Sedang Membaca
Moralitas Tokoh Agama dalam Kitab Adabul Alim wal Muta’allim

Founder LTC "Literasi Tambakboyo Center"

Moralitas Tokoh Agama dalam Kitab Adabul Alim wal Muta’allim

Adabul alim wal muta’alim” judul salah satu nama kitab buah karya monumental dari pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari.  Kitab saku yang terdiri dari delapan bab ini menjadi rujukan Pesantren Nahdliyin dalam membangun moralitas pengajar dan santri (murid) di lingkungan pendidikan.
Berawal dari problematika yang dihadapi beliau di pesantren,  dengan jumlah santri yang begitu banyak, secara otomatis sangat susah sekali mengingatkan berulang-ulang kesalahan akhlak dalam belajar. Alasan demikian mendorong beliau mengarang buah karya ini, agar pengajar dan santri memahami kriteria moral dan etika dalam mencari Ilmu pengetahuan.
Dalam muqoddimahnya beliau mencoba menganalogikan pentingnya moralitas. Bahwa moralitas menjadi substansi dari buah tauhid, keimanan dan syari’at seseorang. Apabila seseorang amoral perlu dipertanyakan tauhid,  keimanan, dan syari’atnya. Semakin dalam keimanan dan syari’at seseorang akan semakin tinggi moralitas agama dan sosialnya, seakan kalimat ini sudah menjadi rumus pakem.
Sesuai dengan judulnya, pada bab pertama beliau menjelaskan tentang keutamaan cendikiawan (ulama’) dan ilmu pengetahuan. Ulama’ sebagai generasi penerus (pewaris) para Nabi, berarti mempunyai kewajiban bersikap sebagaimana yang dicontohkan oleh para Nabi.  Intelektualitas yang dimiliki mampu menciptakan peradaban dan moralitas bagi umat.
Kemuliaan, ketakwaan, dan derajat luhur merupakan predikat khusus yang diberikan Allah baginya, sebagaimana terekam dalam surat Al-Mujadalah:10 dan Al-Fathir:28. Cendekiawan (ulama’) ibarat seperti bintang di tengah kegelapan, yang selalu menjadi pengayom dan penerang tanpa memandang status sosial.
Produktifitas cendekiawan (ulama’) juga disinggung beliau di bab pertama dan terakhir. Karya cendekiawan (ulama’) dalam bentuk artikel, makalah dan buku menjadi jariyah yang akan diperhitungkan dihari kelak. Yang lebih terpenting sebelum dipublikasikan hendaknya penulis mengedit, meneliti kembali dan menyusunya secara sistematis.
Di bab yang sama,  beliau memberikan tamparan keras bagi seseorang yang tidak cakap menyusun karya tulis namun memaksakan dirinya untuk menulis, atau secara konteks menyusun karya tulis namun tidak sesuai dengan bidangnya. Misalnya cendekiawan yang tidak cakap sejarah, kemudian memaksakan dirinya menulis tentang sejarah. Maka tulisanya akan menjadikan kebodohan berjamaah dan penipuan karya tulis, andaikan karya tersebut di publikasikan.
Kriteria ulama’ yang recommended untuk dijadikan sebagai teladan juga disinggung Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Mencari figur seorang ulama’ yang dijadikan sebagai pendidik harus selektif,  lebih-lebih yang berkaitan tentang masalah hukum agama. Apabila salah dalam memilih, bisa jadi ilmu yang didapat akan menjadi bomerang bagi dirinya bahkan orang lain.
Ulama’ yang berbudi luhur, bersikap tenang, bijaksana, disertai dengan kualitas keilmuan yang teruji menjadi pilihan utama. Pada masa Imam syafi’i, fit and proper test seorang ulama’ sudah menjadi kebiasaan. Forum-forum debat ilmiyah biasa diadakan oleh institusi Negara.
Hadratus Syeikh Hasyim melarang berguru kepada tokoh agama (ulama’)  yang memahami ilmu hanya lewat isi yang tersurat dalam teks (tekstualis), dan bukan termasuk figur yang mempunyai tingkat kecerdasan yang mumpuni.  Apalagi hanya sebatas ulama’ yang dilambungkan oleh media, tanpa diketahui sanad keilmuannya.
Ulama’ yang serba bisa, dan selalu mampu menjawab permasalahan yang diajukan, juga tidak layak untuk dijadikan sebagai teladan. Harus berani menjawab “saya tidak tahu” apabila belum menemukan jawaban yang tepat.  Bukan menjawab sebisanya untuk menutupi kebodohannya.
Sekaliber Imam Syafi’i saja pernah menjawab “saya tidak tahu” disaat Muhammad bin Hakim bertanya tentang konsekuensi nikah mut’ah (kawin kontrak).
Jawaban “saya tidak tahu,  atau saya belum tahu” tidak menurunkan derajat tokoh agama (ulama’) sebagaimana penilaian orang-orang bodoh. Namun akan meninggikan derajat, jawaban ini sebagai pengakuan bahwa kemampuan akademik seseorang sangatlah terbatas.
Figur ulama’ yang memandang umat dengan sikap kasih sayang, lemah lembut, juga tidak lepas dari pembahasan beliau. Pada bab kelima, beliau menjelaskan secara khusus sikap yang seharusnya menjadi teladan.
Sebagai pewaris Nabi, berwajah teduh, berseri-seri, ceria, selalu memaafkan, tidak mudah marah, mengabdikan diri untuk kepentingan Umat, dan berbelas kasih kepada kaum mustad’afin sepatutnya menjadi kepribadian tokoh agama (ulama’).
Kesalahan yang dilakukan seseorang,  tidak lantas menghakimi dan mencaci makinya. Melainkan dijadikan ladang pahala, dengan cara menasehati dan mengarahkan dengan sikap lemah lembut. sebagaimana sikap Nabi terhadap a’roby (orang desa)  yang kencing di Masjid, yang nabi tidak menegurnya, dan Mu’awiyah bin Hakam ketika sholat berbicara.
Baca juga:  Syekh Yusuf al-Makassari dan Karyanya (5): Qurratul ‘Ain
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top