Ketika Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi tiga golongan; priyayi, santri, dan abangan, ia malah tampak berkompromi dalam persoalan wayang. Antropolog asal Amerika Serikat (AS) yang cukup masyhur itu seakan-akan maklum, mahakarya seni bertutur ini pada faktanya menjelma muara. Kesemua kelompok yang ia sebutkan cenderung memiliki irisan.
Kurang lebihnya, Geertz bilang, pertunjukan wayang yang kerap difungsikan sebagai bagian dari prosesi selametan khas abangan, secara bentuk ia juga hasil tafsir dari paradigma dan etika priyayi berbalut seni. Apalagi, saat tiba masanya peralihan Majapahit ke periode Demak yang Islam. Dominasi epos Ramayana dan Mahabarata di dalamnya, justru dimodifikasi sebagai jalan dakwah.
Lantas, muncullah popularitas Sunan Kalijaga. Akulturasi kearifan lokal dan keislaman pun kian menjadi ciri masyarakat Nusantara. Bahkan, pola ini dipercaya sebagai juru kunci suksesnya persebaran Islam di tanah Jawa dan terus dirawat dari generasi ke generasi.
Di masa sekarang, nama yang masih dianggap dekat dengan pola pembauran ini, salah satunya, adalah Ki Enthus Susmono, seorang dalang asal Tegal, Jawa Tengah. Meski sudah jauh berbeda zaman, namun di tangannya pertunjukkan wayang masih bisa dianggap sebagai media yang relevan.
Sejak awal kemunculannya, sosok kelahiran 21 Juni 1966 ini menobatkan karya pementasannya dengan sebutan Wayang Santri. Daya tawarnya, Ki Enthus menyajikan pementasan wayang dakwah yang diikhtiarkan mempunyai kedekatan dengan konteks kekinian.
Ki Enthus boleh dianggap dalang paling jeli dalam mengetengahkan problem masyarakat ke dalam sebuah pertunjukan. Ada banyak lakon yang pernah ia karang dan sajikan, antara lain Mustika Merah Delima, Lupit Ngaji, Anjala anjali, dan Murid Murtad. Meski begitu, satu judul yang disebut terakhir patut dijadikan bukti atas kepekaan Ki Enthus dalam menyuarakan ide dan gagasannya melalui wayang.
Murid Murtad, boleh dibilang merupakan cerita yang dipotret dari semangat keagamaan masyarakat Indonesia belakangan. Dalam durasi cukup pendek, Ki Enthus gemar memunculkan perdebatan sengit namun konyol penuh kelakar.
Seperti biasa, dalam lakon ini pun Ki Enthus mengandalkan dua karakter unik; Slenteng dan Lupit. Slenteng, simbol masyarakat kampung yang sering keburu mengambil kesimpulan, berhadapan dengan kakaknya, Lupit, santri bergaya slengean tetapi memiliki tingkat lebih tinggi dalam soal nalar dan keilmuan.
Keisengan Lupit dalam melontarkan pernyataan kontroversial, menjadi puncak babak dalam lakon Murid Murtad yang tentu, disajikan dalam bahasa Tegal.
Lupit : Wong sembahyang kue ora usah dikongkon-kongkon. Malah ngongkon wong sembahyang kuen dosa. (Orang salat itu tak usah diperintah. Malah, memerintah orang salat itu dosa)
Slenteng : Hus! Pada-pada santri kah aja mengajarkan aliran sesat koen. (Hus! Kita sama-sama santri, kamu jangan mengajarkan aliran sesat)
Lupit : Aliran sesat napa? (Aliran sesat kenapa?)
Slenteng : Kenen, saucap sekecap omongane menusa kien bakal dirongokaken. Apamaning kien sampean tokoh masyarakat. Maning-maning ngomong ngongkon wong sembahyang kie dosa, bisa tak bata watu koen. (Begini, ucapan manusia itu bakal didengarkan. Apalagi kamu itu tokoh masyarakat. Kalau terus-terusan menyatakan bahwa memerintah orang salat itu dosa, bisa-bisa mukamu ada yang melempari dengan batu).
Lupit : Ya Allah. Duh, angger elmune masih tingkatan syareat ya kaya kie kih. Kieh, goboge koen dirongokakena. (Ya Allah. Duh, kalau ilmunya masih di tingkatan kulit ya begini. Nih, dengarkan baik-baik)
Slenteng : Ora bisa! Dasar sampean kapir Qurraisy! (Tidak bisa! Dasar kamu kafir Quraisy)
Lupit : Lah, nyong ngomong kie bener. Rongokna dingin. (Lah, saya bicara benar. Dengarkan dulu)
Slenteng : Rongokena apa? Murtad pokoke pean. Nyong mah umate Nabi Meka-mad. Mekamad Sholollolohu alahi wesalam. (Dengarkan apanya? Pokonya kamu murtad. Saya sih umatnya Nabi Muhammad…) Slenteng tidak fasih mengucapkannya.
Lupit : Lah. Mekamad? Ari ilat keakenen mangan gaplek ya kaya kue. (Lah. Mekamad? Kalau lidah kebanyakan makan gaplek ya begitu jadinya) Lupit terkekeh.
Slenteng : Aja gemuyu! (Jangan tertawa!)
Lupit : Wis kie. Wong ngongkon sembayang iku dosa. Baka ngongkon wong kerja, ya, mengko baka wonge wis bar sembayang. (Begini saja. Memerintah orang salat itu dosa. Kalau mau memerintah kerja, ya, nanti kalau orang itu salatnya sudah selesai)
Slenteng : Maksude primen? (Maksudnya?)
Lupit : Ya wong ora olih ngongkon wong sembayang, senejan iku anake. Misale, lagi ngucap Allahu akbar, terus eh tokokena lenga. Dosa hukume. (Ya tidak bolehlah memerintah orang salat, meskipun itu putranya sendiri. Contoh, baru takbiratul ihram, terus bilang, eh belikan minyak tanah. Hukumnya dosa).
Mendengarkan jawaban Lupit, Slenteng cuma terlongo. Ia tengok kanan tengok kiri, bahkan sampai putaran 180 derajat.
Menyaksikan adegan ini melalui kacamata audio-visual, tentu bakal lebih banyak mengundang tawa. Tapi yang jelas, pesan yang disampaikan dalam perdebatan Lupit dan Slenteng tetap begitu dekat dengan persoalan kekinian.
Lupit, mewakili cara berpikir sosok moderat. Ia tenang dan gemar mengajak lawannya agar tak melulu berpikir secara tekstual. Sementara Slenteng, perlambang dari seseorang dengan semangat keagamaan tinggi, namun tidak dilengkapi dengan pengalaman dan pencarian ilmu yang mumpuni. Sosok seperti ini, digambarkan Ki Enthus dengan karakter yang cepat menyimpulkan, mudah marah, dan gampang mengkafirkan.
Yang menarik dari Ki Enthus lainnya adalah cara penyajiannya yang begitu vulgar. Jika dipentaskan di tengah awam dan kelompok yang tak terlalu gandrung, bisa-bisa nasibnya mirip Kipanjikusmin kala menelurkan cerpen Langit Makin Mendung.
Berbeda dengan benak para penggemarnya, kelompok akar rumput dan para jebolan pesantren, Ki Enthus dianggap sosok yang cerdas dan penuh kejutan.
Kini, dalang kontroversial itu telah berpulang. Pekerjaan rumah selanjutnya, siapa yang akan bisa memainkan dialog Lupit-Slenteng untuk mengkritik pertentangan wajah keislaman yang selalu dilakukan dengan urat tegang, nihil guyonan.
Selamat jalan, Ki … Entah siapa, Kalijaga berikutnya.