Bagaimana caranya anak-anak kita memiliki nilai tenggang rasa, toleransi, takzim pada yang tidak disukai? Orangtua atau saudara tua kasih nasehat dan ceramah kepada anak-anak saat di meja makan? Guru kasih ceramah sambil berdiri di kelas? Mungkin iya, dan boleh jadi itu yang banyak dilakukan. Tapi jangan lupakan kisah teladan dari para sufi hingga dongen hewan.
Di masa belia, anak sepertinya tidak langsung mengenal kata tenggang rasa, sebagai kata lainnya. Tengang rasa atau serapan dari bahasa Inggris toleransi, baik sebagai perwujudan keyakinan, kesukaan makanan, pakaian, hingga sekaligus hubungan sosial di luar kerabat atau lingkungan terdekatnya.
Ada kata-kata yang lebih (di)ringankan memperkenalkan risalah hidup bersama, entah menyayangi, menghormati, berbagi perhatian, atau berbuat bai, ketimbang toleransi atau tenggang rasa.
Di majalah anak Si Kuncung edisi No. 11 Th. XVI (1973), pernah memuat cerita berkonflik sederhana khas anak-anak: bertengkar. Dian dan Badar berebut main pingpong sampai kejadian Dian melempar bed sebagai pembelaan diri dari tubuh Badar yang lebih kuat berusaha merebut. Anak-anak berusaha melerai. Badar belum membalas kesakitan karena lemparan bed saat Dian kabur. Ada kekhawatiran sikap yang sulit ditoleransi.
Dalam hal cerita di atas, biasanya anak merasa takut tapi sekaligus mendapat pengajaran tentang meminta-diminta maaf, mengakui kesalahan, penyesalan, dan kelegaan.
Perasaan menoleransi teman atau meredam dendam bukanlah hal sepele dimulai dari pelatihan perasaan diri. Anak-anak belajar mereda dari konflik lewat kejadian sehari-hari tanpa selebrasi.
Cerita-cerita termaktub dalam majalah atau buku tidak secara langsung berhikmah untuk bertoleransi, apalagi dengan penampakan identitas agama yang jelas. Kita menyimak buku Cerita-cerita Perdamaian: Cerita Rakyat dari Berbagai Penjuru Dunia (2007) oleh Margaret Read MacDonald, diterjemahkan oleh Rosalia Emmy Lestari.
Memasuki buku, kita seperti diajak memasuki ke pelbagai peradaban yang memiliki biografi kebijaksanaan menjaga perdamaian dan menyemai risalah hidup bersama. Salah satu cerita hadir sebagai anekdot kaum sufi berjudul “Nasihat Hatim al-Assam”.
Hatim seorang sufi berasal dari Balkan, Afganistan. Saat mengunjungi Baghdad, ia membuat orang-orang terkesan meski dia bisa dikatakan sebagai orang asing.
“Tiga hal yang membuatku dapat menguasai orang lain adalah aku bahagia ketika ia benar, aku sedih ketika ia salah, dan aku mencoba tidak bersikap bodoh padanya,” begitu jawab Hatim saat Ibnu Hmnbal bertanya bagaimana dia bisa menjadi begitu kuyup di Baghdad.
Ibnu Hambal melanjutkan pertanyaan apa yang bisa menyelamatkan rasa kemanusiaan di bumi. Hatim menjawab: “Ada empat hal. Terimalah ketidaktahuan orang lain dan biarkan mereka mengetahui ketidaktahuanmu. Berikan kepada mereka apa yang ada padamu, dan jangan mengharapkan apa pun yang ada pada mereka.”
Lewat kisah semacam inilah, bukan hanya melalui khatbah atau nasihat, anak-anak justru menemukan pertarungan antara konflik dan harmoni dalam jejak kehidupan umat manusia. Di catatan akhir, kita mencerap, “Saat kita bercerita tentang ‘cerita-cerita perdamaian’ dengan mengeksplorasi mitos-mitos tradisional dan cerita rakyat, kita mengakhirinya dengan cerita yang tidak sebenarnya karena ketidakmampuan kita untuk mengapresiasi cerita yang penuh petualangan, bahaya, ataupun pertentangan. Hal ini mungkin tak diinginkan (dan tentu saja tidak mungkin!) untuk meniadakan konflik di dunia ini. Tapi kita tetap bisa meminimalisir konflik, lewat berbagai cerita yang kita bacakan dan cara kita mendiskusikannya, sehingga semakin banyak pilihan yang dapat diterapkan untuk menciptakan kehidupan yang lebih harmonis.”
Cerita-cerita perdamaian tidak menaruh hikmah dari setiap cerita yang berarti memberi hak pembaca merasuk pada permenungan.
Buku lain berisi cerita-cerita tidak kalah memukau berjudul The Lion Book of Wisdom Stories from Around the World (2011) oleh David Self dan ilustrasi memukau oleh Christina Balit. Buku itu menampilkan kisah-kisah perdamaian, peredam konflik, dan lebih personal tentang berbuat baik sebagai penebus ketidakberdayaan diri. Selemahnya diri tetap ada cara berbagi pada sesama.
Kebanyakan kisah kebijaksanaan, tidak pernah luput menjadikan binatang sebagai tokoh. Mereka hidup untuk mewakili wajah hidup yang cenderung selalu ingin memanusiakan manusia. Para binatang bahkan lebih manusiawi menyampaikan kejadian sosial sehari-hari.
Salah satu kisah berasal dari India berjudul “Bahagia Selamanya di Bawa Pohon Ara”. Diceritakan di Bhutan di dekat pegunungan Himalaya, terjadi percakapan antara binatang yang berselisih di dekat pohon ara. Gajah, kelinci, dan monyet selalu berebut menjadi pihak pertama yang memiliki pohon ara. Ayam tua yang bijaksana menengahi dengan mengatakan:
“… aku mematuk benih ara dan membawanya kemari dengan mulutku. Aku melepehkan benih itu, dan menggaruk tanah, kemudian menutupinya dengan tanah.”
Benih itu menumbuhkan daun bagi kelinci, buah ara untuk monyet, dan kerindangan bagi gajah. Ayam hutan tidak merasa harus mengusir para binatang yang berselisih. Mereka bisa hidup bersama nan bahagia dengan berbagi pohon berteduh.
Kisah-kisah klasik dari pelbagai masa dan tempat hadir kembali di waktu kita tidak sedang mengalami perang fisik nan berkecamuk, kita masih tetap akan mengalami perang-pertengkaran yang bersifat personal sekaligus sosial. Buku-buku hadir sebagai bentuk pengingat ataupun rekonsiliasi. Selalu ada toleransi yang bisa diusahakan meski perdamaian tidak selalu hadir sebagai ganjaran.