Sedang Membaca
Islam Banjar dan Politik (1): Relasi Akrab antara Politik dan Islam di Tanah Banjar
Supriansyah
Penulis Kolom

Penggiat isu-isu kedamaian dan sosial di Kindai Institute Banjarmasin

Islam Banjar dan Politik (1): Relasi Akrab antara Politik dan Islam di Tanah Banjar

Whatsapp Image 2021 11 23 At 22.33.30

Jika mengulik sejarah masuknya Islam di tanah Banjar, maka narasi politik antara Pangeran Samudra, yang nanti dikenal Sultan Suriansyah, dengan kerajaan Demak cukup populer diperkenalkan sebagai saluran utamanya. Memang, sebagian peneliti mencurigai keberadaan Islam di tengah masyarakat sebelum kedatangan rombongan Demak, namun tidak banyak yang mengajukan bagaimana dinamika Islam pada masa itu.

Adalah Yusliani Noor, dosen salah satu Universitas di Banjarmasin, mengulas beberapa saluran masuknya Islam di tanah Banjar. Dia mencatat sedikitnya ada enam saluran Islamisasi di Banjarmasin sejak abad 15 hingga 19, yakni perdagangan, perkawinan, sufisme, birokrasi pemerintahan, pendidikan, hingga kesenian.

Melalui ulasannya, sepertinya Yusliani ingin keluar dari narasi politik yang terlebih dahulu populer di masyarakat, hingga dunia akademisi. Sebagaimana saya sebut di atas bahwa awal Islam di tanah Banjar begitu kental dengan aroma politik. Relasi akrab antara politik dan Islam di tanah Banjar bahkan bisa dijumpai perjalanan persebaran Islam yang didukung sejak masa Kerajaan Banjar.

Rasanya sulit menemukan persinggungan selain politik dalam membicarakan Islam di masyarakat Banjar, dari masa Kesultanan Banjar, masa Revolusi, hingga di era kemerdekaan dan Reformasi seperti sekarang ini. Sepertinya juga tak pernah habis membicarakan Islam beririsan dengan politik dalam sisi kehidupan masyarakat Banjar.

Baca juga:  Teguran Kanjeng Nabi kepada Sahabat yang Menghina Pezina

Terus, apa alasan yang membuat kita menarik untuk mengulik irisan kedua hal tersebut di masyarakat Banjar? Ada dua alasan yang bisa saya ajukan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, dalam persinggungan antara Islam, tradisi, dan politik, dalam hal ini bisa bermakna Negara atau politisi, menghadirkan wajah Islam yang dinamis atau tidak statis.

Esai selanjutnya akan menceritakan bagaimana perjumpaan kedua unsur tersebut dalam keberagamaan sehari-hari di masyarakat Banjar. Namun, sebelum lebih jauh, kita perlu menegaskan bahwa posisi Islam di masyarakat Banjar sangat berarti, bahkan dapat disebut bahwa agama tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dalam identitas urang Banjar. Akibatnya, tradisi yang tumbuh di masyarakat Banjar tidak bisa dilepaskan dengan Islam, Islam ya Banjar, Banjar ya Islam.

Kedua, kedekatan dua antara politik dan Islam dalam keberagamaan masyarakat Banjar yang sudah berlangsung ratusan tahun ini perlu untuk diulik lebih mendalam. Ada berbagai narasi di dalam persinggungan dua unsur tersebut, seperti negosiasi, pergeseran, pertukaran, perjumpaan, penolakan, hingga ikatan erat, yang bisa dijumpai dalam lintasan sejarah dalam rekaman memori masyarakat Banjar.

Namun, dalam persinggungan yang telah berlangsung lama tersebut tentu menghadirkan logika atau nilai yang kemudian dipercaya dan dijalankan oleh masyarakat Banjar. Analisa yang dilakukan Ahmed T. Kuru dalam buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan seharusnya bisa menjadi kacamata kita dalam mengulik ikatan dua unsur tersebut.

Baca juga:  Toa, Filsafat Stoa, dan Masjid

Dalam buku tersebut, Kuru menjelaskan bahwa relasi antara kelas keagamaan, politik, intelektual, dan ekonomi telah menjadi penggerak utama di balik perubahan dan pembalikan dalam perkembangan dunia Islam. Mungkin kita perlu belajar dari gambaran yang diajukan Kuru, di mana pada abad ke-11 masehi di Asia Tengah terjadi perubahan multidimensional.

Kekhalifahan Abbassiyah kala itu dilemahkan dengan kebangkitan negara-negara Syiah di sekitar Afrika Utara, Mesir, Suriah, dan Irak, dan untuk melawan itu mereka menyerukan persatuan muslim Sunni. Jadi untuk menyatukan sultan, ulama, dan massa, khalifah di bani Abbassiyah menetapkan sebuah idiom “Akidah Sunni” sebagai mazhab Negara, dan menyingkirkan mereka yang pandangannya dianggap bertentangan dengan akidah Sunni, dicap murtad, bahkan ada yang menghadapi hukuman mati.

Indepedensi ulama dalam perbincangan ilmiah menjadi semakin tertekan, dan dampak lain yang tak kalah hebat adalah menghambat dinamisme intelektual Muslim, karena cukup banyak filsuf yang tersingkir. Sehingga mayoritas negara mayoritas muslim kebanyakan masih banyak tertinggal. Walaupun begitu, analisa Kuru tidak bisa serta-merta menjelaskan bagaimana eratnya politik kekuasaan dan Islam dapat berdampak sama dengan dinamika keislaman di tanah Banjar, khususnya masa Kesultanan Banjar.

Pengaruh besar dari Islam di Timur Tengah adalah di antara faktor utama yang disebut oleh Robert Hefner, akademisi asal Amerika Serikat, mempengaruhi Islam di kawasan Nusantara, dalam hal ini termasuk tanah Banjar. Namun di sisi lain, kegelisah Kuru dalam melihat fakta sejarah di ketiga Emperium Islam Sunni harus dijadikan pelajaran bagi kita semua. Di mana kedekatan Islam dan politik kekuasaan dapat berdampak buruk yang berkepanjangan dan sulit untuk disembuhkan.

Baca juga:  Pendidikan Pesantren (5): Konsep Keteladanan dalam Pesantren

Mari kita ulik beberapa narasi kelindan antara Islam, politik kekuasaan dan tradisi dalam Islam di tengah kehidupan masyarakat Banjar. Walaupun begitu, semua contoh narasi yang saya ajukan berupa dinamika kontemporer keislaman di tanah Banjar. Saya sengaja mengulas fakta kontemporer untuk bisa menghadirkan kedekatan dengan apa yang kita jalani sekarang ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top