Sedang Membaca
Menimbang Hifdzul Bi’ah dalam Maqosid Al-Syari’ah (1)
Wildan Fatoni Yusuf
Penulis Kolom

Santri Ma'had Aly Lirboyo. Juaran Tiga Lomba Esais Muda Pesantren.

Menimbang Hifdzul Bi’ah dalam Maqosid Al-Syari’ah (1)

Musyawarah Pesantren

Term maqoshid al syari’ah (tujuan-tujuan pensyariatan) juga maslahah-mafsadah menjadi pembahasan yang banyak dikaji oleh para sarjana fikih. Oleh sebagian kalangan, wacana maqosid dianggap dapat menengahi kesenjangan antara hukum islam dan tantangan global serta stagnasi ushul fikih yang dianggap tak berdaya ketika berhadapan dengan isu-isu global[1]. Sebagian yang lain berpendapat sebaliknya, metode penetapan hukum dengan pendekatan maqosid al-syariah dianggap terlalu rawan dilakukan secara bebas dengan dampak akan meninggalkan nash.

Terma ini juga menjadi perhatian kalangan penggagas fikih lingkungan. Memandang Salah satu pembahasan dalam kajian maqosid adalah al dloruriyat (komponen primer), yang menjadi pertimbangan dalam mencetuskan semua hukum. Oleh karena itu, memandang krisis lingkungan yang semakin parah sebagian kalangan menawarkan rekonstruksi dloruriyat al khoms (lima komponen primer)[2], dengan memasukan hifdzul bi’ah (menjaga lingkungan).

Apa itu Maqosid al-Syari’ah

Maqoshid al syari’ah, maqashid al-syar’iyyah dan maqashid al-syari’ merupakan tiga kata dengan pengertian yang sama. Secara etimologi dapat diartikan dengan tujuan syariat. Namun definisi kata-kata tersebut tidak pernah ditemukan dalam literatur salaf, meskipun kajiannya telah dibahas berabad-abad lalu[3].

Pendefinisian maqoshid al syari’ah baru muncul pada era akademisi fikih kontemporer. Salah satunya definisi yang diberikan oleh Dr. Thahir bin ‘Asyur (w. 1973 M.) :

المَعَانِي وَالحِكَامُ المَلْحُوْظَةُ لِلشَّارِعِ فِي جَمِيْعِ أَحْوَالِ التَّشْرِيْعِ أَوْ مُعْظَمِهَا بِحَيْثُ لَاتَخْتَصُ مُلَاحَظَتُهَا بِالْكَوْنِ فِي نَوْعٍ خَاصٍ مِنْ أَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ

Beberapa tujuan dan hikmah yang dijadikan pijakan syari’at dalam seluruh ketentuan hukum agama atau mayoritasnya. Dengan sekira beberapa tujuan tersebut tidak hanya berlaku untuk satu produk hukum syariat secara khusus”[4]

Dr. Allal Al-Fasi (w. 1974 M.) menyuguhkan definisi yang lebih ringkas, yakni “maqoshid al syari’ah adalah tujuan (umum) dari pemberlakuan syariat dan beberapa rahasia (khusus) yang terkandung dalam setiap produk hukumnya”[5]

Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa maqoshid al syari’ah Adalah tujuan pencetusan hukum syariat dalam rangka memberi kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat kelak.[6]

Baca juga:  Kekuatan Fikih dalam Mengubah Gaya Hidup Masyarakat

Pada dasarnya segala sesuatu dalam syariat islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah terjadinya mafsadah (bahaya/kerusakan). Lantas apa standar dari maslahah dan mafsadah tersebut?

Al-Ghazali (w. 1111 M.) mendefinisikan maslahat dan mafsadah sebagai berikut. “Setiap hal yang esensinya menjaga maqoshid al syari’ah disebut maslahat, begitu pula sebaliknya, segala sesuatu yang esensinya bertentangan dengan maqoshid al-syari’ah adalah mafsadah”[7]. Oleh karena itu segala rumusan hukum harus mengandung maslahat dan menghindari mafsadah. Dalam arti lain, segala hukum, substansinya harus dirumuskan untuk memenuhi maqoshid al syari’ah.

Klasifkasi Maqosid al-syari’ah

Maqoshid al-Syari’ah terklasifikasikan menjadi 3 jenis, dlaruriyat (primer), hajiyaat (sekunder) dan tahsiniyyat (tersier)[8]. Sejarah mencatat Imam Al-Ghozali adalah orang pertama yang mesistemasi maqosid menjadi tiga jenis ini.

  1. Dlaruriyat ( Primer)

Dlaruriyyat adalah tujuan/komponen yang eksistensinya tidak bisa tidak harus ada dan dijaga dalam segala kondisi, kapanpun dan dimanapun. Apabila tidak terwujud maka akan menyebabkan terbengkalainya kemaslahatan manusia di dunia maupu akhirat.

Terdapat lima komponen dalam dlaruriyat. Kelima hal itu adalah hifdzu al-dien (menjaga agama), hifdzu al-nafsi (menjaga nyawa), hifdzu al-nasli (menjaga keturunan), hifdzu al-‘aqli (menjaga akal), dan hifdzu al-maal (menjaga harta).

dari komponen-komponen ini syari’at menetapkan hukuman berat bagi seorang yang keluar dari keimanan, hukuman qishas dalam kasus pembunuhan, diharamkannya zina,  meminum khamr, serta diharamkanya pencurian dll.

  1. Hajjiyat (sekunder)
Baca juga:  Fikih Lingkungan (4): Pencemaran Udara dalam Perspektif Fikih

Hajjiyat (sekunder) ialah kebutuhan manusia yang bila tidak terpenuhi, tidak akan menyebabkan kematian, kepunahan maupun terbengkalainya kemaslahatan manusia secara totalitas. Namun akan membuat kondisi manusia dalam taraf masyaqoh ( kondisi berat dan serba kesulitan).

Seperti penyariatan jual beli ataupun akad mudlarabah (investasi). secara asal, manusia masih bisa hidup tanpa hal ini. Namun terkadang, seseorang memiliki modal usaha tapi tidak dapat mengelola modalnya tersebut guna mendapatkan keuntungan. Maka islam mensyariatkan akad tersebut.

  1. Tahsiniyat (tersier)

Tahsiniyat adalah hal-hal yang dianggap baik secara keumuman manusia. Sekira jika hal tersebut tidak terpenuhi tidak akan membuat hilangnya kemaslahatan manusia maupun mengalami masyaqah, namun hanya akan dirasa kurang layak oleh pandangan umum.

Posisi Kajian Maqosid dalam lingkungan Bahtsul Masail

Dalam lingkungan bahtsul masail setidaknya posisi kajian maqosid syariyah atapun konsep maslahah mafsadah terletak pada proses istimbath al-hukmi atau pada proses taqrir jama’i.

Ketika pembahasan mnerapkan metode manhaji, Proses istimbath al-hukmi (penggalian hukum) akan bersinggungan dengan  maqosid al-syari’ah jika menggunakan konsep qiyas (analogi), maslahah mursalah ataupun istihsan.

Sedang  yang dimaksud dengan taqrir jama’i, ialah pembahasan secara kolektif untuk memilih pendapat yang paling unggul ketika terjadi pertentangan dua dalil fikih atau memilih/mengunggulkan qoul (pendapat) yang lebih maslahat dan lebih kuat dalilnya. Hal ini terjadi ketika terjadi ta’arudl baina aqwalil fuqaha ( pertentangan pendapat diantara para akademisi fikih)[9]. Praktek ini biasanya terjadi pada saat proses perumusan dan pentashihan hasil pembahasan.

Baca juga:  Menafsir Kematian (1): Dzikr al-Maut Sebagai Kritik Hedonisme

Dalam pembahasan bahtsul masail, setelah dilakukan adu referensi, data, maupun argumen yang panjang, sering dijumpai pertentangan pendapat antara fuqoha’ (pakar fikih). Dalam kasus seperti ini, para mubahitsin[10] akan memilih pendapat yang paling maslahat untuk diterapkan di masyarakat, yakni dengan mengambil qoul yang selaras dengan maqosid al-syari’ah. Namun demikian, proses pemilihan qoul tersebut tetap mengambil maslahah yang mendapat legalitas dari dalil nash (al maslahah al mu’tabarah) dan bukan maslahah yang diabaikan (al-maslahah al-mulgha).

[1] Kholid Hidayatullah, “Madzhab Ulama dalam Memahami Maqashid Syari’ah”, Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam Ulul Albab, Vol. 1, No. 1, Oktober 2017, Hal. 2

[2] Pendapat lain mengatakan dloruriyat al siit/ kulliyat al-siit ( enam komponen primer )

[3] Tim FKI Ahla Shuffah 103, Tafsir Maqoshidi, Kajian Tematik Maqashid Al-Syari’ah, (Kediri : Lirboyo press 2013)

[4] Muhammad Al Thahir bin ’Asyur,  Maqoshid Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, Juz 3 hal. 165

[5] Allal al-Fassi, Maqoshid Al-Syari’ah Wa Makarimuha hal. 7

[6] Tim FKI Ahla Shuffah 103, Tafsir Maqoshidi, Kajian Tematik Maqashid Al-Syari’ah, (Kediri : Lirboyo press 2013)

[7] Muhammad bin Muhammad al-ghazali, Al Mustashfa, hal. 174 ( Beirut : Dar Al Kutub Al-Ilmiyah 1991)

[8] Ibid

[9] Hasil-Hasil Munas Alim ulama Konbes Nu 2017, LTN PBNU

[10] Peserta bahtsul masail

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top