Sedang Membaca
Belajar dari Film Iran (1): Lika-liku Sutradara dari Negeri Para Mullah
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id. Magister Kajian Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas. Menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Belajar dari Film Iran (1): Lika-liku Sutradara dari Negeri Para Mullah

0 Film Iran

Belajar dari film Iran. Kalimat itu saya pinjam dari Garin Nugroho, sutradara banyak film. Ia bilang, kita bisa belajar dari film Iran untuk menggarap film-film dengan tema “madani”, merujuk ke ke “film islami”. Madani maksdunya beradab, yang dalam bahasa Arab ditulis tamaddun.

Ya betul. Dari film Iran, kita belajar banyak hal, di luar urusan sinematografi, yang tentu saja tidak jauh berbeda mumpuninya dengan para sineas Tanah Air.

Dari film Iran, kita belajar pada “kesabaran” sutradara atau pembuat film dalam “membimbing” alam pikiran penonton untuk masuk ke dalam alur cerita. “Nonton film Iran itu kudu sabar,” begitu kata teman suatu ketika. Maksud ia, kalau memang seseorang tidak berniat untuk menonton dengan sungguh-sungguh, atau hanya butuh hiburan semata, sebaiknya jangan menonton film-film Iran. Bisa-bisa bosan sebelum berkembang.

Karena kesabaran itu –begitu saya menyebut– kita akhirnya mampu menggali, tidak menghayati saja, perasaan-perasaan terdalam manusia yang diwakili oleh pemerannya. Kita turut merasakan Mohammad yang buta ketika menggeser-geserkan tangannya di dedaunan kering yang berserakan, untuk mencari suara anak burung yang jatuh dari sarangnya. Setelah menemukan si anak burung dan meletakkannya di saku baju, Mohammad pun naik pohon, meraba-raba ranting dan daun untuk mencari sarang, lantas meletakkan anak burung di atasnya (The Color of Paradise, 1999).

Adegan itu mengalir tenang, tidak terburu-buru (bukan pelan), dan makin menarik dengan munculnya kucing yang membuat Mohammad khawatir karena (mungkin) akan memangsa anak burung. Bagaimana seorang buta yang berjalan pelan mampu menularkan kesabaran kepada penonton?

Whatsapp Image 2020 06 03 At 10.37.54 Am
The Color of Paradise (1999), Majid Majidi (foto: imdb.com)

Setelah menonton The Color of Paradise, misalnya, kita tidak hanya belajar berempati pada orang-orang difabel seperti Mohammad, yang bisa kita tonton juga di beberapa film Indonesia. Namun penonton kemudian merasa tergugah dan bisa jadi kemudian tergerak. Sebagian orang mungkin berhenti pada rasa tergugah, namun sebagian lain tergerak untuk berbuat sesuatu demi para difabel.

Pada movie goers Indonesia tentu mengenal Majid Majidi, sutradara besar Iran yang masyhur lewat filmnya Children of Heaven, terlebih ketika film itu masuk nominasi Film Asing Terbaik pada Academy Awards (1998). Selain itu, Majidi juga dikenal lewat Father (1996), The Color of Paradise (1999) yang saya sebut di atas, The Song of Sparrows (2008), Muhammad: The Messenger of God (2015, yang juga ramai diperbincangkan, namun terlalu berhasil), Beyond the Clouds (2017), dan lain-lain.

Baca juga:  Sajian Khusus: Jalan Tobat Pemuda Tersesat

Majid Majidi ini punya banyak penggemar di Indonesia lantaran film-filmnya kerap menyuarakan kisah anak-anak dengan segala problematikanya, dan masih terkait dengan itu juga tema kehidupan kelas menengah-bawah. Keberpihakan pada kemanusiaan (utamanya masyarakat kelas bawah) seperti ini banyak pendukungnya karena sangat berkorelasi dengan kehidupan di Indonesia, yang juga membutuhkan keperpihakan banyak pihak.

Pemutaran film-film Iran di Indonesia memang didominasi tema-tema kemanusiaan dan spiritulitas, yang diwadahi dalam satu festival. Sejauh ingatan saya (sudah tidak bisa lebih jauh lagi), pada tahun 2009 pernah digelar festival film Iran di PPHUI dengan film pembuka berjudul Hayat garapan sutradara Gholam Reza Ramezani.

Hayat menceritakan kisah perjuangan dan kegigihan seorang anak perempuan yang bernama Hayat, siswa kelas lima sekolah dasar. Ia harus menjaga dua adiknya, karena ibunya sibuk merawat ayah yang sakit-sakitan, sehingga harus sering pergi ke rumah sakit.

Festival film Iran pada tahun 2012 sangat riuh, lantaran dihelat selang sebulan setelah film A Separation arahan sutradara Asghar Farhadi memenangi kategori Film Berbahasa Asing Terbaik di Academi Awards dan Golden Globe. Film ini mengenai perceraian, berlatar belakang Iran kontemporer. Simin ingin meninggalkan Iran bersama suaminya, Nader, dan putrinya, Termeh. Simin menggugat cerai karena Nader menolak untuk meninggalkan ayahnya sakit Alzheimer (imdb.com).

Bisa dimengerti jika movie goers Indonesia, khususnya pecinta “film festival” sangat menyukai film-film Iran yang biasanya diputar atas kerjasama dengan Kedutaan Besar Iran. Apalagi para penonton mendapat bonus “suguhan budaya” berupa kuliner dan fashion (mode) khas negeri Persia itu. Pokoknya, kita semua bisa belajar banyak, termasuk cara membuat roti yang tebal dan besar itu, yang biasa dibawa para atlet Iran untuk bekal saat bertanding ke luar negeri.

Di sisi lain, Iran tidak pernah kekurangan film baru karena gairah yang meletup-letup dalam memproduksi pascarevolusi. Sutradara Iran, Hasan Najafi, ketika datang ke Indonesia pernah mengatakan bahwa perfilman Iran tumbuh luar biasa, baik kuantitas maupun kualitas. Produksi film setahun mencapai 2000-an film, dan bahkan sampai 7.000-an jika dihitung pula film-film pendeknya (republika.co.id). Najafi mengatakan itu pada tahun 2012, bayangkan saja selang tujuh tahun kemudian.

Tempaan Hidup

Soal gambar dan cerita yang menggugah dan menggerakkan hati ini, sineas Iran memang jagoan. Barangkali karena pengalaman hidup sejumlah sineas yang penuh liku dan bahkan dramatis. Ambil contoh Jafar Panahi, sineas yang tak pernah menyerah melahirkan karya kendati dalam situasi di penjara.

Baca juga:  Menonton (Lagi) "World War Z": Merebut Kembali Kemanusiaan di Tengah Wabah

Pengalaman seperti Panahi ini lazim dialami para tokoh Indonesia dan dunia, seperti  bisa kita lihat dalam karya-karya para sastrawan, misalnya, yang bahkan mampu menghasilkan karya luar biasa ketika fisiknya dibelenggu dalam ruang sempit. Saat itu, ketika tubuh dibelenggu, pikiran justru liar mencari jalan keluar. Pramudia Ananta Toer adalah sastrawan yang kerab disebut mengalami daya dobrak luar biasa dalam pikirannya, begitu pula Soekarno, atau Rendra Ketika masa pencekalan.

Panahi, pada tanggal 1 Maret 2010, digerebek di rumahnya saat menghadiri perjamuan makan malam. Bersama istri, anak, dan kelimabelas tamu pribadinya, dikirim ke rutan Evin. Mereka dituduh sedang menggodok pembuatan film propaganda yang mendukung oposisi, Mir Hossein Mousavi. Semuanya kemudian dibebaskan (Ekky Imanjaya dalam “Kegigihan Jafar Panahi”, Islam Indonesia, 11 Maret 2014).

Pada 14 April 2010, Kementerian Budaya dan Panduan Islam Iran menyatakan bahwa Panahi bersalah karena berusaha membuat dokumenter tentang perselisihan seputar terpilihnya Kembali Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Ia dianggap berkumpul dan bekerjasama ingin menghancurkan sistem keamanan negara dan membuat karya propaganda melawan Republik Islam Iran.

Pada tanggal 20 Desember 2010, Panahi divonis enam tahun penjara dan selama 20 tahun dilarang membuat film, menulis scenario, memberikan wawancara dalam bentuk apa pun kepada pers Iran dan asing, dan dicekal ke luar negeri kecuali untuk berhaji dan alasan Kesehatan. Akan tetapi, kegigihan Panahi patut diapresiasi mendalam. Ia tetap membuat sejumlah film “diam-diam” dan satu di antaranya, Closed Curtain, menyabet skenario terbaik dalam Festival Film Berlin 2013. Ini membuat berang pemerintah Iran.

Jika melihat tahun penangkapan Panahi, 2010, itu belum lama, dan bahkan sampai sekarang pun gerak para sineas sangat sempit, sehingga memunculkan film-film yang penuh metafora dan kiasan. Mlipir. Protes terhadap pemerintah digambarkan dengan sangat halus setengah kabur, sehingga orang-orang pemerintahan yang menonton filmnya jangan-jangan tidak sepenuhnya paham.

Namun justru di situlah kekuatan film-film Iran, yang seolah tampak sederhana namun penuh makna, namun menggugah naluri dan nurani.

Film Panahi yang terakhir saya tonton adalah 3 Faces (2018), diputar pada penutupan Festival Film Madani pada Oktober 2019 di IFI Jakarta. Panahi juga menjadi pemerannya. Ceritanya tentang aktris Behnaz Jafari yang merasa tertekan saat menjumpai video yang dikirim seorang gadis muda. Gadis itu meminta bantuan karena keluarganya menghalangi untuk bersekolah di konservatorium drama Teheran. Bahkan ia mengancam akan bunuh diri.

Baca juga:  Wayang dari Kacamata Gus Dur: Pembentuk Budaya Politik

Jafari sampai-sampai meninggalkan pekerjaannya dan bersama Panahi mencari gadis itu. Satu perjalanan yang panjang dan melelahkan, ketika Jafari dan Panahi harus pula menemui berbagai drama selama pencarian itu. Tentu saja filmnya pelan, ngelangut, dan panjang. Namun, tidak ada penonton yang bergeming dari tempat duduk, semua khusuk (maklum, semua yang regristasi memang pecinta film festival, jadi sudah tersaring).

Pesan-pesan sufistik tergambar cukup jelas dalam film-film Iran. Apa karena Iran punya penyair sufi Jalaluddin Rumi (1207-1273)? Boleh jadi. Yang pasti, nukilan syair Rumi ini mampu menggambarkan film The Song of Sparrow, karya Majid Majidi. Film ini tentang Karim, buruh di peternakan burung unta yang dipecat lantaran seekor unta melarikan diri dari kandang.

Angin sepoi-sepoi kala fajar menyimpan rahasia-rahasianya untuk memberitahumu.  Jangan kembali tidur. Kau harus tahu apa sejatinya keinginanmu.  Jangan kembali tidur.  Orang-orang sedang pulang, bergerak melintasi sel pintu.  Pintu itu terpilin dan terbuka. Jangan kembali tidur.  Aku akan menciummu.  Harga ciuman itu setara hidupmu….”.

Rumi pula kerap menyuarakan, “I am lost in God and God is found in me”, dalam berbagai ekspresi puisi. Sejatinya itu pula sudah tercatat dalam Hadis, “Man arrafa nafsahu, faqad arrafa rabbahu”. Nilai sufistik ini tergambar dalam film-film Iran.

Sebagai jurnalis, ketika berkesempatan meliput peristiwa atau sekadar pelesiran di luar negeri, saya biasanya (tidak selalu) mencari koran/majalah lokal untuk mengetahui berbagai peristiwa dan utamanya kebisaan warga setempat. Jika tidak ada koran berbahasa Inggris, tidak masalah juga koran berbahasa setempat, karena ada beragam cara untuk menerjemahkan, selama waktu tersedia.

Selain koran, “benda” lain untuk dipelajari adalah karya sastra dan film. Keduanya bisa dibaca dan ditonton bahkan jauh sebelum liputan. Sebelum ke Korea, misalnya, saya beberapa kali memang sudah menonton film Korea, sehingga sedikitnya mengerti “budaya” makan (kuliner) orang Korea atau impian anak-anak mudanya, misalnya.

Film-film Iran sangat jelas dan pekat dalam menggambarkan kultur masyarakatnya. Sayangnya, saya belum pernah ke Iran.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top