Dalam catatan yang lalu saya mengemukakan proses terbentuknya pengetahuan dan pengertian pada diri kita melalui apa yang saya sebut sebagai “ngelmu syahadat”. Dalam model ini saya menekankan petingnya momen negatif sebagai tahap amat penting dalam proses lahirnya “pengertian baru” dalam diri seseorang. Dalam perspektif “ngelmu syahadat”, tekanan memang saya berikan dalam proporsi besar kepada momen negatif ini; kepada pengalaman traumatik dalam hidup seseorang.
Meskipun ini jelas bukan hal yang baru, tetapi belum banyak yang menyadari pentingnya peran yang dimainkan oleh pengalaman negatif dalam proses lahirnya pengetahuan. Kebaruan dalam model yang saya ajukan ini mungkin terletak dalam “tekanan” ini. Meskipun pengalaman negatif bisa saja berwatak destruktif, terutama jika mencapai skala yang di luar kemampuan seseorang untuk menanggungnya (saya menyebutnya “ pengalaman liminal”), tetapi saya lebih cenderung menekankan aspek produktif dari momen negatif ini. Dalam dua aspek inilah (aspek tekanan dan produktivitas) saya mengkleim bahwa model yang saya tawarkan ini mengandung kebaruan.
Dalam catatan ini, saya mau memperjelas lebih jauh model epistemologi atau jalan pengetahuan yang saya tawarkan ini.
Saya akan menggunakan sebuah hadis terkenal riwayat Abu Hurairah, hadis yang selalu kita dengar setiap bulan puasa, sebagai titik berangkat. “Bagi seorang yang berpuasa ada dua kebahagiaan (farhatani): kebahagiaan saat berbuka, dan kebahagiaan saat berjumpa dengan Tuhan kelak,” demikian sabda Kanjeng Nabi Muhammad saw. Saya akan menjadikan hadis yang populer ini secara konstruktif sebagai “a framing lens”, kaca-mata yang mengerangkakan cara untuk melihat model-model munculnya pengetahuan sebagaimana saya konsepsikan.
Hadis ini, bagi saya, membukakan sebuah pemahaman “spiritual” (tetapi juga intelektual) yang amat penting. Di sana, kita bisa melihat dua jenis tindakan makan, yakni makan pada hari-hari biasa, dan makan dalam situasi khusus, yaitu makan yang dilakukan setelah mengalami “momen negatif” — lapar selama sehari penuh. Tak bisa disangkal, makan pada hari-hari biasa tentu menyebabkan rasa nyaman dan kenikmatan. Tetapi makan yang sungguh-sungguh melahirkan “pengalaman kebahagiaan” yang khas ialah makan yang dilakukan dalam situasi yang khusus — makan setelah masa puasa. Di sanalah seseorang berjumpa dengan “farhah”, “joy”, kegembiraan. Hadis ini mengatakan hal penting: tindakan yang menghasilkan kebahagiaan yang mendalam biasanya terjadi setelah seseorang mengalami masa-masa yang sulit.
Dengan kata lain, tindakan makan yang membahagiakan adalah yang terjadi di ujung momen negatif — dalam hal ini: puasa. Pengalaman menahan diri tidak makan selama sehari penuh adalah momen negatif yang tentu menimbulkan rasa tak nyaman. Ketika momen negatif ini dipungkasi dengan “momen isbat”, momen positif (yaitu berbuka), kebahagiaan yang “genuine” segera muncul. Kebahagiaan semacam ini lahir persis pada pertemuan antara momen negatif dan momen positif — momen buka puasa.
Kita bisa men-ta‘mim, menggeneralisasikan perspektif ini dalam konteks yang lebih luas, dengan mengatakan bahwa apa yang disebut “Tindakan” (ditulis dengan “t” besar untuk menekankan aspek kekhususannya dan “kesakralan”-nya) adalah setiap tindakan yang dilakukan pada titik pertemuan antara momen negatif dan momen positif. Jika diletakkan dalam konteks hadis puasa di atas, kita bisa mengatakan: Makan yang membahagiakan terjadi pada waktu yang amat spesial, yaitu tenggelamnya matahari, ketika waktu asar berakhir, dan maghrib bermula. Sementara tindakan makan sehari-hari bukanlah tindakan “makan spesial”, melainkan “tindakan banal” yang lazim kita lakukan sehari-hari..
Jika hal ini dihubungkan dengan syahadat Islam, kita bisa merumuskannya demikian: bahwa momen penting yang menimbulkan kebahagiaan dalam hidup biasanya berlangsung pada titik pertemuan antara momen nafi yang diwakili oleh kata “la-ilaha” dan momen isbat yang diungkapkan dalam kata: illa-Lah. Dalam setiap faset kehidupan yang dialami oleh seseorang, momen pertemuan ini sangat krusial. Titik pertemuan inilah yang biasanya mengubah banyak hal. Di sanalah pengetahuan dan pemahaman baru biasanya muncul, mengubah konstelasi dan lanskap peristiwa; “game changing”.
Kerangka “kebahagiaan-saat-buka-puasa” ini, sebetulnya, bisa kita pakai untuk melihat model-model pengetahuan pada umumnya. Saya hendak menggolongkan pengetahuan ke dalam dua model: “pengetahuan ordiner” dan “pengetahuan supra-ordiner.” Pengetahuan ordiner bisa kita setarakan dengan tindakan makan yang kita lakukan setiap saat; tindakan makan yang tidak didahului oleh momen negatif berupa puasa. Makan semacam ini memang bisa melahirkan “pengalaman” membahagiakan pada orang-orang yang melakukannya, tetapi kadar dan intensitas kebahagiaan di sana cenderung dangkal. Pengetahuan ordiner bisa kita setarakan dengan keadaan yang demikian itu. Ia bisa menimbulkan rasa puas pada diri orang yang memperoleh pengetahuan semacam ini. Tetapi kepuasan itu bersifat sementara saja, “transient”.
Contoh sederhana pengetahuan ordiner adalah jenis pengetahuan yang kita peroleh saat membaca lembaran koran di waktu pagi (ini adalah “kebiasaan romantik” dari generasi saya yang sekarang sudah nyaris punah!). Kita, saat membaca koran pagi, tentu akan mendapatkan informasi tertentu. Tetapi, sebagaimana tindakan makan sehari-hari, ia hanyalah pengetahuan ordiner, pengetahuan biasa-biasa saja, yang tidak mendatangkan kebahagiaan atau pengaruh yang mendalam. Berita-berita yang kita baca di koran itu bukanlah bagian dari pengetahuan yang masuk dalam skema “ngelmu syahadat” yang saya bicarakan di sini.
Pengetahuan yang kita peroleh saat membaca buku yang berkaitan dengan dimensi-dimensi teknis dalam kehidupan sehari-hari, –misalnya: bagaimana mengoperasikan komputer, bagaimana “mbeneri” mesin yang rusak,– juga bisa kita golongkan dalam pengetahuan ordiner. Ia, tentu saja, akan menimbulkan rasa puas pada orang-orang yang menguasainya, tetapi kepuasan-biasa-biasa-saja yang sejenis dengan yang kita alami pada saat makan sehari-hari; bukan kebahagiaan yang diperoleh pada momen makan-buka-puasa. Pengetahuan teknis umumnya tidak memiliki “daya transformatif”, mengubah arah hidup seseorang. Dia bukanlah pengetahuan yang menimbulkan efek “game changing”, sebab ia bukanlah pengetahuan yang didahului oleh momen negatif yang intens.
Sementara itu, pengetahuan supra-ordiner lahir dalam situasi-situasi khusus ketika seseorang usai menjalani dan mengalami momen negatif dalam waktu yang lama. Pengetahuan seperti ini biasanya dialami oleh para sufi, ilmuwan, saintis, dan orang-orang pada umumnya setelah mereka menjalani “masa puasa” yang panjang, melelahkan, dan kadang nyaris membikin frustrasi. Selama “masa puasa” ini mereka mengerahkan seluruh daya intelek dan nalarnya untuk memecahkan satu persoalan, teori, misteri, dan teka-teki yang menggelisahkan para ilmuwan selama bertahun-tahun. Apa yang mereka lakukan selama “masa puasa” ini mirip dengan kaca pembesar (suryakanta) yang kita arahkan ke suatu obyek tertentu hingga akhirnya terbakar. Proses pembakaran terjadi karena kaca konveks dalam suryakanta itu berhasil merefleksikan serta mengintensifkan sinar matahari yang menembusnya. Pembakaran terjadi karena adanya “intensifikasi” cahaya yang ditembakkan pada satu titik yang spesifik.
Seorang sufi yang melakukan meditasi, tapa, riyalat, dan menjalani masa-masa yang penuh penderitaan fisik karena menahan diri untuk makan dalam kadar yang amat minimal, seperti dilakukan oleh sufi besar Sahl Tustari (kisah-kisahnya banyak kita jumpai dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya al-Ghazali), ia sebenarnya melakukan proses “intensifikasi cahaya” seperti dalam kasus suryakanta itu. Hal yang kurang lebih serupa kita jumpai pada kasus ilmuwan terbesar abad ke-20, Albert Einstein, yang menghabiskan tahun-tahun yang panjang, di tengah gemuruh Perang Dunia Pertama yang berkecamuk di Eropa, untuk memecahkan misteri gravitasi. Puasa panjang Einstein ini kemudian berujung pada penemuan besar: teori Relativitas Umum; teori yang secara ajaib menggambarkan ruang dan waktu sebagai sesuatu yang melengkung itu (curvature of spacetime).
Dalam skema “ngelmu syahadat” yang saya tawarkan ini, apa yang disebut pengetahuan supra-ordiner biasanya lahir di ujung proses melelahkan yang panjang seperti ini; pengetahuan yang bisa disetarakan dengan “buka puasa” setelah menjalani momen negatif, (yaitu puasa) selama beberapa waktu. Inilah pengetahuan khusus yang biasanya akan mengubah arah sejarah manusia. Lanskap fisika modern pasca-Einstein, misalnya, berubah secara drastis, meninggalkan fisika tradisional yang dibentuk melalui teori gravitasinya nya Isaac Newton. Pengetahuan-pengetahuan dalam jenis inilah yang saya sebut sebagai supra-ordiner. Pengetahuan semacam ini tentu saja tidak muncul setiap saat; ia membutuhkan “puasa panjang”; ia mengharuskan seorang ilmuwan mengalami momen negatif yang amat panjang.
Tentu saja, tidak ada jaminan bahwa momen negatif ini akan berujung pada lahirnya pengetahuan supra-ordiner. Salah satu gagasan yang menarik dari al-Ghazali, seperti ia tulis dalam otobiografi intelektualnya yang berjudul “al-Munqidz Min al-Dalal”, adalah bahwa munculnya ilham yang merupakan basis pengetahuan supra-ordiner adalah sepenuhnya merupakan “amrun ilahiyyun”, sesuatu yang menjadi diskresi Tuhan sepenuhnya. Peran “kodrati” yang bisa dilakukan manusia hanyalah sebatas menyiapkan kondisi-kondisi psikologis, intelektual, dan spiritual agar ia bisa menangkap ilham ilahiah itu. Tugas seseorang hanya menyiapkan kaca pembesar pada posisi yang tepat sehingga bisa menangkap sinar matahari. Setelah kaca itu disiapkan, bisa saja mendung datang, sinar matahari gagal direfleksikan, dan efek pembakaran tidak terjadi.
Al-Ghazali mengajukan suatu model epistemologi yang menarik dalam Ihya’, dan sebagian besar mengilhami gagasan yang saya uraikan di sini. Ia, secara garis besar, membagi ilmu ke dalam dua golongan besar: ilmu ta‘limi dan ilmu ilhami. Ilmu dari jenis pertama kira-kira setara dengan pengetahuan ordiner, yaitu semua pengetahuan yang berasal dari semua sumber yang bersifat kodrati (kodrati berarti: sesuatu yang ada di alam fisik sekarang ini). Sumber itu bisa berupa: guru, buku, koran, majalah, radio, televisi, Google, dsb. Sementara ilmu ilhami, sebagaimana namanya (“ilham”, inspirasi), berasal dari sumber-sumber yang adi-kodrati, supra-natural: yaitu Tuhan. Ilmu-ilmu yang bersifat ilhami biasanya diperoleh setelah seseorang menjalani momen negatif yang amat panjang — apa yang disebut oleh para sufi sebagai riyadah, latihan spiritual.
Dalam sejarah pengetahuan, kita bisa mendeteksi pola berikut ini. Setelah pengetahuan supra-ordiner lahir, ia biasanya akan diikuti oleh lahirnya ilmu-ilmu teknis yang bertindak sebagai semacam “syarah” atau penjelasan atasnya. Kita bisa menjadikan contoh dalam perkembangan ilmu fikih (hukum Islam) sebagai model. Al-Risalah yang dikarang oleh Imam Syafi’i, pendiri mazhab Syafi’i yang diikuti oleh mayoritas umat Islam di Asia Tenggara itu, adalah kitab yang memuat pengetahuan yang bisa kita sebut supra-ordiner. Ia adalah karya “babat alas” yang membukakan ladang pengetahuan baru, yaitu bidang yang disebut ushul fiqh (teori hukum Islam). Setelah kitab ini lahir, mulailah bermunculan kitab-kitab lain yang berfungsi sebagai “syarah”. Pengetahuan yang termuat dalam literatur komentar itu bisa kita sebut sebagai pengetahuan ordiner.
Sekali lagi, pengetahuan supra-ordiner biasanya akan mengubah lanskap ilmu dan peta pengetahuan. Ia memiliki watak transformatif, “game changing”, sebab ia lahir dari proses “ngelmu syahadat” — proses yang tidak gampang karena harus melewati dahulu momen negatif yang panjang. Kitab al-Risalah yang monumental itu jelas bukan karya yang “ujug-ujug” lahir; ia muncul pada masa ketika Imam Syafi’i sudah mencapai kematangan intelektual, setelah menjalani masa belajar yang amat panjang, setelah melewati momen negatif yang penuh jatuh bangun; ringkasnya: setelah “berpuasa” dalam waktu lama.
Kitab al-Risalah adalah mirip dengan “buka-puasa” yang menimbulkan “farhah”, kebahagiaan yang besar. Ia tidak sama dengan kitab-kitab lain yang datang sesudahnya. Kitab-kitab komentar yang menjelaskan al-Risalah bisa kita sepadankan dengan tindakan makan sehari-hari di luar momen puasa — makan yang banal. Pengetahuan ordiner menjadi mungkin dan bisa dikerjakan karena ada pengetahuan supra-ordiner. Pengetahuan supra-ordiner adalah “condition of possibility”, syarat kemungkinan bagi beroperasinya pengetahuan ordiner. Ilmu ushul fiqh, misalnya, menjadi mungkin ada sebagai sebuah disiplin yang otonom dengan dasar-dasar metodologisnya yang jelas karena ada kitab al-Risalah. Kitab Imam a-Syafi’i ini adalah semacam “karpet” yang memungkinkan ilmu ushul fiqh tegak. Jika karpet ini ditarik, runtuhlah seluruh konstruksi ilmiah yang berdiri di atasnya.
Pengetahuan supra-ordiner selalu bersumber dari ilham, sebuah pengalaman misterius yang tidak seluruhnya bisa kita terangkan melalui skema rasional yang lazim. Langkah-langkah menuju ilham ini –misalnya, mengerahkan seluruh tenaga, baik jiwa maupun rasio– memang bisa kita jelaskan secara rasional. Tetapi bagaimana pengetahuan ini lahir pada seseorang, ia merupakan “amrun ilahiyyun”, perkara supra-natural yang tidak bisa kita jelaskan seluruhnya secara rasional. Dengan kata lain, dalam perspektif “ngelmu syahadat” ini, pengetahuan manusia menjadi mungkin karena adanya dasar ilham. Ini tidak menafikan upaya-upaya manusiawi untuk meraih pengetahuan. Tetapi, pada akhirnya, ilham adalah dasar, “condition of possibility”, syarat kemungkinan bagi beroperasinya pengetahuan ordiner.
Perspektif ini sekaligus merupakan bagian dari usaha saya untuk merekonstruksi kembali teologi Asy‘ariyyah dalam konteks teori pengetahuan. Salah satu gagasan pokok yang mendasari teologi ini ialah apa yang bisa disebut “the primacy of revelation”, kedudukan utama yang ditempati oleh wahyu dalam proses penyingkapan Kebenaran (al-Haqq). Hanya saja, saya tidak menghadirkan konsep wahyu dalam bentuknya yang sudah lazim, yaitu Qur’an, melainkan wahyu yang saya pahami ulang sebagai ilham. Dalam perspektif “ngelmu syahadat” yang saya tawarkan ini, momen ilham terjadi pada titik pertemuan antara momen negatif dan momen positif — antara nafi dan isbat. Di sanalah pengetahuan “dilahirkan” sebagai bayi gagasan yang membawa kebahagiaan yang tak tepermanai (farhah).
Dengan penjelasan ini, saya berharap telah sedikit membuat terang apa yang saya maksudkan sebagai “ngelmu syahadat”. Sekali lagi, dalam perspektif ini, tekanan saya berikan kepada pengalaman-pengalaman negatif sebagai momen penting dalam proses kelahiran pengetahuan.
Dalam seri berikutnya, saya akan mencoba menerapkan “ngelmu syahadat” ini dalam situasi yang lebih luas di luar konteks formasi atau pembentukan pengetahuan. Saya akan mencoba menggunakan perspektif ini dalam memikirkan kembali konsep “tindakan”, “al-fi‘l” — salah satu tema permenungan yang amat penting dalam sosiologi modern. “Ma huwa-l-fi‘l”; apa sejatinya yang disebut dengan tindakan itu?
Sekian.
Jatibening, 30/6/2020