Sedang Membaca
Santri Belajar Metodologi dan Ilmu Sosial

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI tahun 2020-2024. Sekarang diamanahi sebagai Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, Kemenag RI.

Santri Belajar Metodologi dan Ilmu Sosial

Waryono

Keluasan pengetahuan alumni-alumni pondok pesantren dalam kitab kuning tidak ada yang meragukan. Mereka memang ditempa untuk menjadi orang yang memiliki kecakapan dalam ilmu agama (tafaqquh fiddin). Karena itu, para santri belajar hampir seluruh disiplin ilmu keislaman secara berjenjang, dari yang paling dasar hinga yang kompleks dan sulit. Meski demikian, bukan berarti tidak ada sebuah celah atau ruang kosong untuk menjadi saran bagi pengelola pondok pesantren.

Memang kurikulum dalam lembaga pendidikan Muadalah bersifat independen. Akan tetapi, bukan berarti menutup rapat-rapat saran dan masukan yang konstruktif bagi perkembangan lembaga. Hemat saya, salah satu hal yang penting untuk dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di pondok pesantren adalah mata pelajaran metodologi. Yang dimaksud metodologi di sini adalah alat atau pisau bedah. Sebab, secara materi, kajian-kajian yang diajarkan dan dipelajari di pondok pesantren sudah sangat kaya. Namun, dari aspek alat bacanya (metodologi), masih sangat jarang -untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Jika pun ada santri yang belajar ilmu ini, hampir dipastikan belajar secara mandiri (otodidak).

Pelajaran metodologi ini penting diajarkan kepada para santri. Sebab, memahami metodologi dengan berbagai ragamnya  terutama dalam ilmu-ilmu sosial humaniora, para santri diharapkan mampu mengolah kekayaan pengetahuannya terhadap kitab-kitab turats itu. Misalnya, metodologi sejarah. Dengan mempelajari ilmu ini, para santri diharapkan mampu mehamami bagaimana melakukan penelitian sejarah dengan sumber kitab-kitab sejarah yang ditulis oleh Imam al-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk-nya.

Baca juga:  Membangun Peradaban Tanpa Uang 

Karena pondok pesantren sangat erat kaitannya dengan fikih, mungkin perlu juga mempertimbangkan bagaimana ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi, antropologi, dan lain sebagainya diajarkan atau sekurangnya diperkenalkan kepada para santri. Hal ini penting mengingat bagaimana para santri bergelut dengan khazanah keilmuan klasik yang harus dipaksa untuk terus relevan dengan perkembangan zamannya.

Kita tentu ingat tawaran dari gagasan Fikih Sosialnya Almaghfurlah KH. Sahal Mahfudz. Beliau adalah seorang ahli fikih dan usul fikih yang menjadikan realitas sosial sebagai salah satu acuan utama dalam merumuskan dan memutuskan hukum. Pandangan-pandangan beliau kerap mengundang diskusi atau bahkan polemik di kalangan para santri. Salah satunya adalah beliau misalnya pernah berpendapat melegalkan lokalisasi.

Kiai Sahal juga mengingatkan kepada para santri agar tidak terpaku dengan istilah-istilah yang digunakan oleh para ulama di dalam kitab kuning. Misalnya istilah pendapat yang muktamad (yang layak diikuti) yang tertuang dalam sebuah teks kitab fikih harus dilihat dan dibaca secara kritis. Pendapat yang dianggap muktamad tersebut apakah masih menemukan relevansinya dengan konteks kekinian kita hari ini? Sebab, bisa jadi pendapat yang sebelumnya dianggap lemah (daif), dalam konteks hari ini justru terlihat lebih kuat karena misalnya lebih maslahat dibanding pendapat yang sebelumnya kuat.

Baca juga:  Diplomasi Cinta dalam Cerita Panji

Untuk dapat mengetahui hal-hal tersebut di atas, para santri harus terbiasa dengan mempelajari ilmu-ilmu sosial. Meski sulit untuk mencari tahu apakah Kiai Sahal benar-benar pernah belajar ilmu-ilmu sosial secara tekun atau hanya sekilas. Tapi, yang pasti adalah bahwa pendapat-pendapat beliau mencerminkannya sebagai seorang ahli fikih yang memiliki wawasan dan pengetahuan atas ilmu-ilmu sosial.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top