Avatar
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Negeri Jakarta, Jurusan Pendidikan Sejarah. Penulis lepas.

Gus Dur: Politik Nilai dan Praksisnya

Whatsapp Image 2020 07 17 At 10.06.16 Pm

Mayoritas penduduk Indonesia saat ini meyakini bahwa politik adalah barang yang kotor dan menjijikan. Musababnya, praktik politik Indonesia—dan mungkin juga dunia— sarat akan transaksi dan kerap menghalalkan segala cara untuk mewujudkan hasrat berkuasa. Konsekuensi logisnya, penguasa akan berupaya untuk mengembalikan modalnya dan para kolasisinya. Sementara rakyat akan terus-menerus ditinggal.

Maka tak pelak, hal itu memunculkan beberapa pertanyaan. Apakah politik di Indonesia itu selalu kejam? Tidak adakah preseden baik yang berhasil mewujudkan politik kepada fitrahnya, yaitu alat untuk menyejahterakan Rakyat, dengan R besar? Tak bisakah nilai-nilai luhur atau ideal dalam politik dipraksiskan dalam dunia nyata?

Jawabannya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mempraktikkan nilai-nilai politik sebagai landasan perjuangan. Tak hanya itu, ia juga tak pernah mau untuk mengompromikan hal-hal yang dianggap prinsipil dalam politik; seperti menukar kasus hukum, mengkhianati konstitusi dengan hanya bertindak sebagai kepala negara, dan melanggengkan kekuasaan dengan mengakomodasi kepentingan satu pihak.

Pemikiran dan sikap Gus Dur politik Gus Dur tentu tak datang begitu saja, tetapi membutuhkan proses yang cukup panjang. Singkatnya, hal itu bisa dilihat dari awal 1980-an. Gus Dur yang baru terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar Situbondo 1984 menghadapi tekanan besar dari pemerintahan Soeharto.

Umat Islam—terutama warga Nahdliyin— kala itu selalu mendapat tekanan dan acap kali dikambinghitamkan jika ada suatu masalah kenegaraan, dipaksa untuk menerima penerapan Asas Tunggal Pancasila. Hampir seluruh tokoh umat Islam kala itu menolak, pertimbangannya UU terus merupakan pemaksaan dan akan semakin menindas umat Islam.

Gus Dur justru sebaliknya, ia dan PBNU merupakan pihak pertama yang menerima gagasan Soeharto tersebut. Kendati Gus Dur mengetahui tujuan Soeharto menerapkan asas tunggal tak lain untuk menundukkan beragam kekuatan yang berpotensi menganggu kekuasaannya, Gus Dur justru berpikir asas tunggal bisa dilihat sebagai jaminan agar warga NU dapat beraktivitas dengan tenang tanpa adanya tuduhan macam-macam dari Soeharto. Mengenai rasionalisasi argumennya untuk warga NU dan Soeharto bisa dicari kemudian (Virdika Rizky Utama: 2018). Selanjutnya, seluruh organisasi Islam mengikuti apa yang sudah dilakukan oleh Gus Dur dengan merima asas tunggal.

Baca juga:  Ilmuwan Besar dalam Dunia Islam (10): Al-Mas'udi, Sejarawan dan Ahli Geografi

Namun, angin politik berubah drastic menjelang 1990. Soeharto mulai meragukan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai salah satu penopang kekuasaannya— selain Birokrasi dan Golkar. Pada saat itu,  Panglima ABRI Benny Murdani disinyalir akan melakukan kudeta kepada Soeharto. Oleh sebab itu, Soeharto memerlukan kekuatan politik lain yang bisa menggantikan ABRI. Pilihan jatuh pada kekuatan Islam. Lantas, Soeharto merestui berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan B.J Habibie sebagai presidumnya (Robert Hefner: 2000).

Kali ini situasinya berubah 100 persen. Hampir seluruh organisasi Islam—terutama Islam politik— menerima dan menyambut ICMI. Hanya Gus Dur yang menolak dengan tegas berdirinya ICMI. Menurut Gus Dur, berdirinya ICMI akan menstimulasi sektarianisme dan eksklusivisme. Konsekuensinya tentu berbahaya bagi Indonesia yang sudah telanjur lahir heterogen (Abdurrahman Wahid: 2007).

Gus Dur sebagai manusia politik memerlukan wadah untuk menyuarakan pendapatnya dan sebagai intelektual membentuk perimbangan dalam hal wacana dan politik. Maka bersama 50 intelektual yang terdiri dari berbagai macam latar belakang dibentuklah Forum Demokrasi (Fordem) pada Maret 1991 melalui pertemuan dan menghasilkan Mufakat Cibereum 1991. Selain itu, beberapa orang di Fordem menyatakan bahwa didirikannya Fordem untuk menyiapkan Gus Dur sebagai presiden alternatif, bila suatu saat ada pemilu yang adil  (Virdika Rizky Utama: 2018).

Baca juga:  Idola Itu Bernama Rudy

Kenapa Gus Dur tak memanfaatkan NU saja dan malah membentuk Fordem? Sebab, NU pada muktamar 1984 menegaskan Kembali ke kehittah 1926 yang menyebut bahwa NU bukan organisasi politik, melainkan organisasi yang berfokus pada penguatan kegiatan sosial dan pendidikan.

Sementara itu di dalam Fordem terjadi simbiosis mutualisme. Gus Dur memerlukan wadah yang didukung oleh para intelektual senior, karena tak bisa dan tak boleh menafaatkan NU. Di sisi lain para intelektual tersebut memerlukan Gus Dur untuk bisa menjamin keberlangsungan forum ini—karena Gus Dur Ketua PBNU dan memiliki massa yang sangat banyak— tanpa perlu khawatir dibuabrakan atau di-Petisi 50-kan.

Menariknya mengenai pemosisian Gus Dur antara NU dan Fordem dalam konteks memperjuangkan demokrasi terjadi Ketika Muktamar Cipasung 1994 terjadi. Sebelum muktamar terjadi, Soeharto tidak senang apabila Gus Dur Kembali menjadi Ketum PBNU. Oleh sebab itu, Soeharto menempatkan Abu Hasan sebagai calon Ketum PBNU tandingan wakil dari pemerintah. 

Semua orang mengetahui hal itu, termasuk Gus Dur. Kepada wartawan, Gus Dur mengatakan, “Apabila disuruh memilih antara menjadi Ketum PBNU dan Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Fordem, mska Gus Dur memilih menjadi Ketua Pokja Fordem.” (Daniel Dhakkidae: 2015). Dengan pernyataan tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa Gus Dur dan Fordem sudah secara terbuka menentang Soeharto.

Meski pada mulanya, Fordem merupakan antitesis dari ICMI dengan banyak menulis tentang bahaya saektarianisme. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu Fordem menyoroti bahwa sektarianisme hadir akibat adanya sistem kekuasaan tunggal dan oleh sebab itu diperlukan sebuah suksesi kepemimpinan.

Hingga reformasi terjadi, Gus Dur merasa cita-cita Fordem sudah terwujud; mendorong adanya situasi terbuka dan demokratis. Sebagai mausia politik ,Gus Dur sudah tak memerlukan Fordem lagi dan mundur sebagai Ketua Pokja Fordem. Oleh sebab itu, ia lebih memilih mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa. Dengan alasan, kalau NU tidak diurus dengan benar, maka khawatir ada pihak-pihak yang hanya menanfaatkan NU (Greg Barton: 2002).

Baca juga:  Hijrah di Jalan Gus Dur

Dengan segala dinamika yang terjadi, Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI melalui kekuatan poros tengah yang tak lain kelompok Islam politiknya ICMI. Kenapa Gus Dur menrima rencana dan dukungan mereka? Karena Gus Dur melihat ini sebagai sebuah kesempatan untuk mewujudkan ide-idennya tentang demokrasi, pluralitas, supremasi hukum, dan sipil. Sedangkan poros tengah berharap, Gus Dur dapat diatur dan dapat memuluskan rencana-rencana Islam politik dan oligarki, karena Gus Dur memiliki keterbatasan fisik.

Sayangnya harapan poros tengah tak terjadi. Maka mereka menggalang kekuatan bersama tiga kelompok lainnya; barisan sakit hati (PDIP), kekuatan politik lama (Golkar) dan tentara untuk melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenannya (Virdika Rizky Utama: 2019).

Dari apa yang dilakukan Gus Dur dalam konteks jalan politiknya memperjuangkan demokrasi, dapat dikatakan bahwa Gus Dur menjalankan perannya sebagai intelektual organik. Keilmuannya tak hanya berhenti untuk pemenuhan kehidupan pribadinya, tapi justru membumikan keilmuannya dan melakukan proses penyadaran terhadap massa rakyat untuk ikut berjuang. Arnold Toynbee mengatakan, orang atau intelektual yang semacam ini merupakan orang yang dilahirkan untuk menderita. Sebab ia adalah anggota dua dunia, bukan satu; ia adalah “orang marjinal” (Clifford Greetz: 2017).

Selanjutnya, ketika mendapatkan kekuasaan, Gus Dur justru tak terpengaruhi oleh kompromi-kompromi yang biasa dan bisa melunturkan nilai-nilai politik yang ia sudah perjuangkan. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top