Semasa nyantri di pesantren adalah periode dalam hidup saya paling intens berjumpa dengan sepakbola. Di tahun kedua saya di pesantren, seluruh angkatan saat itu menyambut Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI), yang dilaksanakan tiap awal tahun ajaran, dengan gairah baru dan gegap gempita, yaitu dengan membeli jersey beberapa klub sepakbola eropa guna dipakai sebagai seragam selama pelaksanaan porseni.
Ada cerita menarik mengiringi fenomena tersebut, di mana salah satu angkatan saat itu membeli jersey Real Madrid yang notabene di logonya ada simbol salib. Saat itu sebenarnya tidak ada yang mempermasalahkan, termasuk para asatidz, namun ada satu teman saya di kelas tersebut yang merombak logo tersebut karena tidak ingin dianggap memakai salib dalam kesahariannya.
Sekarang di mana tensi permasalahan simbol agama sedang mengalami arus pasang di masyarakat kita, terutama 2-3 tahun terakhir, seiring tumbuh subur dan menjamurnya politik identitas dan agama di Indonesia. Memori kejadian di atas kembali terlintas di ingatan saya di setiap polemik simbol agama di ranah publik. Apakah perjumpaan kita dengan simbol agama selalu berakhir dengan masalah atau konflik, karena dianggap menggangu keimanan?
Beberapa waktu lalu, SETARA Institute menginformasikan hasil penelitiannya tentang kebebasan beragama di tahun 2019 kemarin. Di mana diinformasikan kebebasan beragama sekarang mencetak angka yang cukup tinggi, sepanjang tahun 2019 saja telah terjadi ribuan berbagai perilaku yang mengancam kebebasan beragama di Indonesia.
Dalam laporan SETARA Institute merekam hampir seluruh ancaman fisik yang dihadapi oleh beberapa kelompok rentan, dan menegaskan betapa ketidakhadiran atau minimal kelambanan negara dalam merespon beberapa permasalahan kebebasan ini turut menyuburkan perilaku membancak hak yang telah dijamin dalam konstitusi kita.
Masih segar dalam ingatan kita keributan soal desain arsitektur sebuah masjid di Jawa Barat, di mana tuduhan “kehadiran” simbol agama lain di masjid yang cukup mendapatkan atensi tinggi kemarin. Jika kita mengingat kembali pada kasus tersebut, kehadiran simbol agama sering dipermasalahkan oleh mereka yang memiliki kuasa, atau menganggap diri memilikinya karena berbagai alasan seperti jumlah mayoritas atau pengaruh di media. Mengapa?
Acapkali alasan “gangguan keimanan” disodorkan untuk menyisihkan kehadiran simbol agama lain. Padahal kita melihat saat dalih tersebut muncul, simbol yang dituduhkan hanya sekedar selingkung opini dari penyebar isu. Kita hanya dipermainkan dengan berbagai argumen konspirasi dan propaganda.
Bagi sebagian besar masyarakat kita dalil propaganda dan konspirasi hampir tidak bisa dibedakan, antara apakah hal tersebut hanya ilusi atau ancaman pada agama yang mereka peluk. Tak mengherankan kemudian banyak dari mereka yang mengaku beragama, termasuk kita, mudah sekali terjatuh dalam isu simbol agama ini.
Kita semua sering dihadapkan pada dilema yang sulit dipecahkan karena alasan ancaman terhadap keimanan. Mengabaikan maka kita akan dituduh menganggap remeh persoalan iman, di sisi lain bersikap serius malah fakta yang dihadirkan seringkali bersandar pada imajinasi belaka. Jelas sulit untuk keluar dari persoalan ini, kecuali dengan dua solusi yang harus dijalankan bersamaan, yaitu meningkatkan bacaan dan memperluas pergaulan.
Begitulah dinamika kehadiran simbol agama di kehidupan kita sehari-hari, di mana bisa naik-turun seturut beragam hal yang memicunya, seperti sosial dan politik. Malah, pasang-surut hubungan agama dalam lintasan sejarah tidak menjadi faktor utama yang mewarnainya.
Mari kita tilik sejarah logo salah satu raksasa liga Spanyol, Real Madrid, yang dengan sengaja mengubah logonya hanya dengan alasan ingin mengambil hati pendukungnya di wilayah arab, notabene mayoritas beragama Islam. Ikon mahkota di logo tersebut bertahtakan simbol salib yang dianggap bisa merebut lebih banyak lagi fans beragama Islam, terutama di wilayah Timur Tengah.
Keputusan petinggi Real Madrid tersebut menarik, bukan disandarkan pada ketakutan mereka ditinggalkan fans mereka di wilayah Arab karena simbol salib tersebut, tapi irisan atas azas ‘kepekaan budaya’ guna menghindari kontroversi, disamping itu juga semata-mata hanya merupakan langkah bisnis untuk dapat berekspansi ke seluruh dunia. Padahal simbol tersebut memiliki sejarah panjang dalam sejarah klub bermarkas di ibukota Spanyol tersebut.
Disebut Barcelona yang saingan abadi Real Madrid juga akan mengikuti jejak rivalnya tersebut. Jadi, sikap antipati pada simbol memang tidak melulu menghasilkan laku ekstrimis, dia juga bisa dimanfaatkan oleh pihak lain untuk mengeruk keuntungan darinya. Di sisi lain, simbol agama lain bisa juga diabaikan karena ragam alasan.
Faktor stimulan sikap antipati atas kehadiran simbol agama, harus kita sadari seringkali berasal dari luar lingkaran agama itu sendiri. Sedikit sekali itu berasal dari variabel agama, mayoritas hanya memanfaatkan citra, imaji dan pengalaman dari linimasa agama dalam kehidupan masyarakat, sebagai pemicu. Maka belajar, baca dan bergaul adalah paracetamol bagi cakrawala pemikiran kita jika sudah mulai terpapar pada antipati kehadiran simbol agama lain.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin. (RM)