Editor buku, penulis, dan peneliti lepas. Pengelola buletin Bukulah! dan terlibat beberapa riset bertema keislaman di Solo. Lulusan Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Memagari Masjid

Masjid Kauman Semarang di Tengah Perubahan Zaman 10

Pagar adalah gejala kota. Komunitas anak muda di Yogyakarta, Ketjilbergerak, merilis lagu berjudul Sebelum Semua Ruang Diukur dengan Uang (2015). Kita simak liriknya: tanah-tanah dikaplingkan privatisasi/ keruh, keruh, keruh/ ruang-ruang digadaikan dan dipagari/ penuh, penuh peluh// kami butuh ruang bermain, bermain apa saja/ kita butuh ruang belajar, belajar apa saja// sebelum semua ruang diukur dengan uang/ sebelum semua lahan dibangun kota-kota. Lagu menyoal ruang publik yang kian tergerus upaya privatisasi. Kota bukan lagi sekadar kategori administratif melainkan gejala privatisasi di mana-mana dengan satu penanda kentara: pagar.

Avianti menulis esai apik berjudul Pagar, termuat di buku Arsitektur yang Lain: Sebuah Kritik Arsitektur (2017). Ia meneroka masa kecilnya pada 1977, kala tinggal di kompleks AURI, Panasan, Solo, dan menjumpai heran. “Tak jelas bagi saya, apa fungsi pagar tembok yang mengelilingi rumah kami saat itu. Jika sisi depannya dengan mudah bisa dipanjat oleh anak delapan tahun, maka sudah tentu ia tidak berguna untuk menjaga keamanan,” kata Avianti.

Kendati begitu, Avianti sendiri sudah dapat membayangkan jawabnya, “mungkin memang ada fungsi simbolis selain fungsi praktis yang dihadirkan oleh pagar. Menegaskan hirarki, misalnya, karena militer bekerja dengan cara seperti itu.”

Baca juga:  Kisah-kisah Romantis dari Masjid

Jelas, pagar di kompleks militer memang diatur sedemikian rupa, sesuai protokol tertentu. Di kampung, kehadiran pagar lebih cair. Pagar bisa ada, juga sebaliknya: tanpa, tergantung pada kehendak empunya rumah. Sekian warga salah satu kampung di Solo, misalnya, menjadikan pagar syarat sah mendirikan rumah. Padahal, selama bertahun-tahun, tak pernah ada satu pun kasus pencurian di kampung itu.

Lalu, apa fungsi pagar? Keamanan? Tidak lagi. Fungsi simbolis pagar sekarang lebih kentara ketimbang fungsi praktisnya. Pagar menjadi penanda empunya rumah seorang kaya, atau (yang ini lebih banyak) seolah-olah kaya.

Simbol tentu saja bukan sekadar tentang keangkuhan. Simbol senantiasa berusaha untuk mengatakan sesuatu. Bagi Avianti, sesuatu itu paranoia. Avianti menulis, “…dan paranoia itu sebenarnya adalah cerminan keadaan sosial yang lebih luas: disparitas dalam masyarakat, ketimpangan kaya-miskin, dan tak adanya penegakan hukum yang baik. Masyarakat terpaksa mengambil tindakan sendiri untuk menjaga hak miliknya dan melindungi diri dari bahaya. Kota telah berkembang menjadi ancaman. Dan pagar sekadar bentuk tangible dari rasa ketidakamanan dan ketidakpercayaan yang akut.”

Kehadiran pagar, dengan masyarakat paranoid yang ditandainya, memang wajar selama itu di ranah privat: kehendak empunya rumah. Bila kecenderungan itu terjadi di “rumah Tuhan”, kita pantas mempersoalkan. Berita kecil tampil di Tribun Jateng edisi 5 Juli 2018, menyebut Pemkot Solo segera membangun pagar masjid Taman Sriwedari. Kita harap pagar itu cuma pagar pembatas proyek, yang lekas hilang setelah bangunan selesai didirikan. Tapi, kita tak memungkiri, banyak masjid (baik di ruang kota maupun kampung-kampung) dirintangi pagar. Apakah berkah Tuhan yang bermahalimpah tidak menjadikan rumah tempat para penyembahnya bersujud serta-merta aman?

Baca juga:  Menengok Museum Islam di Jawa Tengah

Beberapa kasus meresahkan mungkin terjadi di masjid, misalkan pencurian kotak amal. Kehadiran pagar, dengan pintu pagar tertutup di jam-jam selain waktu salat, bisa saja dimaksudkan ikhtiar mengantisipasi pencurian itu. Padahal, kotak amal di masjid-masjid kini lazim dipakukan di tembok masjid, atau bahkan kotak itu hanya dikeluarkan pada saat-saat tertentu semisal salat Jumat. Lagipula, kita berani bertaruh (tapi taruhan sebenarnya dosa sih) bahwa pencurian kotak amal jauh tidak seberapa sering ketimbang pencurian sandal dan sepatu bagus di pelataran masjid!

Bagi masjid-masjid, kehadiran pagar malah mungkin lebih berbahaya ketimbang ketidakhadirannya. Secara simbolis, pagar membikin masjid takluk pada hirarki, yang semestinya tiada. Pagar masjid seakan memisahkan mana jamaah masjid dan mana yang bukan, yang liyan. Pagar masjid kemudian melampaui wujud, merasuk ke penghayatan jamaah masjid.

Di Rawabelong, Jakarta, ada masjid yang menanti buka puasa dengan doa-doa yang khusus dipersembahkan hanya ke para petinggi masjid. Doa-doa itu, ya Tuhan, dilantangkan ke segala penjuru kampung lewat enam pengeras suara. Doa boleh eksklusif, tapi tetap dipaksakan tersaksikan semua orang, di luar pagar.

Masjid-masjid berpagar barangkali gejala yang selaras pembangunan kota. Masjid hadir dan tumbuh bersama apartemen-apartemen, perumahan elit, serta berbagai ruang-ruang perayaan kota yang serbaeksklusif. Ruang-ruang itu menjelma, dalam perkataan Avianti, satu dunia sendiri yang “diam” dan membiarkan yang di luarnya berkembang serabutan. Kita bisa terpaksa maklum dan membiarkan apartemen atau perumahan elit menggejalakannya.

Baca juga:  Alif.Id Gelar Pameran Foto Masjid di Nijmegen Belanda

Namun, apa guna keberadaan masjid jika membiarkan segala yang di luar pagar berkembang serabutan? Semestinya memang tidak ada yang di luar pagar. Semestinya memang tidak ada pagar. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top