan ponsel di dalam genggaman saya lirik setiap 10 menit untuk mengecek kondisi terkini.
Satu jam kemudian saya menyerah. Tak kuasa menahan kantuk dan kembali ke kamar. Selasa pagi, peringatan serangan udara telah dicabut, terkecuali di wilayah-wilayah garis depan pertempuran seperti Kharkiv, Kherson, Zaporizhzhia, Donetsk, dan beberapa lainnya.
Warga Gotong-Royong Bersihkan Puing
Pada Senin pagi (25/5/2025), Khrystyna mengajak kami ke lokasi ledakan hotel Lykjanivka, sebuah hotel tua di kawasan bisnis, yang terletak di jalan yang namanya sama dengan nama hotel. Tak seluruh bangunan hancur, namun kerusakan di bagian depan cukup parah. Sementara gedung di seberang hotel adalah bangunan sebuah akademi yang juga ikut terkena serangan drone.
Sekumpulan warga masih berada di lokasi, termasuk beberapa tenaga medis dan para pekerja. Mereka sibuk mengangkut sisa-sisa reruntuhan. Dua relawan remaja, Max dan Asja, ikut serta dalam kegiatan ini. Mereka berdua studi di kampus yang sama, yang ikut terkena pecahan roket.

“Saat serangan drone terjadi, kami masuk ke dalam shelter. Peristiwa itu terjadi pada malam hari dan gedung kampus kami ikut terkena,” ungkap Max dan Asja, dua mahasiswa berusia 18 tahun. Mereka belajar teknik membuat pola dan menjahit pakaian.
“Saya benci (Presiden) Putin. Aku harap dia dan negaranya terkubur, karena Putin sudah membunuh banyak warga Ukraina. Aku berharap nasib buruk menimpanya,” ujar Asja dengan nada marah. Saya hanya tersenyum kecut dan membatin, begitulah perang, tidak hanya menumbuhkan kesedihan namun juga kebencian.
Kepada Alif, Max berharap generasinya tidak lagi merasakan perang seperti sekarang. Ia mengaku bersyukur masih hidup. Salah seorang paman dan kakak laki-lakinya kini ikut bertempur di garis depan. Masa-masa awal perang Rusia sungguh membuatnya trauma.

“Di shelter kami tak bisa tidur nyenyak dan tak pernah tahu bagaimana nasib kami di pagi hari, apakah masih hidup atau tidak. Ini berdampak sangat besar bagi hidupku,” kata Max.
Ia sepenuhnya paham dengan perjuangan para tentara dan warga sipil yang terpaksa ikut bertempur di area terdepan perbatasan Rusia.
“Saya mengucapkan terima kasih yang tulus dan besar kepada para tentara yang telah melindungi kami dan tidak seharusnya orang-orang di dunia merasakan hal yang sama seperti kami,” tau aja Max.
Dalam beberapa bulan terakhir, rintisan dialog damai setidaknya telah digagas sejumlah pihak, seperti Turki dan Amerika Serikat. Namun, tidak satu pun dari pertemuan itu dihadiri oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Maka, sebesar apapun harapan masyarakat Ukraina akan penghentian perang, tanpa itikad kuat dari para pemain kunci di Ukraina dan Rusia, semua tak akan terjadi. Peringatan akan serangan udara akan terus berbunyi, dan selamanya rakyat Ukraina akan tidur tak nyenyak di dalam shelter. (Bersambung)